Darurat Seks Bebas Remaja, di Mana Tanggung Jawab Negara?
Oleh: Mutiara Aini

  • Opini

Suaramubalighah.com, Opini— Seks bebas di kalangan remaja sudah pada tahap tidak bisa ditoleransi lagi, kasus demi kasus bermunculan. Terkini kasus yang mencoreng dunia pendidikan yang berbasis keagamaan Islam, yakni tindakan bejat oknum guru bersama seorang siswinya di MAN 1 Gorontalo.
Menurut Kapolres Gorontalo AKBP Deddy Herman, tersangka menjalin hubungan asmara sejak 2022 dengan modus tersangka kerap mengayomi, membantu tugas, dan memberi perhatian lebih hingga akhirnya korban pun merasa nyaman. (okezone.com, 26-9-2024).
Sebelumnya ada kasus dua pasang siswa MTSN 1 Kota Malang melakukan seks bebas di lingkungan sekolah. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di ma’had yang juga berada di lingkungan sekolah, bahkan salah satu siswi pelaku seks bebas adalah anak yang tergolong pendiam, alim, rajin ibadah, dan pintar. Namun tidak disangka terlibat dalam seks bebas dengan teman yang masih sama-sama usia MTS/SMP.
Kasus seks bebas juga makin banyak di kampus keagamaan di antaranya di UIN Malang, seorang mahasiswi yang juga hafizah tidak disangka melakukan seks bebas dengan pria yang berganti-ganti. Sepintas terlihat mahasiswi tersebut alim dan tidak nampak sebagai mahasiswi yang nakal, namun di balik itu semua ia terlibat pergaulan bebas. Astaghfirullah.

Sistem Sekularisme Melahirkan Generasi Rusak
Maraknya seks bebas hingga menjadikan Indonesia darurat seks bebas, tak jarang memakan korban sebagaimana terjadi di Palembang beberapa waktu yang lalu. Seorang gadis diperkosa lalu dibunuh.
Maraknya persoalan seks bebas yang melibatkan remaja jelas tidak lepas dari prinsip kehidupan sekuler. Kebebasan berekspresi yang diusung sekularisme kini telah menjadi budaya bagi berkembangbiaknya pergaulan bebas. Tata nilai yang serba bebas memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan naluri seksual sesuka hatinya. Terlebih, pergaulan bebas ini difasilitasi oleh berbagai media, sehingga menjadi pemicu bangkitnya syahwat dan menjadi alat untuk menjajakan bisnis syahwat.
Ditambah masyarakat hari ini makin individualis sehingga tidak lagi peka dan menganggap pergaulan bebas sebagai hal yang lazim. Demikian pula negara yang berperan dalam mengambil kebijakan perlindungan terhadap generasi, telah gagap tatkala menghadapi serbuan budaya asing yang merusak generasi.
Kebijakan yang dibuat nyatanya tidak menyentuh akar masalah bahkan terkesan lalai. Begitu juga dengan PP 28/2024 yang digagas untuk menjaga kesehatan reproduksi remaja tidak akan mampu menyelamatkan generasi, karena mereka tidak memiliki kepribadian Islam yang kokoh dan mereka tidak mengerti bahwa hidup itu untuk terikat kepada hukum syarak, standarnya halal-haram dan nilai-nilai liberalnya yang serba bebas tidak lagi menghiraukan norma dan agama.
Di samping itu, penerbitan PP 28 Tahun 2024 makin menegaskan status Indonesia sebagai negara sekuler yang memaklumi dan menormalkan zina atas nama kebebasan berperilaku. Padahal Rasulullah saw. telah mengingatkan dalam sebuah hadis,

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللّٰهِ

“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).

Di sisi lain pernikahan dini dilarang. Seharusnya negara menutup semua pintu seks bebas, menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam hingga melahirkan ketakwaan remaja. Yang terpenting mengganti asas bangunan sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibangun atas sekularisme dan sistem politik demokrasi menjadi sistem Islam dan Khilafah Islamiyah. Dengan tanggung jawab ini maka problem seks bebas remaja akan tertuntaskan.

Solusi Islam
Dalam Islam, negara memiliki peran sebagai ra’in, yaitu melayani dan mengurusi urusan umat termasuk dalam membina moral masyarakat. Mencegah dari segala hal yang dapat berpotensi merusak moral dan akhlak individu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Mulai dari sistem pendidikan, pergaulan, pengelolaan media, hingga sistem sanksi.
Di samping itu, Islam juga memiliki aturan yang jelas dan tegas dalam mewujudkan kehidupan yang Islami serta mampu membentuk generasi mulia, di antaranya:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam dengan membekali tsaqafah Islam agar para generasi memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam.
Kedua, menerapkan sistem pergaulan berdasarkan syariat Islam. Membudayakan suasana keimanan dan amar ma’ruf nahi munkar sehingga akan mendorong masyarakat memiliki standar untuk menilai perbuatan dengan kacamata yang sama, yakni bersandar pada halal dan haram yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.

Ketiga, memberikan edukasi seputar tata pergaulan dalam Islam. Semisal kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i, larangan berzina, ber-khalwat (berduaan dengan nonmahram), ikhtilat, dan sebagainya. Selain itu, negara juga akan memfilter dan melarang konten, film, video, dan apa pun yang dapat memicu dorongan seksual atau hal-hal yang bermuatan negatif yang dapat merusak kepribadian dan moral generasi.
Keempat, memberi sanksi tegas terhadap pelaku-pelaku maksiat berdasarkan syariat Islam. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan upaya untuk menjadikan masyarakat dan negara sebagai pengemban nilai-nilai dan aturan Islam agar benteng pertahanan dalam menjaga generasi menjadi optimal. Upaya ini tidak lain dilakukan dengan dakwah Islam, mengajak seluruh lapisan masyarakat termasuk para penguasa agar menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk juga dalam aturan sosialnya dengan memberikan sanksi atau hukum yang tegas terhadap semua bentuk pelanggaran pergaulan.
Adapun hukum uqubat dalam Islam berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa di akhirat dan bersifat zawajir atau memberikan efek jera bagi pelaku kemaksiatan agar tidak melakukan hal yang serupa. Semua ini hanya bisa terwujud dalam sebuah institusi politik Islam, yaitu Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]