Oleh: Endah Siti Muwahidah
Suaramubalighah.com, Opini – Publik baru-baru ini dikejutkan oleh temuan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengungkap bahwa sembilan produk olahan yang beredar di pasaran ternyata mengandung unsur babi, tanpa mencantumkan informasi apapun di label kemasannya. Ironisnya, tujuh di antaranya justru telah mengantongi sertifikat halal dari lembaga resmi negara.
Temuan ini tentu mencederai kepercayaan publik, terutama umat Islam yang meyakini bahwa mengonsumsi produk halal adalah bagian dari ketaatan spiritual. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, langsung menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme sertifikasi halal, mulai dari proses verifikasi hingga lembaga pengawas. Namun persoalannya tidak sesederhana pembenahan prosedur. Ada sesuatu yang lebih dalam: kegagalan sistemik dalam menjamin kehalalan produk itu sendiri.
Ketika Sertifikasi Berubah Jadi Formalitas
Sejak diterapkannya skema self-declare (adalah pernyataan status halal produk usaha mikro dan kecil oleh pelaku usaha itu sendiri), melalui Perppu Cipta Kerja tahun 2022, pelaku usaha mikro dan kecil diberi keleluasaan untuk menyatakan sendiri kehalalan produknya tanpa perlu pengujian dan verifikasi laboratorium oleh lembaga yang kredibel atau audit syar’i yang objektif. Demi tujuan kemudahan usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi, prinsip syariat dikorbankan atas nama efisiensi dan ekspansi pasar.
Inilah wajah kapitalisme sekuler yang sebenarnya: ketika aspek spiritual direduksi menjadi dokumen administratif. Agama tidak lebih dari alat penetrasi pasar. Dalam logika sistem ini, sertifikat halal bukan amanah ilahiah atau syar’i, melainkan sekadar alat komoditas bisnis untuk memperluas pasar konsumen muslim. Negara tidak lagi bertindak sebagai penjaga akidah, tetapi sebagai fasilitator pasar. Yang ditimbang bukan halal atau haram, tetapi untung atau rugi.
Muncul Krisis Kepercayaan dan Krisis Spiritualitas
Kebijakan sertifikasi halal yang lahir dari paradigma kapitalisme sekuler membawa dampak serius bagi umat Islam. Pertama, mekanisme self-declare membuka celah besar bagi penyalahgunaan. Tanpa verifikasi independen, produk haram bisa beredar secara legal, menyesatkan konsumen dan melemahkan kesadaran halal sebagai amanah syariat.
Kedua, melemahnya audit dan pengawasan halal merusak kredibilitas sertifikasi itu sendiri. Ketika kontrol syar’i tidak dijalankan secara ketat dan profesional, label halal kehilangan maknanya. Umat pun diliputi syubhat massal, ragu, bingung, bahkan apatis terhadap kehalalan produk. Ini bukan sekadar krisis teknis, tapi krisis kepercayaan yang menggerus legitimasi lembaga halal dan membuka ruang penetrasi nilai-nilai sekuler dalam pengelolaan halal.
Ketiga, lemahnya sistem kontrol halal mencerminkan pengabaian terhadap maqāṣid al-syarī‘ah, terutama dalam aspek ḥifẓ ad-dīn (penjagaan agama) dan ḥifẓ an-nafs (penjagaan jiwa). Konsumsi produk haram tak hanya menyalahi prinsip spiritualitas, tapi juga mengancam kesehatan fisik dan mental umat. Padahal, syariat telah tegas memerintahkan:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ
“Wahai manusia! Makanlah dari yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…” (QS Al-Baqarah: 168)
Ketika pengawasan halal lemah, umat bisa saja terjebak mengonsumsi produk yang tidak layak secara syar’i. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip ḥifẓ ad-dīn (penjagaan agama), tapi juga ḥifẓ an-nafs (penjagaan jiwa), karena produk haram bukan hanya berdosa, tetapi juga berpotensi membahayakan tubuh dan akal.
Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih pantas baginya.” (HR At-Tirmidzi)
Negara: Penjaga Syariat Bukan Pelayan Pasar
Dalam Islam, halal-haram bukan ranah privat. Ia adalah hukum Allah yang wajib ditegakkan oleh negara. Ketika tanggung jawab ini dialihkan kepada individu atau pelaku usaha, maka yang terjadi bukan pembebanan tanggung jawab, melainkan pengabaian terhadap amanah.
Sistem Islam tidak mengenal skema self-declare. Dalam sejarah peradaban Islam, kehalalan produk dijamin oleh negara melalui lembaga pengawasan publik, seperti qadi hisbah dan muhtasib, yang diberi kewenangan penuh untuk memeriksa, menindak, dan menutup usaha yang melanggar ketentuan syariat. Standar halal dalam Islam tidak pernah lahir dari kompromi ekonomi, dan bukan sekadar label formal administratif, tetapi wujud dari kepatuhan mutlak kepada hukum Allah. Penyerahan urusan halal kepada pihak swasta melalui self-declare dinilai sebagai liberalisasi hukum syariah yang berpotensi merusak keimanan dan kehidupan umat.
Sayangnya, dalam sistem sekuler seperti sekarang, negara lebih sibuk mengakomodasi kepentingan industri daripada menjaga batas halal-haram. Ini bukan lagi soal label, tapi soal arah: apakah negara berpihak pada syariat atau pada pasar?
Khilafah Penjamin Produk Halal dan Thayyib
Dalam Islam, tanggung jawab menjamin kehalalan produk bukan berada di pundak individu atau pasar, tetapi merupakan kewajiban negara. Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam memiliki perangkat khusus yang menjamin kehalalan dan kethayyiban produk secara sistemik dan menyeluruh.
Pertama, Qadhi Hisbah, yaitu hakim yang mengawasi pasar dan memastikan seluruh aktivitas niaga sesuai syariat. Ia memiliki kewenangan langsung menindak pelanggaran, penipuan, termasuk audit atas produk dan produsen.
Kedua, standarisasi syar’i yang ditetapkan oleh Khalifah, mencakup bahan, proses, distribusi, dan integritas produsen. Tidak ada kompromi politis atau tafsir ekonomi yang dapat menggugurkan standar ini. Tidak ada kompromi dengan prinsip bisnis atau pasar bebas. Negara tidak tunduk pada standar kapitalistik internasional (WTO, Codex Alimentarius, dan sebagainya).
Ketiga, transparansi dan sanksi tegas. Penjual yang menipu dengan mengklaim halal atas produk haram akan dikenai sanksi berat, mulai dari denda syar’i, larangan berdagang, hingga penutupan usaha demi melindungi akidah dan kesehatan umat. Islam memprioritaskan kejujuran, amanah, dan ketaatan mutlak pada syariat dalam muamalah.
Model ini bukan sekadar ideal, tapi telah terbukti dalam sejarah Khilafah. Negara hadir sebagai penjaga langsung kehalalan konsumsi umat menjamin bahwa setiap yang dikonsumsi benar-benar halal dan thayyib.
Pada masa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra., pasar diawasi langsung oleh negara. Beliau menunjuk Syifa’ binti ‘Abdillah sebagai muḥtasibah yang memeriksa makanan, takaran, dan kelayakan barang. Dalam Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, Imam al-Mawardi menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab langsung untuk mengawasi seluruh aktivitas publik agar tidak bertentangan dengan syariat.
Butuh Solusi Sistemik, Bukan Tambal Sulam
Seruan untuk mengevaluasi sistem sertifikasi halal patut diapresiasi. Namun, jika evaluasi itu hanya menyentuh aspek teknis seperti tata kelola, transparansi, atau efisiensi maka itu ibarat menambal perahu bocor tanpa mengganti desain yang cacat. Yang dibutuhkan bukan sekadar perbaikan prosedural, melainkan koreksi paradigmatik: mengembalikan otoritas halal kepada negara yang menempatkan syariat sebagai landasan, bukan logika pasar atau tekanan industri.
Ini bukan sekadar wacana ideologis. Ini panggilan akal dan hati nurani. Karena kehalalan tidak berhenti pada label zat, melainkan berakar dari cara pandang terhadap hukum Allah sebagai satu-satunya standar.
Maka, solusi Islam yang bersifat sistemik harus diperjuangkan secara serius oleh ulama, tokoh masyarakat, mubalighah, dan seluruh komponen umat. Di antaranya:
1. Menolak mekanisme self-declare, karena bertentangan dengan prinsip tahqīq (pembuktian) dalam hukum syariat.
2. Menegaskan peran negara sebagai penjaga hukum syara’, bukan sekadar fasilitator bisnis halal.
3. Membangun sistem pengawasan halal terpusat di bawah otoritas syariat, bukan lembaga yang tunduk pada kepentingan pasar.
4. Mewajibkan jalur distribusi halal yang diawasi langsung oleh negara, bukan diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
5. Menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai institusi Khilafah, satu-satunya sistem yang menjadikan hukum Allah sebagai sumber utama legislasi dan pengurusan umat.
Dalam konteks saat ini, ketika sistem Islam belum diterapkan dan produk-produk haram beredar bebas, negara seyogianya mengambil langkah preventif dengan sertifikasi eksplisit terhadap produk haram, bukan untuk melegalkannya, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab syar’i agar umat bisa mengenali dan menghindarinya. Ini sejalan dengan kaidah syara’:
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل على التحريم
“Asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.”
Khatimah
Sertifikat halal tanpa sistem yang berpijak pada syariat ibarat tubuh tanpa ruh, tampak hidup, tetapi kosong dari fungsi hakiki. Selama agama terus diposisikan sebagai pelengkap administratif dalam negara sekuler, umat akan terus hidup dalam bayang-bayang syubhat antara halal dan haram, antara iman dan keraguan.
Jika negeri ini sungguh-sungguh ingin menjamin kehalalan konsumsi umat, maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan pengurusan urusan halal-haram kepada sistem yang menegakkan hukum Allah sebagai poros. Dan hanya sistem Khilafah yang mampu memberi jaminan kehalalan yang sejati, bukan sekadar pada label, tetapi dalam keyakinan dan kepatuhan yang mendalam kepada syariat. [SM/Ln]

