Membentengi Anak dari Arus Sekularisasi di Balik Seruan Toleransi yang Kebablasan

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Bagi setiap orang tua, anak bagaikan permata hatinya. Anak adalah hadiah dan karunia dari Allah SWT.

Namun sejatinya anak bukan milik ayah atau ibunya. Setiap anak adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang telah menciptakan setiap anak. Allah SWT juga yang berhak menetapkan orang tua mana yang akan Allah amanahkan melahirkan, mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak tersebut. Di sisi lain, anak pun bisa menjadi ujian bagi setiap orang tua. Dan setiap orang tua pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak tentang anak-anak yang telah Allah SWT amanahkan kepada mereka.

Kesadaran bahwa anak adalah amanah Allah SWT inilah yang akan membuat setiap orang tua mukmin bersungguh-sungguh terkait amanah anak ini. Orang tua berusaha mengasuh, menjaga, merawat, dan membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Orang tua pun melindungi mereka dari segala ancaman bahaya, baik fisik maupun ancaman ide-ide/ pemikiran yang bisa merusak pola pikir dan pola sikap anak-anak mereka.

Dari sini, suatu keharusan bagi setiap orang tua mukmin untuk menanamkan pemahaman akidah Islam dan syariat Islam yang sahih sejak dini. Setiap orang tua mukmin berusaha mendidik anak-anaknya sejak dini dengan pemahaman Islam kaffah, menanamkan kecintaan pada Allah dan rasul-Nya saw. sejak dini, membersamai mereka tumbuh menjadi hamba Allah yang beriman, bertakwa, berkepribadian Islam mulia, memahami Islam kaffah secara utuh, pandai bersyukur, dan selalu istikamah di jalan ketaatan pada Allah SWT. Di samping itu, orang tua mukmin pun mengarahkan anak-anaknya menjadi generasi tunas ulama pewaris nabi yang faqih fiddin, ahli Al-Qur’an, ahli ibadah, dan calon pemimpin peradaban Islam mulia di masa depan.  

Namun saat ini, para orang tua harus menghadapi banyak tantangan dalam mendidik anak-anak mereka. Kehidupan masyarakat yang kian sekuler telah membuka jalan seluas-luasnya bagi masuknya pemikiran-pemikiran rusak serta propaganda gaya hidup serba boleh (permisif), bebas (liberal), hura-hura (hedonis), dan jauh dari gaya hidup Islami. Serangan pemikiran, budaya, serta gaya hidup (life style) sekuler liberal telah mengepung kehidupan generasi muslim saat ini, dengan propaganda food, fashion, fun, dan film, baik melalui tayangan TV maupun media sosial.

Salah satu pemikiran berbahaya yang tengah masif diaruskan ke semua kalangan, termasuk kepada kaum remaja dan generasi muda negeri ini, adalah kampanye toleransi kebablasan dan moderasi beragama (moderasi Islam).

Moderasi beragama adalah suatu pandangan cara beragama yang moderat, tidak radikal, toleransi, dan cinta damai. Jika ditelaah secara mendalam, sesungguhnya moderasi beragama itu adalah bagian dari proyek global War on Terrorism (WOT). Proyek yang diaruskan oleh penjajah Barat kapitalisme, dengan tujuan membangun karakter muslim moderat (sekuler) dan menghalang kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban dunia. Kebangkitan Islam ini tentu saja tidak dikehendaki oleh penjajah, karena pastinya akan menjadi lonceng kematian bagi peradaban ideologi kapitalisme sekularisme.

Setelah proyek WOT dianggap kurang berhasil, penjajah memperbarui strateginya dengan lebih soft, yaitu menjalankan proyek War on Radicalism, melalui  pengarusan dan sosialisasi secara masif ide moderasi beragama (moderasi Islam). Proyek ini disebarluaskan ke seluruh dunia Islam dan menyasar semua kalangan, termasuk keluarga, remaja, dan generasi muda. Tujuannya jelas, untuk menyeret generasi muda menjauh dari identitasnya sebagai muslim, melemahkan keyakinannya terhadap Islam kaffah, mengubur dalam-dalam keinginan untuk bangkit, membunuh kerinduan pada kehidupan ideal di bawah naungan sistem Islam kaffah.

Di samping itu, generasi muda pun dibuat rela dengan kehidupan sekulernya saat ini, toleran pada berbagai bentuk kemaksiatan dan penjajahan, serta terbajak potensi strategisnya sebagai calon pemimpin peradaban Islam dan memalingkan mereka dari tanggung jawab utamanya sebagai pembangun peradaban Islam hakiki.

Semua strategi itu dijalankan oleh penjajah dan kaki tangannya dengan kemasan moderasi beragama dan toleransi. Padahal hakikat dari moderasi beragama adalah pengarusan dan pengokohan sekularisasi dan liberalisasi demi langgengnya penjajahan kapitalisme sekuler di negeri ini. Sungguh ini sangat berbahaya.

Ironisnya, pemerintah negeri ini justru sangat welcome terhadap propaganda moderasi dan toleransi kebablasan yang berbahaya tersebut. Bahkan mengadopsi secara nyata dan memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Maka pantaslah jika moderasi beragama dan toleransi kebablasan itu terus dikampanyekan secara masif ke semua lembaga dan instansi, dinas, lembaga pendidikan, keluarga, bahkan generasi muda. Tayangan TV dan media sosial pun bebas menampilkan konten-konten yang menyerukan pemikiran yang bercorak moderasi beragama dan toleransi kebablasan. Apalagi menjelang akhir tahun Masehi, banyak tayangan dan konten TV serta media sosial yang menyiarkan ucapan selamat Natal, peringatan Natal, maupun ucapan dan peringatan Tahun Baru (Nataru), serta propaganda bahaya lainnya atas nama toleransi. Dan tampak seperti tahun-tahun sebelumnya, justru sebagian pemimpin muslim di negeri ini memberi contoh keliru dengan memberikan ucapan selamat Natal, turut serta perayaan Natal, serta aktivitas serupa lainnya yang mempromosikan toleransi yang salah kaprah dan kebablasan.  

Toleransi itu Membiarkan dan Menghargai, Bukan Ikut Larut

Sesungguhnya Islam memang mengajarkan toleransi. Toleransi yang dimaksudkan adalah membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan hari besar agamanya. Toleransi juga berarti tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.

Menurut Kamus Al-Munawir, toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan atau menghargai (Kamus AlMunawir, hlm 702, Pustaka Progresif, cet.14). Maka toleransi itu bukan bermakna menerima keyakinan (agama) yang bertentangan dengan Islam.

Di dalam kitab Tafsir Fath Al-Qaadir, Imam asy Syaukani menyatakan bahwa Abdu ibn Humaid, ibn Al-Mundzir, dan ibn Mardawaih telah mengeluarkan riwayat dari ibnu ‘Abbas ra. bahwa orang Quraisy pernah berkata pada Rasulullah Muhammad saw., “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah tuhanmu.” Terkait hal itu, maka Allah SWT menurunkan firman-Nya yakni surah Al-Kafirun hingga akhir ayatnya “Lakum diinukum wa liya diin” yang artinya “Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (QS. AlKafirun/109: 6)

Demikian pula yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi di dalam AlJaami’ li Ahkam Al-Qur’an (20/225), bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersikap tegas tidak mau berkompromi untuk malakukan “toleransi” dalam bentuk terlibat, membenarkan, menyepakati, ikut memfasilitasi, apalagi mengamalkan ajaran agama lain.

Namun hari ini, justru seolah ada pembiaran terhadap promosi toleransi yang salah kaprah tersebut. Negara seolah tidak peduli jika hal itu sangat berbahaya bagi umat dan generasi.

Jika demikian, makin membuktikan bahwa arus sekularisasi dan liberalisasi yang bertentangan dengan akidah Islam, benar-benar dilegalkan di negeri ini. Dan ini bermakna generasi kaum muslimin sedang dalam bahaya. Maka orang tua tentu harus memiliki perhatian dan kewaspadaan lebih besar lagi, dalam membersamai anak-anak demi membentengi generasi dari arus sekularisasi dan liberalisasi yang merusak. Dan ini wajib hukumnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, serta hal-hal yang bertentangan dengan Islam.

Diriwayatkan ketika di Makkah, beberapa tokoh Quraisy (Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad ibnu Al-Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf) menawarkan toleransi kepada Rasulullah saw. berupa saling mengambil ajaran agama masing-masing yang dianggap baik, serta saling bergantian menyembah tuhan-tuhan mereka. Rasulullah saw. pun tegas menolak toleransi yang salah kaprah dan kebablasan itu. Kemudian turunlah Al-Qur’an surah Al-Kafirun [109] ayat 1-6 yang menegaskan keharaman bertoleransi kebablasan.

Maka jelaslah, bahwa toleransi itu adalah sikap menghargai dan membiarkan umat lain dengan agama dan keyakinannya, merayakan hari besar agamanya, serta tidak mengganggunya. Tapi tidak ikut larut dalam ritual agama umat lain, sebagaimana yang telah diopinikan secara keliru oleh para pengusung ide sekularisme dan liberalisme atas nama moderasi beragama dan toleransi.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. AtTahrim [66]: 6)

Membentengi Anak dari Arus Sekularisme dan Toleransi Kebablasan

Jelaslah bahwa saat ini sekularisme dan liberalisme kian masif diaruskan. Bahkan bahayanya terus mengepung kehidupan umat dan generasi muslim termasuk anak-anak kita. Sementara negara tidak hadir sebagai pihak yang seharusnya melindungi rakyatnya dari perkara yang membahayakan pemikirannya. Maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang tua dalam menjalankan perannya untuk membentengi anak dari bahaya arus sekularisme dan liberaismel ini, antara lain:

Pertama, orang tua wajib menyadari amanah untuk menjaga anak dari hal-hal yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam azab neraka. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam QS. At-Tahrim: 6. Pemahaman orang tua bahwa amanah ini berasal dari Allah dan akan dihisab di akhirat kelak, akan menjauhkan orang tua dari sikap berat dan putus asa saat dihadapkan pada tantangan dalam mendidik anak. Orang tua akan menguatkan kesabarannya dan selalu optimis, serta penuh harap pada Allah SWT akan diberikan kemudahan dalam mendidik anak, disertai keyakinan adanya pahala berlimpah manakala ikhlas menjalankan amanah tersebut.

Kedua, orang tua wajib memberikan penanaman keimanan sejak dini. Mengenalkan Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, mengenalkan Rasulullah saw. dan seluruh perjalanan hidup dakwahnya, menumbuhkan kecintaan pada Allah dan rasul-Nya, menanamkan muraqabah (merasa selalu diawasi oleh Allah), serta menanamkan keyakinan tentang kekuasaan Allah. Allah sebagai AlMudabbir, Allah sebagai AlHakim, dan sebagainya. Selain itu, menanamkan keyakinan penuh terhadap kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai wahyu Allah, menanamkan keyakinan akan hari kiamat sebagai hari penghisaban amal manusia, dan sebagainya.

Dengan ini, diharapkan anak-anak memiliki keimanan yang kokoh, yang akan menjadi benteng awal dan utama bagi dirinya dalam menjalani hidup sebagai mukmin. Sebagaimana nasihat Rasulullah saw. pada Abdullah bin Abbas saat masih kecil, “Abdullah bin Abbas ra. menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi saw.. Beliau bersabda, “Nak, aku mengajari kamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yaang telah Allah tetapkan untukmu. Andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”  (HR. AtTirmidzi)

Ketiga, orang tua hendaknya selalu mengevaluasi keimanan anak-anak serta memastikan komitmen mereka untuk selalu terikat pada hukum syara’ yang telah ada secara sempurna dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membangun dialog dan diskusi terarah dengan anak. Membangun komunikasi intens, akrab, dan penuh kasih sayang dengan mereka. Deep talk dengan mereka dari hati ke hati, seraya mengamati bagaimana sikap mereka terhadap berbagai persoalan hidupnya dan problem umat umumnya. Dari sini akan bisa mengukur dan memastikan sejauh mana kokohnya keyakinan mereka dalam Islam, dan sejauh mana kemampuan mereka dalam menyikapi berbagai persoalan hidup sesuai dengan Islam sebagai konsekuensi keimanannya.

Keempat, orang tua hendaknya peduli dan selalu mencari tahu tentang berbagai fakta dan informasi kekinian yang berpotensi memengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku anak. Orang tua hendaknya mengetahui apa saja yang dilihat, dibaca, didengar, dialami, dan dirasakan anak, baik di rumah atau saat mereka bergaul bersama teman atau orang lain.

 Jika ada pemikiran, kejadian, atau hal-hal yang negatif dan berbahaya bagi anak, dapat segera diluruskan dan dinetralisasi, misalnya khurafat, pornografi dan pornoaksi, pelecehan terhadap ajaran Islam, ide-ide liberal yang salah dan rusak, atau berbagai pemikiran dan pendapat yang dapat melemahkan militansi anak dalam Islam. Tentu saja orang tua harus memiliki bekal pemahaman yang baik dan memadai tentang Islam kaffah untuk dapat menjalankan peran penting ini.

Kelima, orang tua hendaknya memiliki keterampilan berkomunikasi yang efektif dengan anak, sehingga dapat menjalankan poin keempat di atas. Orang tua harus menjadi sahabat yang menyenangkan bagi anak, selalu siap menjadi tempat anak bertanya tentang berbagai hal, siap menjadi tempat anak curhat dan menyampaikan perasaannya tanpa takut dihakimi. Orang tua harus mampu menjadi pendengar yang baik, sehingga anak tidak enggan untuk menyampaikan apa pun yang dia lihat, dengar, alami, dan rasakan.

Jika tidak, bisa jadi anak justru enggan menyampaikan pendapat atau perasaannya pada orang tua. Akibatnya bisa menghalangi komunikasi yang baik antara anak dan orang tua. Anak enggan bicara karena merasa dihakimi, tidak dipercaya, dan dihalangi kebebasannya. Orang tua pun merasa tidak dihargai. Walhasil tidak akan terjadi persahabatan yang hangat antara anak dan orang tua. Jika demikian, sulit bagi orang tua menemukan jalan untuk dapat mendeteksi berbagai pemikiran dan opini sekuler liberal yang berbahaya bagi anak.

Keenam, orang tua hendaknya mengetahui strategi dan bentuk-bentuk teknis yang digunakan oleh penjajah dan kaki tangannya dalam menyebarkan paham sekuler liberal, seperti ide moderasi beragama, toleransi kebablasan, dan sebagainya. Strategi itu misalnya melalui film, lagu, sinetron, games, atau bacaan lainnya, serta konten-konten di media sosial. Dari sini orang tua dapat membekali anak dengan pengetahuan dan informasi terkait hal itu sejak awal. Anak pun dilatih sejak awal untuk mewaspadai strategi penjajah yang berbahaya bagi dirinya.

Ketujuh, orang tua hendaknya menyampaikan dan memahamkan anak bahwa bahaya ide sekularisme liberal dengan segala bentuknya sesungguhnya adalah bagian dari penjajahan dan serangan berbahaya dari musuh-musuh Islam. Mereka tidak akan pernah berhenti merusak generasi umat ini, karena mereka memang tidak akan pernah rida terhadap Islam dan kebangkitan Islam. Maka orang tua dapat memotivasi anak untuk bersama-sama membentengi diri dengan mengakaji Islam kaffah secara serius agar dapat menghadapi bahaya pemikiran dan opini yang rusak secara cerdas berdasarkan Islam.

Kedelapan, orang tua hendaknya selalu berdoa kepada Allah SWT. Memohon perlindungan-Nya agar Allah selalu menjaga anak dan keluarganya dari seluruh perkara yang bisa membahayakan fisik dan pemikiran. Dan doa adalah senjatanya seorang mukmin.

Kesembilan, orang tua hendaknya memberi teladan dan mendorong anak untuk bersama-sama bergabung dalam barisan kelompok dakwah, yang akan menjadi wadah pembentukan kepribadian Islam dan sikap militansi pada anak. Sehingga tumbuh komitmen anak untuk menjadi generasi muslim yang tangguh dan calon pemimpin umat. Anak akan mampu bersikap benar dalam hidupnya. Anak tidak akan terbawa arus sekuler liberal apalagi terbajak potensinya.

Justru anak akan menjadi pembangun peradaban yang siap menghancurkan sistem kapitalisme sekuler, yang telah memproduksi berbagai pemikiran, ide, dan opini salah dan berbahaya bagi umat, seperti moderasi beragama dan toleransi yang kebablasan. Orang tua dan anak akan sama-sama berjuang mewujudkan kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Sejatinya, Khilafah inilah satu-satunya yang akan mampu menjadi junnah hakiki. Membentengi umat dari arus sekularisme liberal dan seluruh pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]