Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, Opini — Pada Selasa, 06 Desember 2022, pemerintah secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (UU KUHP). Salah satu pasal kontroversial tentang Perzinaan dalam Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan RUU KUHP ini yang memuat 3 pasal: 411, 412, dan 413.
Pasal 411 berisi mengenai setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan. Mereka akan terkena hukuman penjara paling lama satu tahun atau pidana paling banyak kategori II. Sementara, Pasal 412 menetapkan, ayat (1) setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Dalam KUHP, orang berzina dihukum paling lama 1 tahun, bahkan kumpul kebo (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan) hanya dihukum 6 bulan. Dan tindakan tersebut dilakukan atas pengaduan suami atau istri orang yang terikat perkawinan dan bagi yang belum menikah oleh orang tua atau anaknya. Jadi orang berzina dalam sistem hari ini ringan hukuman.
UU KUHP di sisi lain melarang pernikahan yang sah menurut agama atau adat namun tidak tercatat di PPN (Pegawai Pencatatan Nikah). Sebab menurut UU KUHP, perkawinan yang sah menurut negara adalah perkawinan yang harus berdasarkan ketentuan hukum agama atau kepercayaan masing-masing dan tercatatkan di Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Negara akan mempidanakan pasangan suami-istri yang menikah sah secara agama tapi tidak tercatat di PPN. Nastaghfirullah.
Sementara banyak pasangan menikah sah secara agama tanpa tercatat di PPN. Berdasarkan hasil riset Yayasan PEKKA pada 2015, yang menyebutkan dari 17 provinsi yang ada di Indonesia terdapat 36 persen dari 89.000 pasangan yang sudah menikah tidak memiliki akta atau buku nikah.
Maka akan banyak pasangan yang sudah nikah sah akan dipidanakan, sel penjara bertambah sesak hanya karena alasan semu belaka tersebut. Karena ancaman hukumannya sampai 5 hingga 7 tahun. Lebih lama dibandingkan yang berzina.
Pasal 279 KUHP menyebutkan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: Barang siapa mengadakan pernikahan padahal mengetahui bahwa pernikahan atau perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pelaku poligami dengan cara nikah siri tanpa adanya izin dari istri yang sah berpotensi dijerat pasal pidana di atas. Sementara fenomena pengurusan nikah juga tidak mudah, ini pun menjadi alasan untuk tidak memiliki akta nikah. Muncul kendala-kendala yang tidak substantif pada proses akad nikah, sehingga banyak yang memilih untuk tidak perlu mengikuti aturan pemerintah, yang penting nikahnya sah secara agama.
Dari sini terlihat dengan jelas bahwa penguasa yang menerapkan sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) semakin meliberalkan perzinaan. Sungguh Allah SWT dan Rasulullah saw. mengancam kehidupan yang penuh perzinaan dengan ketiadaan keberkahan. Rasul saw. pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani)
Kehidupan kapitalisme yang diterapkan hari ini oleh rezim semakin memperlihatkan upaya pengingkaran terhadap syariat Islam, bahkan UU-nya sering menyimpang dari syariat Islam. Maka wajar banyak UU produk sistem kapitalisme sekuler yang menimbulkan masalah, bukan menyelesaikan persoalan.
Padahal sejatinya sebuah aturan UU itu mampu mengakomodir segala perkara yang terjadi secara adil dan sempurna, itulah hukum pidana Islam.
Pemerintah dengan KUHP yang baru, mengharapkan terpenuhinya keadilan, tidak ada diskriminasi, mengikis potensi otoritarianisme, dan meminimalkan kasus-kasus kriminal di masyarakat. Namun tampaknya harapan itu tidak akan terwujud. Karena UU yang mereka buat mendiskreditkan bahkan mereduksi nilai-nilai aturan dalam Islam yang sempurna.
Pada hakikatnya UU KUHP yang baru dan yang lama warisan kolonial Belanda, prinsip hukumnya tidak berbeda jauh. Padahal yang lama pun tidak mampu mengatasi persoalan ketidakadilan dan kemaksiatan. Masyarakat bahkan tidak mendapatkan perlindungan dan rasa keadilan. Lalu kebijakannya dibuat untuk siapa?
Sungguh memang aneh, nikah sah dipidana hanya karena tidak punya buku nikah. Sedangkan perzinaan yang diharamkan oleh agama, pidananya ringan. Ini bukti pengingkaran terhadap hukum pidana Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Pernikahan yang sah secara agama sudah final karena mengiikuti syariat Islam. Yang seharusnya dilarang dan dihukum berat adalah perzinaan. Apa pun alasannya, meskipun alasan pariwisata, perzinaan haram secara mutlak dan hukumannya berat di hadapan syariat Islam. Dan ini hukum yang adil.
Sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 32,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰٓى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Di dunia, pelaku zina layak mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS. An-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR. Al-Bukhari). Adapun pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina, dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati.
Di sinilah penguasa negeri muslim harus bersikap. Sebab hukum syariat Islamlah yang akan melahirkan kebaikan, keadilan, dan keberkahan hidup. Sebagaimana Allah SWT gambarkan pada negeri Saba.
Tercatat dalam sejarah Saba, penduduknya adalah penduduk yang senantiasa tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, terbebas dari perbuatan syirik dan zalim, serta selalu mensyukuri nikmat yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Namun kemudian rakyatnya ingkar (meninggalkan syariat Allah SWT) kemudian diluluhlantakkan.
Maka bercermin dari negara Saba ini, sudah seharusnya kita kembali pada syariat Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah. Agar kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud kembali.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’râf: 96)
Allahu a’lam. [SM/Ah]