Politik di Balik Suara Pesantren Jelang Pilkada
Oleh: Ummu Fahri

  • Opini

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga— Jelang pilkada serentak 2024, pondok pesantren kembali menjadi pusat perhatian. Dengan jumlah suara yang besar, lembaga pendidikan agama ini tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga medan pertempuran politik.

KPU Kabupaten Pasuruan membatalkan rencana pendirian TPS khusus di Ponpes Al Yasini guna mencegah potensi konflik kepentingan, mengingat pengasuh pesantren, KH Mujib Imron, mencalonkan diri sebagai Bupati Pasuruan. Meskipun begitu, para santri tetap dapat memberikan suara mereka di TPS berdasarkan alamat KTP pada Pilkada 27 November 2024. (kompas.com, 17-09-2024).

Pesantren sebagai kantong suara pemilih pemula dengan jumlah santri yang terus meningkat setiap tahunnya menjadi primadona. Tak tanggung-tanggung calon dari kalangan pesantren seperti Kiai, Bu Nyai, Gus, dan Ning pun bermunculan mencalonkan diri di berbagai daerah, seperti cabup-cawabup Pasuruan, dan beberapa daerah seperti Mojokerto, Jember, Banyuwangi, cagub Lombok, serta Banggai.

Sosialisasi pun dilakukan KPU di beberapa daerah dengan melakukan roadshow ke pesantren-pesantren untuk memberikan pendidikan politik kepada santri dan para ulama sebagai upaya guna meningkatkan partisipasi dalam pilkada. (kominfo.jatimprov.go.id, 12-08-2024).

Menurut data dari KPU, ada peningkatan dalam jumlah santri yang terdaftar sebagai pemilih dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Berdasarkan catatan pilpres lalu, survei SMRC menyebut terdapat 52,4 persen Muslim Jawa, teridentifikasi sebagai santri yang menjadi potensi kantong suara. (nu[dot]online[dot]co[dot]id, 13-07-2023).

Ditambah lagi pesantren di Jawa Timur memiliki lebih dari ratusan ribu santri yang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024. Keterlibatan pesantren dalam politik bukan hanya soal jumlah suara. Ini juga menunjukkan pergeseran dalam peran pesantren yang kini lebih terlibat dalam arena politik praktis, yang bisa memengaruhi netralitasnya sebagai lembaga pendidikan.

Beginilah wajah demokrasi yang dipoles dengan warna keislaman, para santri hanya diajari bahwa politik sekadar memilih pemimpin, tetapi apakah ini benar-benar sejalan dengan akidah yang mereka pelajari di pesantren?

Pendidikan Politik Demokrasi di Pesantren Menjauhkan Politik Islam Hakiki

Pendidikan politik demokrasi yang diberikan kepada santri dalam rangka menyukseskan pemilu sering kali dianggap sebagai langkah strategis untuk memperkenalkan mereka pada proses politik. Namun di balik itu, ada persoalan yang lebih mendalam tentang bagaimana santri dan pesantren memahami politik. Di sini, pesantren dengan potensi suaranya yang besarb—terutama santri pemilih pemula dan para muhibbat— menjadi target penting dalam mendulang suara bagi calon-calon kepala daerah.

Pemilu, yang sering disebut sebagai bentuk pendidikan politik, berpotensi mereduksi makna politik Islam menjadi sekadar proses memilih penguasa dalam sistem demokrasi. Hal ini dapat membangun persepsi yang salah bahwa politik dalam Islam hanya sebatas itu. Padahal dalam Islam, politik adalah perkara yang lebih mendalam, mencakup pengaturan urusan umat sesuai dengan tuntunan syariat.

Ketika pendidikan politik demokrasi diperkenalkan di pesantren dengan dibungkus dalam simbol-simbol Islam, ia dapat menciptakan kebingungan di kalangan santri tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik Islam. Padahal politik dalam Islam adalah sistem yang mengatur kehidupan umat berdasarkan hukum Allah, jauh berbeda dari sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan manusia.

Lebih dari itu, keterlibatan Kiai, Bu Nyai, Gus, dan Ning dalam politik praktis demokrasi dapat menimbulkan dampak negatif bagi umat. Ketika mereka duduk sebagai pemimpin dalam sistem demokrasi, mereka bukan hanya terjebak dalam sistem yang bertentangan dengan akidah Islam, tetapi juga menjadi teladan buruk bagi umat. Hal ini dapat memberikan kesan bahwa demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk berpolitik Padahal dalam Islam, sistem politik yang benar adalah yang mengacu pada syariat.

Dari sudut pandang sekularisme-demokrasi pesantren dan santri menjadi bagian integral dari proses demokrasi. Pendidikan politik di kalangan santri bukan sekadar mengajarkan mereka tentang pemilu, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai pluralisme, kebebasan berpendapat, dan kesetaraan, yang merupakan esensi dari sekularisme demokrasi itu sendiri. Hal ini justru menjauhkan santri sebagai faqih fiddin dalam berpolitik dan bernegara sesuai dengan syariat Islam. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan syariat Islam dan perubahan hakiki bagi umat Islam.

Pendidikan Politik Islam Membutuhkan Islam Kaffah

Dalam pandangan Islam, pendidikan politik di pesantren harus berlandaskan pada akidah Islam, yang berarti bahwa setiap kegiatan politik, baik pengajaran maupun praktik, harus sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Artinya, pemahaman politik yang diajarkan harus dimulai dari tauhid dan kepatuhan total kepada syariat Allah yang kaffah, bukan sekadar strategi praktis untuk memenangkan pemilu. Ini akan menghindarkan santri dari pemahaman politik yang pragmatis dan sekuler, yang mengutamakan kepentingan duniawi dibandingkan dengan kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah.

Dalam sistem Islam, pemimpin (khalifah) dipilih bukan hanya karena popularitas atau kemampuan kampanye, tetapi karena kualitas keimanan, ketakwaan, dan kapabilitas untuk menerapkan syariat secara adil. Pendidikan politik seharusnya membekali santri dengan pemahaman tentang kriteria pemimpin dalam Islam, yaitu pemimpin yang memiliki amanah untuk menjalankan hukum Allah, bukan sekadar memenangkan suara mayoritas. Dengan ini, santri dapat membedakan antara kepemimpinan sekuler dalam demokrasi dan kepemimpinan dalam Islam.

Salah satu elemen kunci dalam demokrasi adalah kebebasan, baik dalam berbicara, beragama, maupun bertindak, yang dalam sistem demokrasi tidak terikat oleh batasan syariat. Pendidikan politik dalam Islam harus membangun pemahaman bahwa kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan absolut yang merugikan prinsip-prinsip syariat. Kebebasan dalam Islam dibatasi oleh aturan Allah, dimana setiap tindakan manusia harus dipandu oleh nilai-nilai agama. Ini penting untuk diinternalisasi oleh santri agar mereka tidak terjebak dalam pemikiran sekuler yang menganggap kebebasan adalah hak asasi tanpa batas.

Seharusnya, santri tidak hanya dilihat sebagai objek dari massa yang harus diarahkan dalam politik, tetapi juga sebagai agen perubahan yang potensial. Mereka memiliki peran penting dalam memimpin perubahan ke arah politik yang sesuai dengan tuntutan Islam. Pendidikan politik harus menanamkan bahwa santri memiliki kewajiban moral dan agama untuk tidak hanya menolak sistem demokrasi, tetapi juga untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang akan membawa perubahan sistemik menuju penerapan Islam yang kaffah.

Di era modern ini, pendidikan politik di pesantren perlu waspada terhadap penyusupan ideologi sekuler yang bisa mengaburkan pemahaman politik Islam yang murni. Banyak konsep demokrasi dan sekularisme yang dikemas dengan label pendidikan politik atau kesadaran politik, yang sebenarnya bertujuan untuk menormalisasi sistem yang bertentangan dengan Islam. Pesantren harus memperkuat filter ideologis dalam kurikulum pendidikan politik agar santri tetap teguh dalam prinsip Islam.

Pendidikan politik di pesantren tidak bisa dilepaskan dari sistem politik Islam yang kaffah . Dan menggambarkan secara gamblang sistem Khilafah. Sebab bicara politik Islam tidak bisa dipisahkan dari sistem Khilafah.

Secara istilah politik Islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. Syekh Abdul Qodim Zallum menjelaskan politik Islam, mengatur urusan kehidupan manusia di dalam negeri maupun di luar negeri dengan syariat Islam. Berpolitik Islam butuh lingkungan politik Islam. Dan hal ini tak lepas dari negara Islam, yakni Khilafah.

Bicara urgensi pendidikan politik yang sesuai dengan syariat, maka pesantren harus memandang politik bukan sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan hukum Allah dan mengurus umat. Pendidikan politik yang sahih akan memberikan pemahaman kepada santri bahwa tanggung jawab politik bukan hanya terkait dengan pemilu semata, tetapi juga dengan bagaimana upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah, menjaga keutuhan umat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam naungan Khilafah.

Sebagaimana diterangkan dalam Surah Ali-Imran (3:104) Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini mengingatkan bahwa pendidikan politik yang sahih bertujuan untuk mendidik santri agar mampu menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, dengan tegas menolak sistem yang bertentangan dengan akidah. Oleh karena itu, santri sebagai bagian penting dari umat Islam, memiliki kewajiban untuk berperan aktif dalam memperjuangkan sistem politik Islam yang kaffah dan mengarahkan umat untuk menegakkan kedaulatan Allah di muka bumi dalam sistem Khilafah.
Allahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]