Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini —Perhelatan Pesantren Awards akan digelar secara simbolik pada Kulminasi Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober 2025. Anugerah ini merupakan ajang penghargaan perdana yang diberikan Kementerian Agama (Kemenag) kepada pesantren, santri, tokoh pesantren, dan kepala daerah. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan peran mereka dalam pembangunan bangsa.
Menurut Direktur Pesantren Kemenag RI, Basang Said, penghargaan ini juga sebagai bentuk apresiasi, motivasi, dan simbol pengakuan dari pemerintah yang bisa disaksikan langsung oleh publik (masyarakat) atas peran penting mereka di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern hari ini. (Melintas.id, 20-8-2025).
Kategori Pesantren Awards
Ada empat kategori utama yang akan diberi penghargaan Pesantren Awards, antara lain; Pertama, kategori Pesantren Transformatif yaitu penghargaan yang diberikan kepada pondok pesantren yang melakukan inovasi atau perubahan positif yang signifikan dalam pengembangan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, penghargaan Santri Inspiratif. Kategori ini merupakan apresiasi yang diberikan kepada individu santri yang berprestasi luar biasa di bidang akademik, sains, teknologi, seni, olahraga, dakwah, maupun berkontribusi secara sosial.
Ketiga, kategori Tokoh Pesantren (Lifetime Achievement) adalah apresiasi yang diserahkan kepada para tokoh pesantren yang telah berkontribusi besar dan konsisten dalam pengembangan pesantren dan masyarakat.
Keempat, kategori Kepala Daerah Peduli Pesantren yaitu penghargaan bagi kepala daerah seperti bupati, walikota, ataupun gubernur yang dianggap telah menunjukkan komitmen dan dukungannya terhadap pengembangan pesantren di daerahnya. Misalnya, dengan memberikan anggaran khusus, bantuan infrastruktur, atau membuat kebijakan pro-pesantren.
Polarisasi dan Politisasi Pesantren
Ajang Pesantren Awards 2025 yang digagas oleh Kementerian Agama, sepintas memang layak diapresiasi karena tampak mulia. Menunjukkan bahwa peran pesantren makin kuat dan berdaya di hadapan umat, santri lebih percaya diri, dan kedudukan para ulama tetap terjaga dan dihormati. Namun, di balik penghargaan Pesantren Awards bukan sekadar seremoni atau penghormatan, tetapi ada potensi polarisasi sekaligus politisasi pesantren.
Misalnya, penghargaan bagi Pesantren Transformatif atau Santri Inspiratif. Label yang disematkan ini, sepintas tampak indah. Namun sebenarnya, ada agenda terselubung dari pemerintah untuk mengatur dan mengarahkan peran pesantren agar sesuai dengan kepentingan politiknya. Pesantren dijadikan alat politik, dengan cara membuat standardisasi pesantren sesuai indikator pembangunan sekuler. Bukan berdasarkan pada indikator amanah syariat.
Di balik label “transformatif” atau “inspiratif” pemerintah telah membangun pola baru dalam mengelola pesantren. Pesantren akan dibentuk dan didorong agar menjadi mitra pemerintah. Sehingga pesantren akan diarahkan untuk mengikuti narasi proyek moderasi beragama, kapitalisme, nasionalisme, dan sekularisme sesuai dengan program pemerintah.
Hingga akhirnya, fungsi pesantren sebagai benteng umat yang seharusnya konsisten dalam menjaga identitas Islam yang murni dan independen, yang berpeluang untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang zalim. Justru akan beralih mengikuti kepentingan politik pemerintah. Akibatnya, akan muncul di tengah-tengah umat polarisasi yang sesuai dengan gagasan dan kategori Penghargaan Pesantren Awards 2025.
Polarisasi Pesantren
Jika kita telaah lebih mendalam, di balik kategori penghargaan Pesantren Awardsseperti Pesantren Transformatif, Santri Inspiratif, Kepala Daerah Peduli Pesantren, dan Tokoh Pesantren, ternyata penghargaan ini bukan sekadar simbol apresiasi, tetapi alat pemerintah untuk membangun polarisasi politik di tengah-tengah umat.
Melalui simbol “Pesantren Transformatif”, pemerintah telah menciptakan hierarki sosial di dunia pesantren. Dimana kategori “Transformatif atau Inspiratif” akan disesuaikan berdasarkan pada kacamata kepentingan politiknya. Sementara bagi ulama sendiri, indikator polarisasi ini tampak pada karakter para kiai/ulamanya.
Misalnya dalam agenda Islam moderat dan moderasi beragama yang menjadi agenda utama pemerintah. Agenda ini harus didukung penuh oleh ulama dan dampaknya terlihat nyata. Bagi para ulama yang loyal kepada pemerintah, mereka akan diberi penghargaan dan kehormatan, bahkan mendapatkan beragam fasilitas dan bantuan dari pemerintah.
Sebaliknya, bagi ulama yang kritis terhadap program ini, mereka akan dicitrakan sebagai ulama radikal. Akhirnya polarisasi ini berakibat pada otoritas para ulama. Mereka menjadi terbelah dua, ada ulama yang kooperatif pada kepentingan politik pemerintah dan ada pula yang tetap memilih independen. Bagi ulama yang independen dan terus berjuang membela dan menjaga kepentingan umat Islam. Tentu saja pilihan ini memiliki konsekuensi mendapat tekanan dari pemerintah.
Demikian pula dengan penghargaan “Santri Inspiratif”. Penghargaan ini makin mengokohkan standardisasi pendidikan ala sekuler. Sebab apresiasi hanya diberikan kepada santri yang berkiprah di bidang akademik, startup, dan digital. Sementara santri yang melakukan perjuangan ideologis, memperdalam ilmu syariat Islam, dan aktif dalam dakwah Islam kaffah tidak dianggap “inspiratif”. Akibatnya, identitas asli para santri sebagai pewaris perjuangan ulama dan mujahid Islam makin terpinggirkan.
Parahnya, polarisasi ini juga terjadi di tengah-tengah umat sehingga berakibat pada lemahnya ukhuwahIslamiah. Umat Islam menjadi bingung dan terpecah-belah. Ujung-ujungnya umat kehilangan kepercayaan terhadap kompetensi ulama maupun santri. Padahal kekuatan umat, santri, dan ulama adalah satu kesatuan yang akan menjadi benteng perlawanan. Tugas mereka adalah melakukan aktivitas dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan muhasabah lil hukkam (melakukan kontrol) terhadap pemerintahan yang zalim.
Politik dan Patronase Pesantren
Demikian pula dengan penghargaan terhadap “Kepala Daerah Peduli Pesantren”. Penghargaan ini makin mempertegas pola patronase politik yang sedang berjalan. Di balik bantuan, penghargaan, fasilitas, atau dukungan finansial dari kepala daerah, walikota, atau gubernur kepada ulama maupun lembaga pesantren. Ada kehendak dan tuntutan agar ada “balas budi dan hubungan timbal balik”.
Para ulama, pondok pesantren, dan santridiminta dan diarahkan agar memberikan dukungan serta legitimasi pada setiap agenda yang diusung oleh mereka. Minimalnya para ulama, santri, atau pondok pesantren harus tetap diam meskipun kebijakan pemerintah tersebut bertentangan dengan syariat Islam.
Padahal di dalam Islam, hubungan ulama dengan umara sesungguhnya harus murni hanya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Tidak boleh ada patronase politik, yaitu pola hubungan timbal balik yang diwarnai dengan barter kepentingan yang tidak sehat antara pemerintah (umara) dengan tokoh ulama, individu atau kelompok masyarakat.
Oleh karena itu, secara ideologis penghargaan ini dinilai sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk membungkam kritik dan mengarahkan para ulama agar menjadi “mitra simbolik” dalam melanggengkan kekuasaannya.
Sementara kewajiban utama ulama sesungguhnya adalah menasihati, mengoreksi, bahkan menegur penguasa ketika menyimpang dari aturan Allah SWT.Landasan dalilnya berdasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
أفضلُ الجهاد كلمةُ عدلٍ عند سلطانٍ جائر
Artinya:“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang adil di hadapan penguasa zalim.”(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dinyatakan hasan)
Solusi Perspektif Islam
Penghargaan ini bukan murni sebagai penghormatan, melainkan instrumen politik untuk mengintegrasikan pesantren, santri, dan ulama ke dalam proyek sekularisasi agama. Oleh karena itu, ulama maupun umat harus tetap waspada. Namun demikian, bukan berarti harus langsung menolak apresiasi tersebut secara membabi buta.
Sebab penghargaan Pesantren Awards masih relevan dalam kehidupan kita jika diarahkan pada standardisasi syariat dan perspektif Islam. Pesantren bisa tetap menjadi lembaga pendidikan yang independen, kredibel dengan menolak kooptasi pemerintah. Pesantren bisa tetap fokus pada kemandiriannya sebagai lembaga yang membina dan membentuk generasi yang siap menegakkan ḥākimiyyatullāh (kedaulatan hukum Allah) dan menjaga agama (hifzh ad-dīn).
Orientasi ini hanya akan terwujud secara sempurna ketika pesantren menjalankan fungsinya, yaitu mendidik dan membangun kesadaran politik umat Islam. Bahwa kemuliaan umat Islam hanya bisa diraih ketika umat menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Ulama maupun pondok pesantren harus terus berjuang dan berdakwah di tengah-tengah umat agar sistem Islam tegak di bawah naungan institusi negara Khilafah ‘ala minhāj an-nubuwwah. Sebab, hanya Khilafah Islamiah yang bisa menyatukan ulama dan umara dalam ketaatan penuh kepada syariat Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishshawab.[SM/Ah]

