Oleh Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini_ Penunjukan pondok pesantren modern Al-Ikhlas As-Salam, Tangerang, oleh Kemenag RI sebagai program percontohan pesantren yang mengadopsi kurikulum Cambridge tampak prestisius. Akan tetapi, di balik gemerlap standar internasional, tersimpan ancaman ideologis yang dapat menggerus jati diri pesantren sebagai benteng dakwah Islam kaffah.
Melalui kurikulum ini, pesantren hanya diproyeksikan untuk melahirkan santri yang unggul di bidang ilmu agama, serta mampu bersaing di kancah internasional dengan standar pendidikan global yang siap melanjutkan pendidikan ke universitas mancanegara tanpa hambatan akademik maupun bahasa. (Kemenag.go.id, 3-9-2025)
Namun, akankah kurikulum ini menjadi solusi bagi problem pendidikan di negeri ini? Atau justru hanya menjadi instrumen sekularisasi pendidikan dari rezim sekuler demi menyukseskan proyek global kapitalisme? Yang Jelas-jelas hal ini hanya menguntungkan segelintir sekolah elit dan pesantren percontohan saja.
Kurikulum Cambrige Primadona Pendidikan Global
Tak dapat dimungkiri bahwa kurikulum Cambridge memiliki keistimewaan dan keunggulan dalam mempersiapkan siswa untuk studi ke luar negeri. Kurikulum ini mampu menggabungkan mutu pendidikan global dengan pendekatan pembelajaran yang holistik dan personal untuk mempersiapkan siswa menghadapi masa depan. Inilah salah satu sebab mengapa kurikulum Cambridge banyak diminati di seluruh mancanegara termasuk di Indonesia.
Selain kurikulum ini dirancang dengan sistem assessment yang bertahap dan terstruktur, dengan standar ujian IGCSE atau A Level yang diakui di berbagai universitas dunia. Sehingga dengan standar ini, santri memiliki kesempatan luas untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di tingkat internasional.
Kurikulum ini juga memiliki karakteristik untuk membangun pemahaman konsep secara mendalam, keterampilan berpikir kritis, analisis, dan juga pemecahan masalah yang sesuai dengan tuntutan pendidikan tinggi di luar negeri. Sehingga setiap siswa didorong untuk aktif dalam diskusi dan siap memberikan argumentasi logis pada setiap tugas.
Dengan demikian, harapan dari penerapan kurikulum ini adalah setiap lulusan pesantren tidak hanya mampu menguasai ilmu agama, tetapi juga siap melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di tingkat internasional dengan kemampuan menguasai bahasa, sains, teknologi, dan komunikasi global dunia.
Maka, tak heran dengan beragam keistimewaan dan keunggulannya ini, kurikulum Cambridge bak primadona yang digadang-gadang menjadi solusi untuk menyelesaikan problem pendidikan di negeri ini. Padahal realitasnya, krisis pendidikan di negeri ini bukan sekadar memperbaiki mutu akademik dengan mengimpor kurikulum global, tetapi krisisnya jauh lebih kompleks lagi.
Problem Pendidikan Indonesia: Bukan Sekadar Kurikulum
Pada dasarnya problem pendidikan di Indonesia bukan hanya masalah kurikulum akademik saja. Namun, krisis yang dialami hari ini lebih global. Di antaranya adalah masalah kesenjangan mutu pendidikan antara wilayah perkotaan, wilayah pedesaan, maupun pedalaman akibat sulitnya mengakses kualitas guru, dan fasilitas penunjang pendidikan baik sains maupun teknologi yang setara dalam proses belajar. Akibatnya, terjadi ketimpangan pada kemampuan siswa dalam literasi, numerisasi, sains dan teknologi.
Bahkan pola ajar guru yang terjebak pada hapalan juga dianggap turut andil menambah karut-marutnya problem pendidikan hari ini. Pola ini dianggap sebagai metode yang menumpulkan daya kritis dan inovatif siswa/santri. Sehingga berimplikasinya pada absennya kemandirian dan kemampuan siswa/santri dalam berpikir kritis. Karena mereka terbiasa dengan pola belajar dogmatis hingga akhirnya mudah terpapar hoaks dan propaganda ideologi asing.
Walaupun para santri diajarkan tentang pemikiran-pemikiran Islam, tetapi lemah dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Apalagi sistem pendidikan sekuler-liberal senantiasa mengukur keberhasilan pendidikan hanya berdasarkan pada capaian dan tolok ukur akademik semata. Sementara pembinaan akhlak dan ruhiyah diabaikan.
Alhasil, sistem pendidikan hari ini hanya mampu melahirkan generasi yang pintar secara kognitif tetapi rapuh secara moral dan ideologis. Output pendidikan hari ini, telah melahirkan generasi muslim yang kehilangan arah dan krisis identitas ideologisnya. Terutama dalam mewujudkan visi misi kehidupan untuk membangun profil muslim yang mampu mengemban amanah dakwah untuk menegakkan sistem Islam secara kaffah.
Ancaman Ideologis: Sekularisasi Pesantren
Pengembangan madrasah berstandar Cambridge di Ponpes Al-Ikhlas As-Salam, meskipun bertujuan meningkatkan daya saing global santri. Namun, sesungguhnya menyimpan ancaman ideologis yang terselubung bagi jati diri pesantren. Ketika pondok pesantren mengalihkan fokus pendidikan dari kurikulum sistem Islam yang berbasis akidah dan moral, pada kurikulum pendidikan internasional yang hanya fokus pada transformasi global dunia dengan mengadopsi norma sekuler-liberal.
Padahal norma ini, telah nyata memisahkan ilmu dari agama. Bahkan menempatkan moralitas agama hanya sebagai pelengkap, bukan fondasi. Karena fondasi pendidikan sekuler berasaskan pada ruh kebebasan individu tanpa batas. Sehingga negara turut berperan dalam mereduksi independensi pesantren.
Lembaga pesantren disulap menjadi laboratorium ideologis yang diarahkan sebagai instrumen sekularisasi pendidikan agar sejalan dengan agenda global kapitalisme, sekuler-liberal. Sekaligus menjadi alat untuk menanamkan nilai kepatuhan terhadap standar internasional, bukan kemandirian ideologi Islam. Negara kian terjebak ke dalam ilusi fatamorgana sistem pendidikan ideologi asing.
Pondok pesantren memang tetap dibiarkan, bahkan didukung untuk mempertahankan budaya pendidikan dengan menyuburkan zikir, tazkiyah, dan penguatan spiritual. Akan tetapi jika pendidikan tidak diintegrasikan ke dalam pemahaman sistem Islam dalam kehidupan, baik dari sisi politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan lain-lain.
Walhasil kurikulum seperti ini justru berpotensi pada menurunnya kualitas pendidikan santri. Santri hanya dibentuk menjadi generasi religius yang unggul secara akademik namun lemah dalam kesadaran ideologis. Padahal justru kesadaran ideologis ini yang akan mampu melakukan perubahan hakiki. Dengan kata lain, modernisasi pendidikan pesantren lewat standar kurikulum Cambridge justru menjadi ancaman ideologis bagi sebuah lembaga pendidikan.
Pesantren sebagai Benteng Islam Kaffah
Ketika kurikulum Cambridge diterapkan di pondok pesantren maka ini sangat berbahaya. Akan berdampak pada pelemahan identitas pesantren sebagai pusat kaderisasi generasi Islam yang siap memimpin umat menuju perubahan secara sistemik. Sebab secara hakiki, kedudukan pesantren sejatinya bukan sekadar lembaga pendidikan agama semata.
Namun, pesantren merupakan garda terdepan yang akan menjadi benteng umat Islam. Perannya adalah menjaga dan mengajarkan, serta menyebarkan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) kepada umat Islam. Sebagaimana telah Allah SWT telah tegaskan di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208, Allah SWT telah menegaskan tentang kewajiban umat Islam yang harus memeluk Islam secara kaffah. Firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS Al-Baqarah: 208)
Demikian pula di dalam QS As-Sajdah ayat 24 bahwa salah satu prinsip dan dasar pendidikan dalam Islam adalah membentuk generasi tangguh yang siap menegakkan aturan Islam secara kaffah di seluruh aspek kehidupan. Allah SWT berfirman;
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Artinya: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS As-Sajdah: 24)
Ini berarti tugas utama pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan yang akan mencetak generasi yang paham dan siap mengajarkan Islam secara kaffah. Artinya, dalam perspektif politik Islam, peran dan fungsi pesantren adalah sebagai benteng sekaligus menjadi pusat pendidikan untuk kaderisasi ulama pewaris para Nabi. Melalui bilik-bilik pesantren, para santri akan dipersiapkan menjadi pemimpin umat dan kader dakwah ideologis yang akan menyebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Mereka akan terus bergerak dan berjuang menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, serta gangguan dan rintangan dari beragam ideologi asing. Sampai akhirnya kemenangan dapat diraih oleh umat Islam. Seperti firman Allah di dalam QS. An-Nuur ayat 55, artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang salih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nuur: 55)
Ayat ini merupakan janji dari Allah SWT kepada Rasul-Nya saw. bahwa Allah SWT akan menjadikan umat Islam berkuasa di bumi. Mereka akan menjadi para pemimpin dan penguasa ketika melaksanakan tugas mulianya sebagai pengemban risalah kenabian yaitu mendakwahkan Islam sebagai solusi bagi seluruh problem kehidupan.
Khatimah: Mengembalikan Jati Diri Pesantren
Kurikulum Cambridge mungkin bisa memberi nilai tambah, tetapi sesungguhnya hanya sistem Islam saja yang bisa sempurna memberikan arah. Pesantren bukan laboratorium kurikulum asing, melainkan benteng peradaban Islam. Oleh karena itu, pesantren harus mengembalikan jati dirinya ke dalam kerangka Islam sebagai lembaga pendidikan yang mampu menyatukan ilmu dunia dengan ilmu agama ke dalam kehidupan secara praktis.
Hanya dengan mengembalikan jati diri pesantren sebagai institusi lembaga pendidikan Islam, maka pesantren akan siap menantang hegemoni ideologi sekuler-liberal. Inilah sesungguhnya jalan hakiki menuju kemuliaan umat dan rida Allah SWT. Pesantren harus memiliki program kurikulum pendidikan yang mampu membentuk para santri menjadi insan yang beriman dan bertakwa. Memiliki kepribadian Islam yang mulia, serta menguasai sains dan teknologi.
Setiap santri lulusan dari pesantren, mereka harus siap menjadi pemimpin di masyarakat yang akan mengatur dan menerapkan seluruh sistem kehidupan sesuai dengan hukum aturan Allah SWT. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam secara totalitas (kaffah), pesantren akan tetap kokoh menjadi benteng peradaban. Para santri akan dipersiapkan untuk memimpin umat demi menegakkan sistem Khilafah.
Poros perjuangan akan menggema dan bertolak dari lembaga pendidikan pesantren. Sehingga transformasi perubahan sistem kehidupan baik dari aspek sosial maupun pemerintahan akan terjadi secara hakiki, menyeluruh, dan berkelanjutan menjadi sistem yang diberkahi Allah SWT yakni Islam kaffah dalam institusi negara Khilafah Islamiah.
Wallahu a’lam bishshawab. [] [SM/Ln]