Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Di tengah masifnya berbagai upaya pemberian perlindungan serta perjuangan kesetaraan bagi perempuan yang diklaim saat ini tengah tersubordinasi, justru banyak kasus perempuan sebagai pelaku kejahatan dan kekerasan terhadap anak dan suaminya. Ini benar-benar ironis.
Di antaranya kasus yang terjadi di Purwakarta, ada seorang istri tega membacok kepala dan tangan suaminya hingga nyaris putus. Kemudian di Medan, ada seorang istri yang juga dosen sekaligus notaris, tega membunuh suaminya diduga demi mendapatkan klaim asuransi jiwa sebesar 500 juta. Sebelumnya ada kasus istri oknum anggota kepolisian yang membakar hidup-hidup suaminya yang juga anggota kepolisian, hingga akhirnya sang suami meregang nyawa.
Beberapa contoh kasus tersebut belum termasuk kasus pelecehan seksual, kekerasan, dan kejahatan yang tega dilakukan seorang ibu pada anaknya. Terlepas dari apa pun yang menjadi motif dan alasan kekerasan dan kejahatan yang tengah marak terjadi dalam keluarga ini, tentu menjadi keprihatinan kita semua.
Asuhan Kapitalisme Sekuler
Pada setiap perempuan pasti ada fitrah keibuan yang agung dan istimewa. Perempuan identik dengan kelembutan, sabar, hatinya lapang seluas samudera, siap berkorban, ingin melindungi, penuh kasih sayang, jauh dari sikap keras dan kasar. Kasih sayangnya sepanjang masa, tak terbalas oleh apa pun. Di balik sukses seorang laki-laki pasti ada sosok perempuan yang hebat. Dan di balik anak yang tangguh, bertakwa dan berjiwa pemimpin, pasti ada sosok ibu shalihah yang cerdas dan berkarakter istimewa.
Begitulah dunia memandang sosok perempuan dan ibu. Karena memang, perempuan punya potensi dan peran yang strategis dalam kehidupan. Sumber kebahagiaan dalam keluarga dan pencetak generasi bangsa yang hebat.
Namun ironisnya, karakter lembut dan istimewa kaum perempuan itu seolah kian terkikis. Banyak kaum perempuan kehilangan fitrah keibuannya. Di tengah maraknya kasus kejahatan dalam keluarga, tak sedikit perempuan menjadi pelaku tindak kriminal tersebut.
Kondisi ini wajar terjadi, karena kini masyarakat tengah hidup dalam asuhan sistem kapitalisme sekuler yang liberal. Sistem yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan. Jika pun berperan, agama hanya boleh mengatur urusan ibadah ritual semata. Sedangkan di kehidupan sosial, agama tidak diberi ruang untuk menata pola interaksi masyarakat dan kehidupan bernegara.
Akibatnya, masyarakat merasa bebas berbuat apa pun atas nama hak asasi manusia. Dan kebebasan yang diagungkan oleh sistem kapitalisme sekuler telah menjadi bumerang bagi negeri ini. Banyak keluarga yang seolah kehilangan kewarasannya. Akal sehat dan nalurinya mati terbunuh oleh hawa nafsu, karena agama tak lagi menjadi panduan berpikir dan bersikap. Inilah wajah asli kapitalisme sekuler. Sistem yang melemahkan keimanan hamba, mengokohkan hawa nafsu. Menjauhkan hamba dari taat, menyeretnya mendekati maksiyat.
Di sisi lain masyarakat kian abai pada kewajiban amar ma‘ruf nahi munkar. Karena memang kapitalisme sekuler telah melahirkan masyarakat yang berkarakter individualis. Kepedulian pada urusan masyarakat dan umat kian menipis, tersisih oleh sikap egoisme. Hanya fokus pada kepentingan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Jauh dari suasana ta’awun dalam kebaikan, kesabaran, serta menghadirkan problem solving bagi persoalan keluarga dan masyarakat.
Walhasil, masyarakat makin kehilangan kepekaannya terhadap berbagai potensi kejahatan yang mungkin terjadi. Masyarakat juga tidak peduli pada berbagai kebijakan negara yang menyakiti rakyat dan bertentangan dengan agama, meski semua itu bisa berimbas pada ketenangan hidup keluarga. Padahal sikap ta’awun dan amar ma‘ruf nahi munkar sangat dibutuhkan untuk membantu mengurai problem keluarga, masyarakat bahkan negara.
Kondisi ini diperparah oleh negara yang absen dari menjalankan fungsi utamanya sebagairaa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (benteng pelindung rakyat). Berbagai kebijakan yang ditelurkan nyatanya lebih berpihak pada kaum oligarki. Sehingga para pengusaha yang untung, tapi rakyat yang buntung. Sistem ekonomi kapitalisme sekuler liberal yang dijalankan di negeri ini telah menciptakan kemiskinan sistemik pada rakyat.
Tekanan hidup akibat kemiskinan, kerusakan moral, dan gaya hidup bebas telah menjadi pendorong maraknya kejahatan di tengah keluarga dan masyarakat. Ketahanan keluarga pun rapuh. Kasih sayang dan saling melindungi yang seharusnya hadir di keluarga, tergerus oleh hawa nafsu dan stres akibat kesempitan hidup yang memiskinkan. Di saat yang sama, negara juga belum mampu memberikan jaminan rasa aman bagi rakyat. Sistem peradilan yang lemah dan korup tidak dapat menghadirkan rasa keadilan masyarakat terhadap kasus kejahatan. Sementara pengelolaan media penerangan yang sekuler liberal, memberi andil pula dalam memicu tindak kejahatan.
Berbagai aspek ini berkelindan dan saling memberikan pengaruh sistemik terhadap maraknya kejahatan dan kekerasan di keluarga dan masyarakat. Semuanya berakar pada rusaknya sistem kehidupan kapitalisme sekuler liberal yang dipaksakan di negeri ini. Karenanya butuh solusi tuntas yang secara sistemik dapat mengakhiri masalah ini, serta dapat mengembalikan fitrah perempuan sejati yang akan berpengaruh positif bagi kemajuan bangsa dan terlahirnya generasi calon pemimpin negeri yang tangguh dan istimewa.
Islam Menjaga Fitrah Perempuan
Sebagai satu-satunya agama yang sahih sekaligus sebagai way of live, Islam memiliki ajaran yang sempurna dan istimewa. Seluruh pemikiran dan ajaran Islam bahkan mampu memuaskan akal sehat manusia mana pun, asal dia mau berpikir secara objektif. Islam juga selalu menjaga fitrah manusia yang lemah agar on the track pada misinya sebagai hamba Allah Ta’ala, hingga seluruh hidupnya dapat bernilai ibadah.
Setiap manusia (laki-laki dan perempuan) yang diciptakan oleh Allah, telah dikaruniai berbagai potensi hidup (thaqatul hayawiyah) berupa kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhowiyah) dan naluri (gharizah). Potensi hidup inilah yang menjadikan manusia selalu bergelora menjalani hidupnya. Allah juga menganugerahkan akal pada manusia untuk berpikir, memahami berbagai fakta dan persoalan, serta memahami hukum syarak yang dapat menyolusi problem hidupnya. Sehingga manusia mampu menentukan jalan takwa di antara jalan maksiat. Manusia pun mampu memenuhi setiap tuntutan kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan ketentuan hukum syarak, hingga membuatnya merasa iqna’ (puas) dan tuma’ninah (tenang).
Secara sunnatullah, setiap manusia (baik laki-laki maupun perempuan) memiliki naluri beragama (tadayyun), mempertahankan diri (baqa’), dan melestarikan keturunan (nau’). Terkait naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’) ini, dapat terwujud dalam bentuk mencintai orang tua dan anak cucu, pasutri mencintai pasangannya, menyayangi saudara dan kerabat, menyayangi sesama muslim, menyayangi binatang peliharaan, dorongan memperlakukan tanaman dengan baik.
Dengan gharizah nau’ ini juga, Allah menghadirkan rasa suka dan kasih sayang pada lawan jenis yang dengannya dapat mendorong manusia menikah dan memiliki keturunan. Selanjutnya, seorang suami akan mencintai, menyayangi, ingin membahagiakan, tidak menyakiti, dan melindungi istrinya. Sang istri juga akan mencintai, bersikap lembut, tidak berlaku kasar, tidak hendak menyakiti, bahkan ingin taat pada suaminya. Orang tua pun akan selalu mencintai, menyayangi, bersikap lembut, tidak ingin menyakiti, tidak mau berbuat kasar, serta ingin selalu melindungi anak-anaknya. Itu semua karena Allah Ta’ala telah mengaruniakan pada manusia potensi untuk mencintai dan menyayangi.
Maka sepanjang tuntutan naluri tersebut dipenuhi dengan cara yang sahih sesuai hukum syarak, maka manusia akan merasakan kehidupan yang tenang dan tenteram, jauh dari kekerasan dan kehendak untuk berbuat jahat pada yang lainnya. Apalagi perempuan yang secara fitrahnya memiliki naluri agung seorang istri dan ibu yang lemah lembut, penuh kasih sayang, cintanya tak berpamrih, tidak ingin menyakiti, bahkan selalu ingin melindungi. Tentu semua fitrah perempuan tersebut akan selalu terjaga ketika perempuan hidup dalam keluarga dan masyarakat yang berjalan dengan panduan syariat Islam.
Butuh Support System
Persoalan maraknya kekerasan dan kejahatan yang melibatkan perempuan, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Telah dijelaskan bahwa semuanya bermuara pada kerusakan sistem kehidupan kapitalisme sekuler liberal yang diadosi negeri ini dan dipaksakan penerapannya atas masyarakat. Sistem kehidupan yang mematikan rasa takwa dan mendewakan hawa nafsu, sehingga kejahatan dan kemaksiyatan menjadi niscaya.
Maka untuk menyelesaikannya, negeri ini harus segera meninggalkan sistem kapitalisme sekuler yang fasad, dan menghadirkan kembali sistem hidup Islam di seluruh sisi kehidupan masyarakat dan negaranya. Mayoritas penduduknya yang beragama Islam, menjadikan negeri ini sangat pantas diatur dengan Islam. Terlebih lagi, menerapkan Islam secara kaffah merupakan kewajiban dari Allah.
Dalam hal ini, negara lah pihak yang paling bertanggung jawab bagi tuntasnya problem kejahatan yang melibatkan perempuan baik sebagai korban atau pelaku. Karena memang dalam pandangan Islam, negara wajib hadir menjalankan dua tugas utamanya, yaitu sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Sebagai raa’in, negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok asasi setiap individu rakyatnya, baik sandang, pangan dan papan. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok kolektif seluruh rakyatnya, berupa jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis dan kualitas terbaik. Dan sebagai junnah, negara wajib memastikan seluruh rakyatnya termasuk perempuan dapat selamat dunia akhirat, serta aman dari semua ancaman yang membahayakan fisik, akal, dan agamanya.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga yang mampu, sehingga mereka dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga dan anak istrinya. Sehingga para istri dan ibu terjamin kesejahteraannya dan jauh dari tekanan hidup akibat sistem yang memiskinkan.
Negara wajib memastikan setiap keluarga paham Islam kaffah hingga terwujud keluarga-keluarga yang berkepribadian Islam, bukan berkepribadian sekuler. Karenanya, negara pun wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam demi mengokohkan pendidikan yang telah ditanamkan di keluarga, dengan pelayanan pendidikan yang dapat diakses oleh semua rakyatnya secara gratis dengan kualitas terbaik. Ini semua akan menghantarkan pada kehidupan rakyat yang tenang dan penuh kebahagiaan, jauh dari stres karena kesempitan hidup yang dapat memicu kajahatan dan kemaksiyatan.
Negara juga wajib mendidik rakyatnya agar dapat memahami ajaran syariat Islam secara total, baik melalui edukasi yang ditetapkan dalam kurikulum pendidikan, serta edukasi produktif dan terarah melalui berbagai sarana media penerangan. Ini penting bagi kokohnya mafhum Islam kaffah seluruh rakyat, dan memunculkan kesadaran politik rakyat hingga memiliki kepedulian yang baik pada urusan umat serta dinamisnya kontrol sosial berupa aktifitas amar ma’ruf nahi munkar.
Di samping itu, negara wajib mengendalikan sistem penerangan secara ketat dan mengelolanya sesuai syariat Islam yang menjamin seluruh konten media yang ada selalu bermanfaat, mendidik dan mencerdaskan, tidak mengandung konten pornografi, kekerasan yang merusak dan berbahaya, dan tidak bertentangan dengan hukum syarak.
Inilah support system yang harus diwujudkan oleh negara demi terwujudnya kehidupan perempuan, keluarga, dan masyarakat yang tenang, bahagia, dan selalu terjaga fitrahnya. Masyarakat yang bertakwa dan berkepribadian Islam, mulia penuh ketaatan, serta jauh dari suasana kejahatan, kekerasan dan kemaksiatan. Karenanya, dibutuhkan kehendak politik yang kuat untuk mengadopsi Islam kaffah sebagai asas dalam menata kehidupan masyarakat dan negara.
Atas hal itu, harus ada aktivitas dakwah yang dijalankan oleh partai politik Islam ideologis secara terarah, menuju hadirnya pemimpin yang amanah dan sistem yang sahih untuk menerapkan Islam kaffah dengan tegaknya kembali peradaban Islam dalam naungan institusi Khilafah yang akan memimpin dunia dengan syariat-Nya yang rahmatan lil ‘alamin. [SM/Ah]