Hukum Melecehkan Khilafah

Ustadz, apa hukumnya jika ada seorang muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah, misalnya mengatakan ajaran wajibnya Khilafah akan melahirkan generasi teroris/radikal?

Jawab:

Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Melecehkan wajibnya Khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariat Islam). (Al Mausu’ah al Fiqhiyyah, 3/251).

Para fukaha telah sepakat barang siapa menghina hukum-hukum syariat Islam dalam kedudukannya sebagai hukum syariat, seperti melecehkan wajibnya shalat, zakat, haji, puasa Ramadan, atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad), yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertobat kepada Allah SWT (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/251).

Dalilnya antara lain firman Allah SWT,

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

 “Katakanlah, ’Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS At-Taubah [9]: 65-66). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 3/249).

Namun, para fukaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam.

Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jazim) atau sharih (terang-terangan), yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as. adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad saw. sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.

Kedua, perkataan yang maknanya tidak pasti atau ucapan kinayah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tidak dapat dikafirkan. Syeikh Abdurrahman Al Maliki berkata, ”Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99% dan peluang keimanan hanya 1%, tetapi dikuatkan yang 1% daripada yang 99% karena yang 1% itu adalah peluang keimanan. Dengan adanya 1 persen peluang keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang tak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur yang pasti.” (Abdurrahman Al Maliki, NizhamulUqubat, hlm. 85).

Perlu kami tambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum syariat Islam (al jahlu bi al ahkam al syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (uzur syar’i) jika seorang muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga, teman, kolega, dan sebagainya), memang tak mengetahui suatu hukum syariat Islam dikarenakan satu dan lain hal. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 175).

Berdasarkan penjelasan di atas, muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut :

Pertama, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedangkan dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam dan perkataannya pasti/tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tidak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.

Kedua, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedangkan dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam, tetapi perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tidak dihukumi kafir.

Ketiga, muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedangkan dia tak tahu bahwa Khilafah hukumnya wajib menurut syariat Islam, maka orang itu tak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.

Akan tetapi, meski muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah tidak dikafirkan (jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas), dia tetap berdosa besar. Karena paling tidak dia telah menghina sesama muslim yang memperjuangkan Khilafah. Padahal menghina sesama muslim telah diharamkan Islam. Allah SWT berfirman,

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا خَيۡرًا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٌ مِّنۡ نِّسَآءٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُنَّ خَيۡرًا مِّنۡهُنَّ‌ۚ وَلَا تَلۡمِزُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُوۡا بِالۡاَلۡقَابِ‌ؕ بِئۡسَ الِاسۡمُ الۡفُسُوۡقُ بَعۡدَ الۡاِيۡمَانِ‌ ۚ وَمَنۡ لَّمۡ يَتُبۡ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوۡنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS Al Hujuraat [49] : 11).

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Stm]

Sumber: tsaqofah.id