Sungguh ukhuwah Islamiyah adalah ajaran Islam yang sangat ditekankan sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَ صْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَا تَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Al-Hujurat [49] : 10)
suaramubalighah.com | Ukhuwah Islamiyah adalah sunnatullah dan keniscayaan. Inilah persaudaraan tingkat tertinggi. Saat manusia yang tak punya ikatan darah, suku bangsa, ataupun daerah asal, mampu bertaut jiwa dan pikiran mereka ‘hanya’ karena satu kesamaan yaitu Iman dan Islam. Ukhuwah yang hakiki ini mampu terepresentasikan secara menakjubkan saat kaum muslimin berada dalam satu naungan akbar, rumah besar Khilafah Islamiyah.
Khilafah Islamiyah mampu menyatukan semua ras di semua belahan dunia. Ras dengan warna kulit hitam, kulit putih, kulit merah, kulit coklat tidak dibedakan satu dengan yang lain. Tak ada ras yang diunggulkan. Khilafah mampu meleburkan segala bangsa dalam kesatuan tujuan hidup dan ukuran kebahagiaan.
Semua itu menjadi keniscayaan karena Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya sesama muslim mereka merasakan ukhuwah dan persaudaraan serta ketentraman hidup namun hal yang sama dirasakan betul oleh nonmuslim. Nonmuslim turut menikmati curahan persaudaraan yang terjalin dengan penuh ketentraman.
Namun, persaudaraan yang telah terjalin berabad-abad lamanya terobek-robek dengan paksa ketika kekuasaan beralih di tangan penjajah kafir dengan dilenyapkannya institusi Khilafah Islamiyah. Kafir penjajah sang pemilik ideologi kapitalisme yang meruntuhkan Khilafah Islamiyah secara keji, tidak bakal membiarkan kekuatan umat Islam ini bangkit kembali.
Berbagai cara mereka lakukan demi terus mengobarkan perang terhadap Islam. Kekalahan tentara Salibis dalam Perang Salib yang berlangsung hingga 4 abad, menimbulkan dendam yang tak berkesudahan. Mereka sangat yakin ketika khilafah Islamiyah ini tegak kembali niscaya kekalahan demi kekalahan dan kehinaan demi kehinaan akan kembali meliputi mereka.
Alasan itulah yang mendasari George W. Bush –Presiden Amerika Serikat ke-43- mencanangkan strategi War on Terror (WoT) sebagai perang terhadap Islam yang ditutupinya sebagai perang melawan terorisme. Pidato Bush tanggal 16 September 2001 menunjukkannya secara gamblang, “Perang salib ini, perang melawan terorisme akan memakan waktu cukup lama.. Inilah saatnya bagi kita untuk memenangkan perang pertama abad ke-21… Musuh kita adalah jaringan radikal teroris dan setiap pemerintahan yang mendukung mereka.”
Sejak saat itu, AS sebagai negara adikuasa memaksa negara-negara dunia, terutama dunia muslim untuk turut bersama-sama memerangi teroris dan radikalis, yang pada hakekatnya ditujukan pada gerakan kaum muslim yang menginginkan Islam kembali berjaya dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Perang ini direalisasikan AS dalam dua bentuk. Serangan fisik yang disebut hard approach (pendekatan cara keras) dengan mengerahkan kekuatan militer. Seperti serangan yang dilancarkan AS dan sekutu-sekutunya terhadap Al-Qaidah dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Bentuk lainnya adalah perang pemikiran dengan melakukan pendekatan cara lunak (soft approach), yang selanjutnya terkenal dengan sebutan deradikalisasi.
Para pemikir AS berusaha menerjemahkan titah Bush agar deradikalisasi berlangsung mulus. Di antaranya dengan menjalankan rekomendasi salah satu lembaga pemikir AS, RAND Corporation melalui tulisan Cheryl Bernard yang berjudul Civil Democratic Islam : Partners, Resources, and Strategies. Bernard dengan sengaja membelah kaum muslimin menjadi 4 golongan, yakni fundamentalis, tradisionalis -baik tradisionalis konservatif maupun tradisionalis reformis-, modernis, dan sekularis.
Bahaya Deradikalisasi
Tujuan program deradikalisasi sesungguhnya adalah untuk melenyapkan pemikiran yang dimiliki golongan fundamentalis. Ciri khas pemikiran muslim fundamentalis itu terikat penuh dengan syariat Islam hingga ingin merealisasikannya secara formal dalam bentuk negara khilafah Islamiyah.
Jelas pemikiran ini bakal mengancam nilai, visi, tatanan politik, dan masyarakat Barat. Golongan fundamentalis ini yang disebut sebagai kelompok radikal dan pemikiran mereka diberi gelar paham radikal (radikalisme).
Barat melalui antek-anteknya di seluruh negeri muslim menjadikan kelompok radikal ini sebagai musuh yang membahayakan bahkan dianggap sebagai sumber masalah karena itu Barat melalui antek-anteknya di seluruh penjuru negeri muslim secara serius menabuh genderang perang dengan kelompok ini.
Perang pemikiran melawan radikalisme dengan proyek deradikalisasi telah dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan tujuan tidak lain adalah menghadang menyebar luasnya pemikiran fundamentalis dan target akhir adalah menghadang tegaknya Islam Kaffah dan khilafah.
Untuk itu Barat menempatkan tiga golongan lainnya untuk menyerang pemikiran fundamentalis. Pemikiran fundamentalis berbeda dengan kalangan tradisonalis konservatif yang cenderung ingin bersyariah namun masih menyesuaikan dengan tradisi.
Berbeda pula dengan kelompok tradisionalis reformis yang dianggap lebih mudah penerimaannya terhadap pemikiran Barat. Pemikiran fundamentalis juga berbeda dengan golongan modernis/moderat yang menghendaki Islam diterapkan secara substansi (nilai-nilai) saja tidak diperlukan formalisasi ajaran Islam dalam sebuah negara.
Tentunya yang paling mampu menterjemahkan kepentingan Barat adalah kalangan modernis/moderat. Mereka hanya mengambil Islam diterapkan secara substansial, tidak perlu harus menerapkan secara formal apalagi menegakkan Khilafah bahkan kalangan moderat memiliki pemikiran bahwa Islam bisa diterapkan dalam bentuk negara demokrasi yang jelas-jelas anti terhadap syariat Islam. Karena itu kelompok ini paling kuat penolakannya terhadap konsep negara Khilafah Islamiyah karena dinilai akan merusak tatanan demokrasi yang telah diterapkan selama ini. Kalangan moderat ini amat mudah mengotak-atik hukum syariah agar sesuai dengan demokrasi dan semua turunannya.
Sedangkan untuk memanfaatkan kalangan sekularis yakni kalangan yang menghendaki agama harus terpisah dari politik dan negara. Agama itu suci sedang politik itu kotor karena itu tidak bisa dicampurkan antara yang suci (agama) dengan yang kotor (politik dan negara).
Kalangan sekularis ini sulit diterima umat Islam karena pernyataan – pernyataan para tokohnya yang kontroversial seperti penyembelihan hewan kurban dikatakan sebagai pembantaian atau pembelaan mereka terhadap kelompok lgbt.
Membelah muslim menjadi empat golongan itu sungguh berbahaya karena seakan-akan kaum muslimin dibenarkan untuk menafsirkan dan menjalankan agama sesuai kehendaknya. Seakan boleh saja mereka tidak mengakui Islam dalam sistem kenegaraan hingga mereka bebas mengambil sistem kenegaraan buatan manusia.
Mereka juga seakan boleh tidak mengamalkan syariat Islam asalkan telah mengambil nilai-nilainya. Atau bebas menafsirkan dalil syariat sesuai adat dan budaya lokal yang lebih diterima masyarakat yang terbiasa dalam amalan syirik misalnya.
Padahal sesungguhnya Islam itu satu tafsiran dalam perkara ushul, sekalipun diperkenankan berbeda dalam perkara furu’. Oleh karena itu pengaturan seluruh urusan manusia dengan syariat Islam tidak bisa dipilih sekehendak hati sebagaimana memilih hidangan prasmanan.
Ingatlah firman Allah,
“Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat secara nyata.” (TQS al-Ahzab : 36).
Yang tak kalah berbahaya dari program deradikalisasi adalah pengrusakan ukhuwah Islamiyah. Kaum kuffar dan munafik –yakni Barat dan antek-anteknya- pasti akan mengadu domba kaum muslim hingga menjadi dua kutub yang saling berseberangan.
Kelompok fundamentalis yang menginginkan penerapan syariat Islam dan tidak mau kompromi dengan pemikiran kufur, pasti diposisikan sebagai musuh yang layak diperangi. Sedangkan ketiga kelompok lainnya berpotensi menjadi mitra dan sekutu Barat dalam memerangi kelompok fundamentalis.
Para sekutu Barat ini akan terus diajak merusak ukhuwah, dengan membenturkan ide Islam yang shahih dengan ide liberal. Mereka justru membantu musuh-musuh Islam dalam proses perusakan pemikiran dan praktek Islam yang benar dengan menghidup-hidupkan budaya lokal yang acapkali bertentangan dengan ajaran Islam.
Lebih jauh lagi mereka menjadi yang terdepan dalam menghadang tegaknya Islam kaffah dan khilafah. Kalangan ini dibiasakan untuk memainkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sesuai tuntunan Barat. Sehingga lambat laun penafsiran dalil syariat bukan lagi berpedoman pada kaidah standar seperti yang dilakukan para salafush shalih, tapi sudah disesuaikan dengan kepentingan Barat.
Sebagai contoh kelompok moderat ini dengan lancangnya telah menafsirkan surat Al-Syu’ara ayat 38 yang menjadi dalil untuk bermusyawarah. Tafsir ayat itu dibelokkan, agar kaum muslimin menerima hukum positif buatan manusia, bukan lagi menerima seluruh hukum Allah dalam bingkai Islam kaffah.
Alasannya, jika memang benar bahwa Allah SWT menolak hukum yang dibuat oleh manusia, maka Allah SWT tidak mungkin memerintahkan manusia untuk bermusyawarah yang tujuannya adalah membuat keputusan atau produk hukum. Mereka menafsirkan ayat untuk melegalkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsunya.
Kendati pada awalnya sulit merusak pemahaman kaum muslimin yang telah menancap kuat dalam benaknya karena keimanan, tapi Barat cukup bersabar dalam menjalani proses itu. Sebagaimana kesabaran mereka dalam membina kaum tradisionalis hingga mereka mampu menjadi agen Islam moderat bersama dengan kelompok liberal dan kelompok moderat.
Dukungan Barat kepada kelompok tradisionalis bertujuan agar mereka turut menyerang kaum fundamentalis. Kerja keras Barat ini menuai hasil. Beberapa perguruan tinggi yang mengajarkan hukum Islam dan pondok pesantren, jauh lebih bisa menerima pandangan Barat, bahkan mereka justru turut menyerang Islam.
Betapa banyak akademisi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan ulama-ulama dari pesantren yang menderaskan paham pluralisme dan toleransi. Mereka menggunakan kepakarannya untuk mencari pembenaran bahwa Indonesia tidak bisa ‘memaksakan’ pelaksanaan syariat.
Bahkan, para akademisi inilah yang turut menghadirkan Islam rasa lokal dengan label Islam Nusantara. Tujuannya, agar tiap muslim sudah merasa cukup dengan cara berIslam ala Indonesia, tak usah ‘meniru cara Arab’, karena dianggap radikal sehingga menimbulkan banyak konflik.
Jargon “Jangan Suriah-kan Indonesia” menjadi momok yang dihadirkan agar umat muslim Indonesia menolak keras Islam selain Islam ala Indonesia yang moderat,toleran, penuh rahmah, dan kasih sayang.
Proyek deradikalisasi disuntikkan secara terstruktur, sistematis, dan masif melalui berbagai sarana dan melibatkan komponen umat secara luas. Secara formal Kemenag, Kemenristekdikti, dan Kemendikbud membuat program deradikalisasi yang dimasukkan dalam kurikulum dan kebijakan sekolah maupun perguruan tinggi yang tidak hanya menyasar anak didik, tapi juga staf pengajar dan ASN-nya.
Lembaga taktis juga menerbitkan buku-buku terkait Islam moderat dan meluncurkan situs-situs bertajuk perdamaian. Mereka juga mengorbitkan tokoh-tokoh moderat agar menjadi rujukan umat dan generasi muda melalui radio, televisi, dan situs web.
Mereka juga membuat survei dan penelitian yang menggiring opini umat akan bahaya ide fundamentalis sekaligus mengopinikan toleransi dan kebangsaan.
Selain itu, kalangan modernis akan terus menerus menggugat konsep Khilafah Islamiyah, kemustahilan bersatu, tuduhan terhadap syariat yang tak ramah terhadap perempuan, hingga kekerasan pada ternak qurban. Semua itu adalah tipu daya busuk yang harus diungkap dan dienyahkan dari pemikiran umat.
Membendung Deradikalisasi
وَاَ نْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِا لْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَا حْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَا جًا ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَا سْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ ۙ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan demi jalan yang terang.” (TQS Al Maidah : 48).
Cukuplah peringatan dari Allah tersebut sebagai pedoman bagi kaum muslimin untuk bersikap. Kemampuan memahami tipu daya kuffar harus menjadi dasar untuk menilai dan bersikap terhadap berbagai program deradikalisasi yang diaruskan secara terstruktur, sistematis, dan masif agar umat tidak mudah terjerumus dalam rencana-rencana kuffar yang menyesatkan.
Untuk itu harus ada upaya sebanding yang terstruktur, sistematis, dan masif pula untuk membendung opini deradikalisasi ini diantaranya adalah,
Pertama: Harus terus berdakwah untuk menjelaskan ajaran Islam Kaffah. Dengan ini masyarakat paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT, bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh pihak yang mengidap penyakit Islamophobia. Dakwah Islam ini harus bersifat fikriyyah (pemikiran) dan lâ ‘unfiyah (tanpa kekerasan) sehingga mematahkan tudingan pengaitan dakwah Islam Kaffah dengan terorisme.
Kedua: Perlu pula menjelaskan bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme. Umat harus dipahamkan bahwa berbagai kerusakan di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik yang terjadi di negeri ini bersumber pada penerapan sistem Kapitalisme ini bukan Islam kaffah dan khilafah, bukan pula para pejuangnya. Perpecahan dan potensi besar lepasnya wilayah demi wilayah di Indonesia juga karena ulah tangan-tangan kapitalisme-sekular bukan karena perjuangan penegakan Islam kaffah dan khilafah.
Ketiga: Menyadarkan masyarakat bahwa deradikalisasi ini adalah proyek Barat melalui lisan kalangan moderat, yang memecah belah umat hingga ukhuwah tercabik-cabik dan umat menjadi lemah karenanya.
Penjagaan ukhuwah sebelum tegaknya institusi pemersatu umat yaitu Khilafah Islamiyah akan terealisasi bila umat berada dalam jamaah muslim yang tulus ikhlas berjuang demi tegaknya Islam Kaffah dan khilafah yang senantiasa berpedoman pada dua warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Dengan upaya-upaya, ini niscaya deradikalisasi pasti hanya akan menjadi agenda sia-sia karena telah ditolak oleh umat yang lebih cinta pada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta tetap berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga tidak sedikitpun terpengaruh oleh program deradikalisasi rancangan penjajah kafir barat.
Wallahu ‘alam bi ash shawab. [SM]