Oleh: Ummu Nashir N.S.
Suaramubalighah.com, Opini — Pesta demokrasi memilih para pemimpin daerah di negeri ini telah usai digelar akhir bulan lalu. Mulai bermunculan wajah-wajah baru menghiasi berbagai media yang akan menjadi pemimpin daerah. Wajar jika kemudian perbincangan rakyat negeri ini mengarah kepada figur pemimpin terpilih. Walaupun masih ada wajah-wajah lama, tetapi tetap tersimpan sebuah harapan dalam hati rakyat negeri bahwa pemimpin yang terpilih akan memberikan perubahan yang baik bagi rakyatnya.
Tidak dimungkiri bahwa rakyat kerap kecewa akan pemimpinnya setelah terpilih, terlebih pada masa kampanye tidak sedikit calon pemimpin menjanjikan sesuatu bagi rakyatnya. Tidak jarang pula mereka mempromosikan dirinya sebagai orang yang baik, bahkan ada yang dengan sengaja memprofilkan diri sesuai dengan yang dikehendaki rakyat, dekat dengan ulama, sederhana, dekat dengan rakyat kecil, dan sebagainya. Akan tetapi, setelah terpilih, mereka ternyata berubah drastis. Ujung-ujungnya rakyat kecewa lagi. Lantas, seperti apa sebenarnya profil pemimpin umat yang dikehendaki oleh syariat Islam?
Konsep Kepemimpinan dalam Pandangan Islam
Islam memiliki pandangan khas tentang kepemimpinan. Seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Rasulullah saw. menggunakan kata “raa’in” (penggembala), bukan kata malik, sulthan, rais, imam dan sebagainya. Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya. Penggembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya. Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.
Selain itu, pemimpin dalam Islam digambarkan sebagai perisai. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Imam Ibnu Bathal dalam kitab Syarh Shahih al-Bukhâri menegaskan bahwa junnah (جنة) berarti pelindung dari interaksi manusia satu sama lain. Dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia, yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Al-Imam, ia bagaikan perisai atau pelindung, ia akan mencegah musuh-musuh menyerang, dan menjaga manusia yang satu tidak akan menghancurkan manusia yang lain, serta kemurnian Islam akan dijaga.”
Selain itu, kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam keimanan dan ketakwaan kepada Allah taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tetap terjaga.
Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah riwayat hadis, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).
Hal penting lainnya yang harus dipahami adalah bahwa kepemimpinan atau kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Swt. dan amar makruf nahi mungkar. Dalam Islam, rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.
Dengan demikian, sangat nyata bahwa sistem pemerintahan dalam Islam akan menutup peluang lahirnya otoritarian, kesewenang-wenangan, dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Ini semua akan terwujud jika rakyat maupun penguasa tunduk sepenuhnya kepada hukum Allah Ta’ala.
Kriteria Pemimpin dan Aparat Negara yang Ideal
Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa kekuasaan itu memiliki dua kriteria utama, yaitu kekuatan (al–quwwah) dan amanah (al–amanah). Yang dimaksud dengan al–quwwah adalah kapabilitas dalam semua urusan, baik dalam urusan peperangan, urusan pemerintahan (yang terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan), serta kemampuan dalam menerapkan syariat. Adapun amanah, direfleksikan pada takut kepada Allah Swt., tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan tidak pernah gentar terhadap manusia.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 2 menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al–quwwah (kekuatan), at–taqwa (ketakwaan), dan al–rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyatnya).
Pejabat negara harus memiliki quwwatu syakhshiyyah (kekuatan kepribadian), yaitu kekuatan ‘aqliyah dan kekuatan nafsiah. Seorang pemimpin selain harus memiliki kekuatan akal yang memadai, ia juga memiliki pola sikap kejiwaan yang baik, yakni sabar, tidak emosional, dan tergesa-gesa. Ini semua akan menjadikannya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariah Islam, mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas, dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
Dijelaskan dalam sebuah hadis dari Abu Dzar ra., ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw.,‘Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak mempekerjakan saya?’ Mendengar pertanyaan itu, beliau saw. menepuk-nepuk dua pundak Abu Dzar, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sementara tanggung jawab itu amanat. Dan kelak pada Hari Kiamat [menjadi sebab] kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakannya dalam kebenaran.’” (HR Muslim).
Tidak dimungkiri bahwa dalam kekuatan syahsiah terdapat potensi bagi timbulnya hegemoni dan tirani, maka penguasa harus memiliki sebuah sifat yang melindunginya dari kejahatan tirani. Karena itu seorang pemimpin harus memiliki sifat at-taqwa (ketakwaan) dalam dirinya sendiri maupun dalam kepemimpinannya terhadap umat. Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Taala. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariat Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk menerapkan hukum-hukum Allah Taala. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir kelak.
Dalam hadis lain, Sulaiman bin Buraidah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu, jika Rasulullah saw. mengangkat seorang pemimpin atas pasukan atau sariyyah (detasemen), beliau berpesan kepadanya dengan ketakwaan kepada Allah Swt. dalam dirinya sendiri, dan agar ia memperlakukan kaum muslim yang bersamanya dengan baik.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sedangkan ar-rifq adalah lembut terhadap rakyatnya menjadikan pemimpin akan makin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Aisyah ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.’” (HR Muslim).
—
Figur Pemimpin pada Era Kejayaan Islam
Pemimpin pada masa Islam tegak memahami bahwa tanggung jawab kepemimpinan adalah dunia akhirat. Artinya, di dunia ia bertanggung jawab atas nasib rakyat. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah Taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Alhasil, rakyat bisa mengeluh kepada pemimpin mereka ketika kebutuhan mereka tidak tercukupi atau kepada khalifah ketika pemimpin daerah abai terhadap pemeliharaan urusan mereka.
Mereka juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam hadisnya, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).
Khalifah Umar ra. pernah berkata, “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah Swt. kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak mengapa aku tidak menyediakan jalan yang rata.” Ungkapan tersebut menunjukkan kesadaran khalifah Umar bin Khaththab yang sangat tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kalau keledai jatuh saja beliau sangat takut, apalagi jika rakyatnya yang jatuh akibat jalan yang tidak rata.
Begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap umatnya hingga membuat mereka sering menangis, merenung, dan tidak bisa tidur dalam kepemimpinannya. Fathimah, istri Umar bin Abdul Aziz, pernah menemui suaminya di tempat salatnya dengan air mata membasahi janggutnya. Ia berkata, “Wahai amirulmukminin, bukankah segala sesuatu itu adalah baru adanya?” Umar menjawab, “Fathimah, aku memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Aku juga memikirkan persoalan orang-orang yang fakir dan kelaparan, orang yang sakit dan diacuhkan, orang yang tidak sanggup berpakaian yang tersisihkan, orang yang teraniaya dan tertindas, yang terasing dan tertawan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tetapi hartanya sedikit, serta orang-orang seperti mereka di seluruh pelosok negeri. Aku sadar dan aku tahu bahwa Tuhanku kelak akan menanyakannya pada Hari Kiamat. Aku khawatir saat itu aku tidak memiliki alasan terhadap Tuhanku maka menangislah aku.”
Demikianlah, ketika sistem Islam diterapkan secara sempurna sebagai panggilan akidah, kita akan menemukan berbagai kebaikan, keadilan, dan kepedulian para pemimpin. Kita pun akan melihat para pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya yang kemudian bersama-sama mencintai Allah Swt. dan Rasul-Nya, serta saling berwasiat dalam ketakwaan dan saling menasihati dalam kesabaran.
Jika seorang penguasa bertakwa kepada Allah, takut kepada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh-Nya dalam keadaan rahasia dan terang-terangan, semua itu akan mencegahnya bersikap tirani terhadap rakyatnya. Meskipun demikian, takwa tidak menghalanginya untuk bersikap tegas dan disiplin. Karena, dalam penjagaannya terhadap Allah, dia senantiasa berpegang pada perintah dan larangan-Nya.
Allah memerintahkan seorang penguasa untuk bersikap lemah lembut dan tidak menyusahkan rakyatnya. Diriwayatkan dari Aisyah, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkan ia. Barang siapa memimpin umatku lalu ia bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.’” (HR Muslim).
Allah pun memerintahkan seorang penguasa agar menjadi pemberi kabar gembira dan agar ia tidak menimbulkan antipati. Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata bahwa dahulu Rasulullah saw. jika mengutus seseorang dalam suatu urusan, beliau saw. bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan menimbulkan antipati. Mudahkanlah dan jangan mempersulit.”
Demikianlah, syariat Islam telah memberikan gambaran secara terperinci mengenai profil seorang pemimpin umat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Fakta-fakta ini dapat kita saksikan ketika Khilafah tegak, sistem yang akan menerapkan syariat Islam secara sempurna. Inilah saatnya umat Islam untuk mewujudkannya. [SM/Ah]
#PemimpinPengurusRakyat #ButuhKepemimpinanIslam