Sepuluh Agenda Politik Ulama Perempuan yang Merusak Perempuan

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini – Forum Ulama Perempuan Madura berkomitmen untuk mengawal 10 Agenda Politik Perempuan guna mewujudkan Madura yang berkeadilan. Komitmen itu disampaikan pada kegiatan yang dikemas dengan doa Pilkada Damai Madura dan penandatanganan komitmen oleh setiap perwakilan pasangan calon dari empat kabupaten di Madura, Rabu (20-11-2024). (KabarMadura.com, 21-11-2024)

Adapun isi 10 Agenda Politik Perempuan tersebut: (1) Pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas. (2) Pemenuhan hak pendidikan

(3) Penghentian kekerasan terhadap perempuan. (4) Penghentian pemiskinan perempuan dan kelompok marjinal melalui perlindungan sosial. (5) Perlindungan perempuan dalam situasi konflik, bencana serta pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. (6) Pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi perempuan. (7) Perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. (8) Hak politik perempuan. (9) Penghapusan produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. (10) Penghentian korupsi.

Komitmen tersebut berangkat dari pemahaman bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan dan perubahan sosial, maka siapa saja termasuk para pemimpin yang terpilih dalam pilkada khususnya, dituntut untuk ikut memperjuangkan terpenuhinya 10 Agenda Politik Perempuan ini.

Sangat penting untuk kita kritisi apakah betul tuntutan dan agenda tersebut akan membawa kebaikan bagi perempuan? Selain itu, apakah agenda tersebut lahir berspiritkan Islam, mengingat isu ini diusung oleh mereka yang menyebut dirinya ulama perempuan. Ataukah ada bahaya terselubung yang perlu kita waspadai, agar tidak kontraproduktif dengan tugas para ulama perempuan atau mubalighah yang sebenarnya.

Agenda Feminis dan Kecacatannya

Sepuluh agenda politik perempuan sudah sejak lama dicetuskan Koalisi Indonesia Beragam pada 7 maret 2014 dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2014. Sejak saat itu, agenda tersebut terus diusung oleh banyak penggiat perempuan termasuk kelompok ulama perempuan.

Sepuluh agenda politik perempuan adalah isu politik yang diusung kelompok feminis. Sebagaimana yang kita ketahui, kelompok feminis adalah penggiat isu perempuan yang pemikirannya lahir dari Barat, yakni feminisme. Fokus utama feminisme adalah menciptakan lingkungan di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki hak yang sama, kesempatan yang setara, dan diperlakukan dengan adil.

Feminis atau pejuang kesetaraan gender menganggap bahwa penindasan, kekerasan, dan penderitaan perempuan terjadi karena tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Maka mereka berupaya menuntut hak-hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan sebagaimana tercermin dalam 10 agenda politik di atas. 

Sepuluh agenda politik perempuan di atas sekilas nampak bagus, namun jika kita dalami satu per satu akan kita temukan kecacatan mendasar sekaligus ilusi pencapaiannya di tengah sistem saat ini. Karena pada hakikatnya 10 agenda politik perempuan yang diusung adalah turunan dari target global. Isu kesetaraan gender adalah salah satu target SDGs yang dirancang Barat agar diratifikasi dan dilaksanakan oleh negara-negara di dunia, khususnya di negeri-negeri kaum muslimin.

Dari 10 agenda tersebut ada poin yang memang menjadi hak perempuan juga hak seluruh masyarakat tanpa membedakan gender, di antaranya hak memperoleh pendidikan, perlindungan perempuan dalam situasi konflik, penghentian pemiskinan, dan pemberantasan korupsi.

Misalnya dalam tuntutan hak penghentian kemiskinan, kaum feminis menganggap perempuan menjadi kelompok yang paling mengalami kemiskinan akibat ketimpangan gender. Pada tahun 2023 UN women mengeluarkan prediksi bahwa Lebih dari 340 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia bakal hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2030 apabila kesenjangan gender terus terjadi. Menurut laporan tersebut, dunia masih gagal mencapai kesetaraan gender meski sudah ada berbagai upaya. (Kompas.com, 11-09-2023)

Padahal faktanya, kemiskinan bukan hanya dirasakan oleh kelompok perempuan saja, tapi juga laki-laki. Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, laki-laki dan perempuan tidak jauh beda. Laki-laki 8,86% sedangkan wanita 9,20%. (Bps.go.id) Selain itu, Berdasarkan jenis kelaminnya Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan dengan laki-laki menjadi hampir setara pada Agustus 2024. (cnbcindonesia.com, 05-11-2024)

Dan juga, kemiskinan tersebut bukan disebabkan oleh ketimpangan gender, melainkan karena penerapan ekonomi kapitalis liberal, yaitu ketika sumber daya alam dan akses terhadap harta dikuasai para pemilik modal saja. Bahkan negara diposisikan sebagai regulator yang menjamin kepentingan para pemilik modal. Sementara rakyat kebanyakan, baik laki-laki maupun perempuan sangat sulit mengakses sumber-sumber harta, juga tidak ada jaminan kebutuhan primer dari negara, menyebabkan kemiskinan semakin tinggi.

Maka, hak tersebut tidak mungkin akan terpenuhi ketika sistem yang diterapkan negara masih sekuler-kapitalis, termasuk siapapun yang berkuasa. Malah kemiskinan yang menimpa rakyat baik perempuan maupun laki-laki akan terus meningkat. Kondisi ini berlaku pula pada hak pendidikan, perlindungan konflik juga pemberantasan korupsi.

Sehingga, seharusnya yang menjadi tuntutan agar hak-hak tersebut bisa terpenuhi adalah tuntutan agar mencampakkan sistem kapitalisme ini dan menggantinya dengan sistem Islam, yang telah terbukti pernah membangun peradaban yang mulia menyejahterakan semua, baik laki-laki maupun perempuan.

Adapun poin lain seperti hak reproduksi dan seksualitas, perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, hak politik dalam kerangka demokrasi, jelas bertentangan dengan Islam.

Hak reproduksi dan seksualitas misalnya, salah satu di antaranya adalah hak untuk mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Hak ini bisa disalahgunakan sebagai dasar adanya tuntutan pidana bagi suami yang memaksa istrinya dalam berhubungan seksual. Tentang hal ini, sudah ada delik  marital rape atau perkosaan dalam perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Padahal dalam Islam, istri wajib taat kepada suami jika diajak untuk berhubungan. Tentu, suami pun melakukannya dengan cara yang makruf.

Selain itu, hak tersebut pun bisa dijadikan sebagai dalih membenarkan perbuatan zina yang dilakukan tanpa paksaan melainkan atas dasar suka sama suka. Padahal, zina adalah perbuatan yang jelas haram dalam Islam.

Selanjutnya hak perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Hak ini pun sangat berbahaya, bisa ditafsirkan dan diimplementasikan sebagai kebolehan bagi perempuan (muslimah) untuk berkeyakinan apa saja, meskipun bertentangan dengan syariat. Nampak pada banyaknya pembelaan kaum feminis terhadap kelompok-kelompok menyimpang seperti Ahmadiyah atau L8BT. Bahkan dengan dalih ada hak ini, perilaku murtad pun menjadi hak yang harus dihargai.

Adapun hak politik perempuan yang paling sering  digaungkan masih terjebak dalam kerangka demokrasi yaitu ketika hak tersebut hanya diukur dari keterlibatan perempuan dalam pemilu, atau partisipasi perempuan dalam jabatan-jabatan pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. Lagi-lagi beberapa syariat Islam selalu dituduh menghambat tercapainya hak tersebut. Misalnya, syariat Islam yang mengharamkan perempuan menjabat sebagai penguasa.

Lagipula hingga detik ini, belum ada bukti nyata bahwa dengan keterlibatan perempuan dalam politik demokrasi berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi perempuan. Oleh karena itu, anggapan feminis bahwa membangkitkan perempuan berdasarkan keadilan dan kesetaraan gender adalah kesalahan fatal.  Laki-laki dan perempuan itu mencapai keadilan dan kesetaraan gender, perempuan akan terbebas dari penindasan, kekerasan, dan diskriminasi tidak pernah bisa diwujudkan selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme sekular. 

Maka dari itu, agenda politik yang berisi hak-hak tersebut jelas bukan lahir dari spirit Islam, melainkan dari pemahaman Barat yang mendewakan kebebasan (freedom). Bahkan bertentangan dengan Islam, yang artinya alih-alih akan membawa kebaikan pada perempuan, justru akan merusak perempuan. Hingga agenda tersebut tidak layak diperjuangkan oleh seorang muslimah, apalagi ulama/mubalighah perempuan.

Agenda Politik Mubaligah: Dakwah Islam Kaffah

Karena tuntutan di atas diusung oleh kelompok yang menamakan diri ulama perempuan, maka istilah ulama perempuan ini perlu juga dipahami. Ulama perempuan dalam konteks di atas adalah terminologi khusus yang digunakan oleh feminis muslim untuk menyebut siapa saja (baik laki-laki/perempuan) yang memiliki perspektif keadilan gender dalam memandang satu persoalan. Ulama perempuan ini tidak lain adalah feminis muslim yang mengemas pemikiran kesetaran gender dengan menafsirkan dalil sesuai dengan yang dikehendaki.

Sayangnya, di tengah masyarakat masih terjadi kerancuan terhadap istilah ini. Seolah-olah ini adalah perempuan yang alim terhadap agama/syariat sehingga banyak mendapat dukungan dari kalangan mubalighah/pesantren, atau ormas Islam. Terlebih lagi banyak harapan baik dari Menag maupun MUI agar bu Nyai sebagai orang yang alim turut terlibat dalam pergerakan ulama perempuan ini terutama dari kalangan  Nyai muda untuk memajukan kaum perempuan.

Kerancuan terhadap istilah ini perlu dijelaskan di tengah umat khususnya di kalangan pesantren dan mubalighah, agar tidak terlibat dalam pergerakan kelompok ini. Karena keberadaan mereka dalam pergerakan ulama perempuan akan menguatkan eksistensi dan pergerakan kelompok feminis dalam menjauhkan perempuan muslimah dari Islam Kaffah dan ketepatan dalam memandang problem masyarakat.

Dalam Islam, masalah yang menimpa perempuan tidak dipandang dengan kacamata gender, melainkan dipandang sebagai permasalahan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dan syariat Islam memang diturunkan untuk menyelesaikan semua permasalahan manusia.

Maka, pada masalah pemenuhan kesejahteraan ekonomi misalnya,  syariat Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok setiap warga negaranya, sandang pangan papan, juga pendidikan dan kesehatan. Negara akan memiliki banyak sumber dana untuk merealisasikannya dari pos sumber kepemilikan umum, berupa hasil dari pengelolaan sumber daya alam (SDA). Karena dalam Islam SDA wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

Syariat Islam juga mengatur hal-hal secara khusus menjadi urusan perempuan dan laki-laki berdasarkan ilmu Allah, yang paling mengetahui fitrah perempuan dan laki-laki, misalkan ada syariat kewajiban menjadi qawwam, mencari nafkah yang hanya dibebankan kepada laki-laki. Atau ada syariat yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, haid, dll yang khusus bagi perempuan. Perbedaan beberapa hal itu bukan karena ada ketimpangan gender sebagaimana yang sering dituduhkan feminis, melainkan keadilan Allah SWT kepada hamba-Nya. Meski ada beberapa perbedaan tugas dan hak, laki-laki dan perempuan dipandang sama, yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling bertakwa (Lihat QS Al-Hujurat: 13)

Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya wajib saling tolong menolong dalam berbagai perkara, sebagaimana firman Allah SWT,

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُّقِيمٌ

Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah (9) : 21).

Demikian Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dengan syariat-Nya yang sempurna, sehingga terjalin kerja sama, kasih sayang, bukan persaingan menuntut kesetaraan.

Dan yang paling penting di sini adalah peran negara Islam, yakni Khilafah Islamiyah yang menerapkan Islam secara kaffah yang akan mampu mewujudkan kebaikan bagi semua rakyatnya, baik laki-laki dan perempuan. Imam Al-Qurthubi menyebut Khilafah atau Imamah sebagai ‘a’dzamul waajibat, yaitu kewajiban paling agung. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjulukinya sebagai taajul furuudh ‘mahkota kewajiban’. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa Khilafah adalah mahkota kewajiban. Pasalnya, tanpa Khilafah, sebagian besar syariat Islam akan terabaikan; atau dengan kata lain, tanpa Khilafah, hukum-hukum Islam tidak akan terlaksana secara sempurna.

Khatimah

Agenda sekaligus tuntutan untuk kebaikan perempuan jelas harus disuarakan. Hanya saja bukan agenda yang berasal dari dikte Barat, melainkan harus berdasarkan dari syariat Islam. Terlebih oleh para ulama perempuan sejati, yakni para daiyah/mubalighah, yang memegang peran penting dalam membina umat.  Para mubaligah tidak boleh terjebak dengan arus politik serta agenda feminis yang merusak ini.

Sebaliknya, jika sungguh-sungguh mengharapkan terwujudnya kebaikan bagi perempuan khususnya, dan seluruh umat pada umumnya, para mubalighah justru harus fokus pada agenda politik dakwah Islam kaffah, guna mewujudkan kembali janji Allah dan Rasul-Nya, yakni tegaknya kembali Khilafah Islamiyah a’la minhajin nubuwwah yang kedua. Lahawla walaa quwwata illa billah.

Wallahu a’lam bishshawab.

[SM/Ln]