Oleh: Qisthi Yetty Handayani
Suaramubalighah.com, Opini — Ramadan tahun ini, proyek moderasi beragama atas nama toleransi beragama kian masif, bahkan terkesan dipaksakan. Atas nama toleransi dan keberagaman, mulai tahun ini di Kabupaten Blitar dirintis Pondok Ramadan Lintas Agama. Pondok Ramadan ini tidak hanya dijalankan oleh anak didik yang beragama Islam, tetapi juga dilaksanakan oleh anak didik dari lintas agama.
Menurut Kepala Seksi (Kasi) Pendidikan Agama Islam (PAIS) Kantor Kemenag Kabupaten Blitar Drs. Moh. Rosyad, M.Si., Pondok Ramadan Lintas Agama dijalankan oleh satuan pendidikan, mulai jenjang PAUD hingga SMA sederajat.
Dalam pelaksanaannya, agenda ini memiliki nama untuk masing-masing agama. Seperti Pondok Ramadan 1446 Hijriah untuk anak didik yang beragama Islam, Pendalaman Iman Katolik untuk anak didik yang beragama Katolik, Pondok Kasih untuk anak didik yang beragama Kristen, Pasraman Kilat untuk anak didik yang beragama Hindu, dan Dhamma Class untuk anak didik yang beragama Buddha.
Selain itu, dialog lintas agama juga menghiasi agenda para pejabat dan pemuka agama dan masyarakat. Dialog lintas agama yang digelar di Masjid Istiqlal dihadiri oleh Guru Besar Al-Azhar Kairo Muhammad Abdusshomad, Perwakilan Keuskupan Agung Jakarta Romo Antonius Suryadi, Perwakilan Persekutuan Gereja Kristen Protestan Martin Lukito Sinaga, dan Ketua OIAA Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi.
Menurut Menag, menjaga kerukunan dalam masyarakat Indonesia yang beragam dapat dicapai dengan memperkuat moderasi beragama dan mengembangkan konsep toleransi yang mendalam. “Toleransi itu lebih dari sekadar koeksistensi. Koeksistensi hanya memungkinkan kita hidup berdampingan tanpa saling terhubung, sedangkan toleransi mengikat kita dengan tali cinta,” ujar Menag, Jumat (7-2-2025).
Serta masih banyak lagi, agenda moderasi beragama atas nama toleransi dilakukan oleh berbagai pihak khususnya pemerintah. Seakan lupa akan persoalan besar yang terjadi di negeri ini yang lebih mendesak dan lebih penting untuk disikapi, seperti korupsi yang ugal-ugalan, Pertamax dan minyak goreng oplosan, pagar laut, kriminalitas, dan sebagainya.
Selain itu, istilah “Pondok Ramadan” yang identik dengan Islam yang diberlakukan untuk semua agama sesungguhnya merupakan kebijakan yang tidak tepat. Ini karena lambat laun dikhawatirkan akan terjadi sebaliknya, yakni ketika agama lain menjalankan ritual agama mereka, muslim dituntut untuk ikut juga, semacam “balas budi toleransi”.
Bahaya di Balik Berbagai Proyek Moderasi Beragama
Pondok Ramadan Lintas Agama merupakan salah satu implementasi dari proyek moderasi beragama yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah beranggapan bahwa cara beragama secara benar (khususnya umat Islam) yang menginginkan penerapan syariat Islam secara kaffah (mendasar dan menyeluruh) akan memunculkan sikap radikal dan ekstremis. Alhasil, digulirkanlah konsep moderasi beragama yang notabene sebagai cara beragama seperti orang Barat (memisahkan agama dari kehidupan, memisahkan agama dari politik dan negara).
Istilah “moderasi beragama” sendiri bukan berasal dari Islam, bahkan sama sekali tidak memiliki akar sejarah dengan Islam. Istilah moderasi agama ini dapat dilacak sejak Revolusi Iran 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Fereydoon Hoveyda menegaskannya dalam artikelnya (2001) “Moderate Islamist? American Policy Interest” sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.
Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah islamic moderation, moderate muslim, atau moderate Islam, mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal, yaitu di sisi adalah muslim, Islam, atau islamis (aktivis Islam); di sisi lain adalah Barat (the west). Istilah moderate islamist (aktivis Islam moderat) ini dianggap pro Barat (the west), khususnya Amerika Serikat. Sebagai lawan moderate islamist itu akhirnya diberi label hard-line islamist (aktivis Islam garis keras), yaitu mereka yang menginginkan Islam secara murni dan menolak ideologi Barat.
Salah satu indikator dari moderasi beragama adalah bersikap toleran terhadap perbedaan di masyarakat. Masalahnya, ide toleransi yang berkembang saat ini bukanlah ide toleransi menurut perspektif Islam, melainkan menurut paham sekuler liberal. Profesor Muhammad Ahmad Mufti, seorang guru besar ilmu fikih siyasah di Arab Saudi, telah mengkritik keras ide toleransi ala liberal yang dipakai oleh pemerintah untuk proyek moderasi beragama dalam kitabnya Naqdu at-Tasamuh al-Libirali (Kritik terhadap Toleransi Liberal) yang terbit 1431 H atau 2010 M).
Dalam kitabnya itu, beliau menjelaskan bahwa ide toleransi liberal didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok dari Barat. Pertama, sekularisme (al-‘alamaniyyah, al-laadiniyyah). Kedua, relativisme (an-nisbiyyah). Ketiga, pluralisme dan demokrasi (at-ta’addudiyyah wa ad dimuqrathiyyah). (Muhammad Ahmad Mufti, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali, hlm. 8).
Jadi, ukuran toleran dan intoleran dalam ide toleransi liberal yang berkembang sekarang rujukannya adalah tiga gagasan dasar tersebut, yaitu gagasan Barat, bukan gagasan Islam. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi ajaran Islam dan umat Islam itu sendiri. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya pengaburan batas-batas agama. Moderasi beragama melalui dialog lintas agama termasuk pondok Ramadan lintas agama dapat mengaburkan batas-batas agama dan menyebabkan kehilangan gambaran yang jelas tentang Islam secara utuh karena tidak adanya kebenaran agama yang absolut. Kebenaran dianggap relatif—yang melahirkan pluralisme beragama—yang mana semua agama dianggap sama dan tidak ada yang benar atau salah.
2. Kehilangan otoritas agama. Moderasi beragama melalui dialog lintas agama dapat menghilangkan otoritas agama dan menyebabkan kehilangan kepercayaan kepada ajaran agama bahkan dapat menyebabkan sinkretisme agama, di mana unsur-unsur agama yang berbeda digabungkan menjadi satu.
3. Kehilangan identitas muslim. Dialog lintas agama dapat menghilangkan identitas muslim dan menyebabkan kehilangan kepercayaan kepada ajaran Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang bobrok dan menyesatkan.
4. Menghalangi kebangkitan Islam. Umat Islam akan beragama seperti yang Barat kehendaki sehingga tidak ada girah (semangat) untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan Khilafah.
Ummatan Wasathan yang Toleran Hanya Akan Terwujud dalam Sistem Khilafah
Ulama yang mendukung pemerintah untuk proyek moderasi beragama, kerap kali menggunakan dalil ummatan wasathan yang ada dalam QS Al-Baqarah ayat 143. Oleh sebab itu, penting untuk menggali secara detail dan terperinci tentang makna ummatan wasathantersebut.
Menurut Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, makna ummatan wasathan dalam ayat ini adalah umat yang adil (ummat[an] ‘adl[an]). Demikian juga menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi.
Imam Asy-Syaukani dan Imam Al-Qurthubi menafsirkan demikian atas dasar hadis sahih dari Abu Said al-Khudri ra. ketika Rasulullah saw. membaca ayat, “’Wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an] (Demikianlah, Kami menjadikan kalian umat pertengahan),’ beliau saw. bersabda, ‘Maksudnya umat yang adil (‘adl[an]).’” (HR At-Tirmidzi).
Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara Yahudi dan Nasrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat bahwa para nabi sebelum Rasulullah saw. telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.
Sebagaimana dimaklumi dalam fikih bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual beli atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil. Nah, makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummatan wasathan dalam QS Al-Baqarah ayat 143. Jadi, ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan moderasi beragama.
Adapun terkait toleransi, Islam menggariskan bahwa standar toleransi itu Al-Qur’an dan Sunah. Bukan sekularisme, relativisme, pluralisme, dan demokrasi, sebagaimana standar toleransi Barat. Apa pun yang ditoleransi oleh Al-Qur’an dan Sunah, akan ditoleransi oleh umat Islam. Sebaliknya, apa saja yang tidak ditoleransi oleh Al-Qur’an dan Sunah, tidak akan ditoleransi oleh umat Islam.
Toleransi Islam terhadap umat non-Islam juga telah ditetapkan dalam syariat Islam secara terperinci. Hal tersebut menjadi standar sikap kaum muslim dalam kehidupannya yang terus terjaga dari dahulu hingga kini. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, yang menjadi pedoman bagi kaum muslim dalam berhubungan dengan dunia di luar Islam.
Kehidupan yang Toleran dalam Naungan Khilafah Tampak Jelas
Pertama, Islam tidak melarang berbuat baik, senantiasa menyambung silaturahmi, serta membalas kebaikan dan berbuat adil kepada orang kafir. Allah Swt. berfirman, “Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (Tafsîr Karîm ar-Rahman, hlm. 819) menafsirkan ayat ini, “Dalam ayat ini, Allah tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Selama mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kaum muslim.”
Kedua, banyak kisah kehidupan pada masa sahabat dan tabiin terkait berbuat baik terhadap tetangganya yang nonmuslim. Seperti yang dikisahkan oleh seorang tabiin yang juga ahli tafsir, yakni Imam Mujahid. Beliau berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Ia lalu berkata, ‘Wahai pembantuku, jika engkau telah selesai (menyembelih), bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.’”
Ketiga, kafir zimmi dilindungi jiwa, harta, dan kehormatannya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir zimi tidak akan mencium bau surga. Padahal, sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR An-Nasa’i).
Kafir zimmi diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya, khususnya yang berada di wilayah privat seperti ibadah. Namun demikian, toleransi ini bukan berarti membenarkan ajaran mereka atau mencampuradukkannya dengan ajaran Islam.
Keempat, Allah Swt. melarang tegas upaya mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya. Hal ini, misalnya, tertera pada QS Al-Kafirun ayat 1—6. Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan asbabunnuzul tersebut. Diriwayatkan bahwa beberapa orang kafir Quraisy—yaitu Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Aswad Ibnul Muthallib dan Umayyah bin Khalaf—menemui Rasulullah saw. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah QS Al-Kafirun sebagai penolakan terhadap tawaran toleransi versi kafir Quraisy tersebut (Tafsîr al-Qurthubi 20/206—225).
Sepanjang sejarah +- 13 abad di bawah naungan Khilafah, dunia mengakui Islam rahmatan lil’alamiin. Sebagai contoh, apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong, “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam).” (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44).
Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan umat Islam dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. Justru kaum Yahudi mengalami penindasan saat Kristen berkuasa.
Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, pernah menuliskan tentang kebijakan Khilafah Ustmaniyah terhadap warganya yang nonmuslim. Arnold menyatakan, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”
Ia pun mencatat bahwa keadilan Khilafah Islamiah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal, Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).
Khatimah
Pada Ramadan saat ini, sudah semestinya pemerintah, ulama, dan umat Islam memperkuat ketakwaan untuk menjalankan semua perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan kata lain menjalankan syariat Islam secara kafah dalam naungan Khilafah agar terwujud keharmonisan hidup dan terwujud rahmatan lil’alamiin bagi seluruh umat manusia. Apabila saat ini belum terlaksana penerapan syariat Islam secara kafah, seyogianya memasifkan perjuangan untuk menerapkan syariat Islam itu secara kaffah. Wallahu a’lam. [SM/Ah]