Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini_ Kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten, terus mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Pembangunan pagar laut tersebut, disinyalir telah mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan di Tangerang. Berdasarkan data Bhumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), total wilayah laut yang masuk area pagar laut mencapai 537,5 hektare. Keberadaan pagar laut itu dianggap telah merugikan warga, karena menyulitkan nelayan dan pembudidaya untuk mencari nafkah. Total warga yang berprofesi sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan pembudidaya sebanyak 502 orang. Ombudsman menaksir kerugian yang dialami nelayan mencapai Rp8 miliar.
Di sisi lain, sejumlah kalangan masyarakat telah menuntut pemerintah untuk segera membatalkan status Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Karena diduga beririsan dengan kasus pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer, yang dilaporkan warga kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024. Namun kasus pagar laut tersebut baru viral pada akhir 2024.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga Agung Sedayu Group bertanggung jawab pada pembangunan pagar laut dari bambu untuk membatasi area yang akan menjadi sasaran reklamasi untuk kepentingan PSN. Agung Sedayu Group milik Aguan dan Salim Group milik Anthoni Salim merupakan pemilik kawasan properti Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang bersebelahan dengan lokasi pagar laut.
Terkait kasus ini, MUI pun menggalang soliditas untuk membangun kekuatan melawan kezaliman dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Ketua Tim Tabayyun dan Advokasi MUI KH Masduki Baidlowi, menegaskan hasil dari Musyawarah Kerja (Mukernas) IV MUI beberapa waktu lalu yang meminta secara tegas proyek PSN di PIK 2 harus dicabut sebab dinilai banyak mudharatnya dan menzalimi rakyat. Sejumlah ulama di Provinsi Banten juga menyurati Presiden Prabowo Subianto terkait keberadaan pagar laut di Kabupaten Tangerang dan Serang. Selain itu sejumlah ulama dan tokoh yang tergabung dalam Forum Musyawarah Ulama, Akademisi, dan Tokoh Masyarakat (FMUATM) tersebut meminta Prabowo menangkap dalang yang membuat pagar laut.
Namun di sisi lain ada tokoh agama/ulama yang justru mempertahankan PSN. Di antara tokoh agama atau ulama tersebut adalah Fahmi Ardi, tokoh agama dari Teluk Naga, yang berharap kontroversi pagar laut tidak mengganggu rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan pesisir utara Tangerang. Karena dianggap membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi warga setempat. Kiai Hasan Basri, mengingatkan pentingnya Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) bagi masyarakat pesisir utara Tangerang. Jika dihentikan maka puluhan ribu warga setempat akan kehilangan lapangan pekerjaan.
Buah Kapitalisme Sekuler
Sungguh ironis. Menyikapi kasus pemagaran laut tersebut, nyatanya para pejabat beda pendapat. Misalnya, saat TNI AL membongkar pagar laut itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru tidak setuju. Saat Menteri ATR/BPN menyatakan bahwa kawasan pagar laut itu telah memiliki SHGB dan SHM, Menteri Kelautan dan Perikanan justru heran mengapa sertifikat dapat diterbitkan, karena menurut undang-undang, seluruh wilayah laut adalah milik umum sehingga tidak boleh ada sertifikat. Demikian pula dengan tokoh agama, ada silang pendapat di antara mereka tentang penyikapan terhadap pagar laut tersebut. Ada yang menganggapnya sebagai perkara kezaliman dan mengandung banyak mudharat, tapi ada tokoh agama yang justru menganggapnya sebagai hal yang membawa pada kemajuan, kesejahteraan, dan termasuk bagian dari penyediaan lapangan pekerjaan bagi warga.
Perbedaan pendapat seperti ini memang wajar terjadi, mengingat aturan yang ada bersumber dari buatan manusia. Di dalamnya, ada banyak celah yang bisa dipermainkan dan dinarasikan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing. Ujung-ujungnya, semua demi uang dan keuntungan materi. Berbagai hal yang jelas-jelas merugikan rakyat dan negara pun, bisa jadi legal atas nama investasi dan proyek strategis. Mirisnya, hal itu telah disahkan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku, hasil ketok palu wakil rakyat dalam mekanisme sistem demokrasi yang jauh dari sikap takwa, sehingga mencampakkan ketentuan agama. Walhasil, undang-undang yang ditetapkan justru lebih berpihak pada kaum pemodal kapitalis, korporasi dan oligarki. Tapi abai terhadap kepentingan rakyat dan bangsa.
Inilah pola pengaturan kehidupan bernegara yang khas ala kapitalisme sekuler liberal. Semua serba bebas, tanpa memperhatikan halal haram. Siapa yang berkuasa dan punya modal besar, dialah pihak yang paling bisa mengendalikan semua aturan yang ada. Tidak lagi peduli terhadap penderitaan rakyat dan terampasnya ruang hidup masyarakat banyak. Yang penting dapat untung sebanyak-banyaknya.
Dan mirisnya, saat pihak oligarki kapitalis merampas hak milik rakyat, negara tampak tak mampu membela kedaulatan negeri ini dan nasib rakyatnya. Kawasan laut yang sejatinya milik umum seluruh rakyat, seharusnya tidak boleh dikuasai oleh segelintir pihak oligarki. Negara harusnya mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Negara tidak boleh kalah dengan keserakahan kaum kapitalis sekuler.
Namun jika nyatanya negara tidak mampu menghukum pihak-pihak yang telah merampas milik rakyat, tentu ini menjadi sebuah indikasi betapa kuatnya pengaruh dan kendali sistem kapitalisme sekuler yang berjalan di negeri ini. Kapitalisme sekuler memang mengagungkan kebebasan individu, termasuk kebebasan hak milik. Maka siapa pun yang punya uang, dia bisa membeli dan memiliki apa pun yang dikehendakinya, sekalipun harta milik umum. Sehingga laut pun bisa dipagari untuk kepentingan korporasi milik oligarki, meski itu berarti perampasan milik umum seluruh rakyat yang jelas merugikan dan menyengsarakan rakyat. Bahkan sang oligarki tak lagi khawatir tersentuh oleh hukum, karena hukum yang berlaku pun telah berpihak padanya, dan dianggap sah menurut undang-undang yang dibuat atas nama wakil rakyat.
Akhirnya, rakyat pun harus berhadapan dengan korporasi sang oligarki kapitalis, tanpa perlindungan dari negara sebagai junnah (perisai). Rakyat tentu saja cenderung tak berdaya, bertahan di posisi yang lemah tanpa pembelaan nyata dari pemimpinnya. Padahal seharusnya, negara harus hadir di tengah-tengah rakyat sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (perisai dan pelindung rakyat). Tapi dalam sistem kapitalisme sekuler, nyatanya negara hanya memosisikan dirinya sebagai regulator saja. Lebih melayani kepentingan korporasi oligarki, dibandingkan dengan kemaslahatan rakyat. Ini sungguh berbeda dengan profil pemimpin negara dalam Islam.
Khilafah Sang Perisai
Dalam sistem Islam (Khilafah), negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab penuh terhadap semua urusan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Negara wajib menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat), junnah (perisai dan pelindung rakyat), dan khaadim (pelayan) bagi rakyatnya. Negara adalah satu-satunya pihak yang wajib dan berwenang melaksanakan semua hukum Islam secara kaffah. Dan dalam menjalankan pemerintahan, para pemimpin wajib terikat pada hukum syarak. Karena sesungguhnya kedaulatan ada di tangan syarak, bukan pada akal manusia. Maka seluruh aturan, kebijakan, dan program apapun, wajib sesuai dengan panduan hukum syarak. Tidak ada tawar-menawar dalam soal penetapan hukum dan undang-undang. Dan tidak boleh didasarkan pada kepentingan segelintir orang atau pihak tertentu seperti korporat atau pemodal apalagi asing, yang dapat menyengsarakan rakyat. Negara diharamkan menyentuh harta milik umum. Negara tidak boleh membiarkan pihak swasta atau korporat oligarki mengambil alih harta milik rakyat apalagi sampai merampas ruang hidup rakyat.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” (HR Bukhari). Artinya tidak ada penguasan atau pemagaran atas harta milik umum kecuali oleh negara, yaitu untuk mengelolanya demi kepentingan rakyatnya.
Oleh karenanya, pemagaran laut yang disinyalir berkaitan erat dengan PSN PIK 2, jelas melanggar ketentuan syariat Islam, dari aspek mekanisme pengelolaan pantai dan laut yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak. Oleh karenanya, proyek tersebut harus dihentikan.
Dalam hal ini, sudah seharusnya ulama bersuara lantang melakukan muhaasabah lil hukkam, mengoreksi kebijakan penguasa yang bertentangan dengan hukum syarak, dan meminta negara menghentikan proyek yang bertentangan dengan syariat Islam dan jelas-jelas merugikan rakyat. Maka tidak sepantasnya tokoh agama dan ulama justru menjadi amplifyer bagi kepentingan korporat oligarki kapitalis sekuler.
Terlebih, muhaasabah lil hukkam itu adalah termasuk peran politik ulama yang utama. Termasuk para muballighah. Karena sejatinya, ulama adalah pewaris nabi, pembimbing umat dalam urusan meraih kebahagiaan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Ulama juga wajib mencerdaskan umat dengan Islam kaffah, dan membersamai umat dalam menjalani kehidupan yang sesuai syariat Islam. Ulama juga yang wajib mendampingi para pemimpin dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan pelaksana syariat Islam di seluruh aspek kehidupan masyarakat dan negara. Ulama juga yang harus terdepan dalam memberikan nasihat dan melakukan koreksi terhadap penguasa agar selalu on the track di jalan Islam dalam menjalankan fungsinya sebagai pemimpin, raa’in, junnah, dan khadim (pelayan) bagi rakyatnya.
Terkait muhaasabah lil hukkam, wajib dilakukan oleh ulama bersama umat, pada semua perkara yang diberlakukan di masyarakat. Bukan hanya terkait perkara yang tidak disukai oleh rakyat saja. Tapi meliputi semua perkara yang bertentangan dengan syariat Islam, ulama harusnya lantang melakukan koreksi. Karena yang jadi landasan adalah hukum syarak, bukan manfaat atau perasaan suka atau tidak suka.
Maka, terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai hukum syarak seperti penarikan pajak (padahal Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama bagi kas negara), kebijakan pengelolaan tambang yang liberal, pengaturan pelayanan kesehatan berbasis premi (padahal Islam mewajibkan negara menyediakan pelayanan kesehatan yang berkulitas secara gratis bagi rakyat), politik pendidikan yang sekuler yang bertentangan dengan Islam, dan sebagainya, ulama pun wajib terdepan dalam melakukan muhaasabah lil hukkam.
Ulama juga wajib lantang melakukan koreksi terhadap kebijakan yang berbahaya bagi akidah umat dan bertentangan dengan Islam, seperti kebijakan pengarusan moderasi beragama yang sekuler, penerapan sekulerisme liberal yang merusak semua sisi kehidupan sosial, penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang memiskinkan dan menyengsarakan rakyat, penerapan sistem demokrasi yang justru menumbuhsuburkan korupsi, merampas keadilan, melegalkan perampasan ruang hidup serta kekayaan alam milik rakyat atas nama investasi dan proyek strategis lainnya, dan lain-lain. Semua kebijakan dan mekanisme pengelolaan urusan rakyat dan kehidupan bernegara yang tidak sesuai hukum syarak, wajib dikoreksi, dengan melakukan muhaasabah lil hukkam, melakukan edukasi dan pencerdasan hingga para pemimpin dan masyarakat paham tentang bagaimana seharusnya hidup dalam sistem Islam kaffah, yang dilandasi oleh keimanan dan takwa pada Allah Ta’ala.
Demikianlah seharusnya sikap para ulama dan muballighah. Sebagai pewaris nabi, ulama harus terdepan dalam mendidik umat dengan Islam kaffah, dan menjalankan peran politiknya dalam mengoreksi penguasa, demi memastikan semua kebijakan pemimpin selalu sesuai dengan syariat Islam. Ulama juga berperan strategis membersamai umat menjemput pertolongan Allah, berupa kemenangan Islam. Maka untuk melejitkan seluruh peran strategisnya, para ulama dan muballighah hendaknya segera mengambil peran nyata di sisi para pengemban dakwah Islam politis, yang dijalankan secara terarah oleh jamaah dakwah Islam ideologis demi memperjuangkan tegaknya kembali kehidupan Islam kaffah dalam naungan Khilafah rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.