Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini_ Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama seluruh elemen masyarakat dari perwakilan Ormas Islam, Akademisi, dan Parpol dalam sebuah kegiatan diskusi bertema “Islamofobia; Tantangan Dunia Islam” yang digelar oleh Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI), pada April 2025 lalu, di kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, menegaskan bahwa islamofobia adalah musuh bersama dan musuh kemanusiaan.
Menurut MUI, islamofobia dan radikalisme agama adalah dua sisi mata uang yang melahirkan perlakuan diskriminatif dan menjadi penghalang terciptanya perdamaian dan harmoni kemanusiaan. Selain itu islamofobia dan radikalisme menjadi pintu masuk untuk menjatuhkan Islam. Karena mereka yang membenci Islam dapat menimbulkan situasi teror dan ketakutan. Untuk itu perlu adanya kontribusi nyata dunia Islam dan dunia Internasional untuk membangun mindset masyarakat menjadi agent of change dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan prinsip-prinsip rahmatan lil alamin untuk mencegah fobia atau radikalisme.
Dalam forum itu, dinyatakan pula adanya dukungan terhadap resolusi Sidang Majelis Umum (SMU) PBB No. 76/254 yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamofobia, dan resolusi SMU PBB No. 78/264 yang mendorong masyarakat internasional untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menanggulangi islamofobia, utamanya di bidang pendidikan, hukum, politik, sosial dan budaya, termasuk mempromosikan dialog antaragama dan memperkuat kerja sama dalam melakukan kampanye dan mengambil langkah komprehensif dalam rangka menindaklanjuti resolusi PBB tentang penanggulangan islamofobia, yang mengedepankan prinsip moderasi, meningkatkan saling pengertian dan saling menghormati serta toleransi demi menjaga kerukunan berbangsa dan stabilitas nasional.
Kemunculan Islamofobia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, islamofobia memiliki makna fobia terhadap Islam atau penganut Islam. Sementara fobia bermakna ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Sehingga fobia bisa diartikan sebagai ketakutan yang berlebihan kepada suatu obyek atau situasi. Maka, islamofobia adalah sebuah bentuk ketakutan berlebihan terhadap Islam atau muslim. (tirto.id, 5-8-2024).
Menurut Oxford English Dictionary, istilah islamofobia pertama kali dipakai dalam bentuk cetak melalui majalah Amerika pada 1991. Dan puncak dari narasi kebencian terhadap Islam tersebut terjadi pasca peristiwa 9/11 tahun 2001 di AS. Sejak itu, opini islamofobia tersebut terus dimasifkan melalui propaganda perang melawan terorisme (war on terrorism) ke seluruh dunia.
Mantan Perdana Menteri Inggris Toni Blair pun, secara tendensius pernah melemparkan narasi yang berbau islamofobia ketika ia menyebutkan ciri-ciri “ideologi iblis” adalah ingin mengeliminasi Israel, menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum, menegakkan Khilafah, dan bertentangan dengan nilai-nilai liberal. (BBC News, 16-7-2005). Narasi-narasi seperti ini jelas berbahaya. Tuduhan keliru penuh framing, yang menunjukkan sikap kebencian dan permusuhan kepada Islamdan ajarannya, dan pada para pengembannya. Bahkan sangat anti dan fobia pada apapun yang terkait Islam.
Namun kini, Barat di bawah pimpinan AS, lebih sering menggunakan istilah “perang melawan radikalisme (war on radicalism)” dibandingkan “perang melawan terorisme”. Bisa jadi karena propaganda perang melawan radikalisme bisa menjangkau obyek sasaran yang lebih luas, untuk “memukul” siapa saja yang anti-Barat, baik secara pemikiran maupun kebijakan politik.
Melalui propaganda perang melawan radikalisme, AS dan Barat bisa melakukan framing negatif semau mereka. Memberistigma radikal pada muslim yang menentang ideologi kapitalisme. Dan sebaliknya, memuji muslim yang pro-ideologi kapitalisme dan “ramah” pada berbagai kebijakan Barat penjajah, sebagai moderat.
Ironisnya kalangan Islam moderat itu biasanya sangat gigih menolak formalisasi syariat Islam oleh negara dalam format institusi Khilafah. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam yang agung, sama seperti ajaran Islam lainnya seperti akidah, akhlak, ibadah, atau muamalah. Tapi kalangan yang anti formalisasi syariat inilah yang justru dipuji oleh Barat sebagai moderat, tentu saja karena sikapnya yang menguntungkan bagi kepentingan kapitalisme Barat.
Maka jelaslah bahwa istilah radikalisme telah dijadikan alat oleh AS dan Barat untuk menyerang Islam dan mengadang kebangkitan Islam. AS dan Barat terus melakukan monsterisasi Islam dan ajaran-ajarannya, dengan menebarkan opini keji penuh kedustaan bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kemudian melahirkan islamofobia di AS, Barat dan seluruh dunia. Jadi, kemunculan islamofobia sejatinya tidak bisa dilepaskan dari perang peradaban Islam dan kapitalisme sekuler liberal.
Mengadang Kebangkitan Islam
Memang benar, berbicara tentang islamofobia nyatanya tidak bisa dilepaskan dari skenario kafir penjajah untuk mengadang kebangkitan Islam. Setelah runtuhnya Blok Timur (sosialisme komunisme) pimpinan Uni Sovyet, maka secara politik, dunia ada dalam genggaman kapitalisme sekuler pimpinan AS. Dan AS menetapkan strategi khusus untuk memastikan hegemoninya itu, sekaligus sebagai alat untuk memukul dan menghukum negara mana pun yang tidak tunduk padanya. Strategi itu diwujudkan dalam proyek Global War on Terrorism(GWOT) yang akhirnya berubah menjadi Global War on Radicalism(GWOR) serta membangun kekuatan Islamic moderate network. Semua itu demi melanggengkan dominasi politik kapitalisme AS secara internasional, serta memuluskan agenda penjajahannya di berbagai kawasan dunia.
Seorang analis politik dari Princeton University AS, Robert Gilpin, pernah menyatakan analisanya terhadap proyek GWOT dikaitkan dengan upaya AS untuk mendominasi dunia. Pandangan Gilpin itu telah dipublikasikan dalam International Relations Journal tahun 2005 Vol. 19 (1) yang berjudul “War is Too Important to Be Left to Ideoligycal Amateurs”. Menurut Gilpin, proyek GWOT memang ditujukan untuk mempertahankan dominasi AS di dunia dan mencegah munculnya kekuatan lain yang membahayakan supremasi AS. Rencana mencapai dominasi itu sebenarnya telah dirancang AS sejak masa Ronald Reagan. Kemudian pada masa Bush kembali ditegaskan dalam draf “Cheney-Wolfowitz Doctrine”. Salah satu isinya adalah pemakaian kekuatan militer AS untuk mencegah bangkitnya kekuatan lain di dunia.
Ketika masih menjadi kandidat Presiden AS pada 2016, Donald Trump dalam kampanyenya menyatakan, “Islam memicu kebencian terhadap Amerika, dan selama pemerintah masih mencari tahu akar persoalan tersebut, ada baiknya semua orang Islam tidak boleh masuk ke Amerika” (Antara News). Dan saat Donald Trump menjadi presiden di periode pertama, ia menegaskan kembali bahwa target GWOT adalah gerakan Islam. Seperti yang pernah dikatakan oleh Trump, “The threat from radical Islamic terrorism is very real, just look at what is happening in Europe and the Middle-East. Courts must act fast!” (Washington Post, 22-5-2017). Jadi, Trump telah menyatakan dengan tegas tentang adanya ancaman nyata dari radical Islamic terrorism, sehingga menurutnya perlu aksi cepat untuk menghadapinya.
Dari semua ini makin jelaslah bahwa narasi islamofobia dan radikalisme adalah bagian dari strategi AS dan Barat untuk melanggengkan hegemoni penjajahan kapitalisme global di dunia termasuk di dunia Islam, sekaligus untuk mengadang tegaknya kembali kekuatan politik Islam kaffah dalam institusi Khilafah.
Tak Boleh Apologetik
Mirisnya, dunia Islam justru masuk dalam perangkap penjajah Barat. Para penguasa negeri kaum muslimin beserta antek penjajah justru ikut menyuarakan narasi-narasi yang berbau islamofobia. Tak terkecuali negeri ini. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini pun nyatanya belum mampu membaca adanya strategi jahat kekuatan kapitalisme global terhadap Islam dan kaum muslimin, dan justruterseret arus deras opini keliru tentang islamofobia dan radikalisme agama yang sejatinya diproduksi oleh kekuatan kapitalisme global penjajah itu sendiri.
Jadi akar persoalan kemunculan islamofobia dan radikalisme agama (yang dianggap sebagai penghalang terciptanya perdamaian dan harmoni kemanusiaan, serta bisa menjadi pintu masuk untuk menjatuhkan Islam), bukan karena ajaran Islam itu sendiri. Tapi merupakan bagian strategi Barat dan kapitalisme global untuk mempertahankan hegemoni penjajahannya serta mengadang tegaknya Islam kaffah. Sehingga sepanjang kapitalisme sekuler masih berkuasa di dunia, narasi-narasi islamofobia dan radikalisme agama akan terus diproduksi, karena itu bagian dari strategi penjajahan mereka.
Dalam hal ini kaum muslimin tidak bolehbersikap apologetik dengan ikut-ikutan menyatakan bahwa demi menanggulangi islamofobia dan radikalisme agama, hendaknya mengambil langkah-langkah seperti membangun mindset masyarakat tentang pemikiran Islam yang sejalan dengan prinsip rahmatan lil alamin, promosi dialog antaragama, serta kerja sama yang dibangun dengan prinsip moderasi.
Respons apologetik seperti ini sangat berbahaya. Apalagi jika tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang makna hakiki dari setiap narasi yang dianggap dapat menyolusi islamofobia dan radikalisme agama. Terlebih narasi-narasi itu adalah solusi yang diklaim sepihak oleh pihak penjajah sendiri, yang lantas disuarakan kembali oleh kaki tangan penjajah dari berbagai kalangan yang jiwanya telah terbeli oleh dunia. Bukannya memberi solusi, justru melanggengkan hegemoni penjajahan kapitalisme global dan menunda kemenangan Islam.
Dan jika dipelajari dengan teliti, maka yang dimaksud dengan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan prinsip rahmatan lil alaminitu adalah ala Barat, yaitu Islam yang moderat, Islam yang sekuler. Dan yang dimaksud dengan mempromosikan dialog antaragama itu adalah dialog yang dibangun dengan asas pluralisme sekuler yang meniscayakan sikap toleransi kebablasan yang bertentangan dengan Islam. Adapun yang dimaksud dengan berbagai kerjasama yang mengedepankan prinsip moderasi adalah cara pandang yang tidak radikal, yang lebih ramah dan pro Barat, karena sejatinya moderasi itu adalah ide sekularisme dalam wajah lain.
Jelaslah bahwa ini semua tidak akan pernah menghentikan narasi islamofobia dan radikalisme agama. Tapi akan makin menenggelamkan Islam dalam lumpur penjajahan kapitalisme global, dan menunda kebangkitan Islam yang hakiki. Dan memang itulah yang diinginkan oleh penjajah Barat. Mereka merancang narasi islamofobia dan radikalisme agama melalui proyek Global War On Terrorism (GWOT), Global War On Radicalism (GWOR), dan Islamic Moderate Building, demi mengadang tegaknya kembali peradaban Islam.
Untuk itu, umat Islam harus menolak berbagai strategi jahat penjajah untuk mengadang kebangkitan Islam, termasuk strategi Barat menyebarkan narasi islamofobia dan radikalisme agama yang sangat tendensius dan penuh kebencian pada Islam dan ajaran Islam. Narasi islamofobia dan radikalisme agama seperti ini tidak akan hilang selama kapitalisme global masih eksis mengangkangi dunia, karena kapitalisme global itulah pabriknya.
Maka solusi satu-satunya untuk mengakhiri kekejian penjajahan kapitalisme global adalah dengan menghadirkan kembali kehidupan peradaban Islam dalam institusi Khilafah. Karena hanya dengan Khilafah, kapasitas politik Islam dalam meri’ayah dan memimpin dunia akan tampak. Kemuliaan umat Islam sebagai khairu ummah akan hadir kembali. Keistimewaan dan kecemerlangan syariat Islam dalam menyajikan solusi berbagai problematika dunia akan terwujud secara nyata. Islamofobia dan tuduhan radikalisme agama yang salah alamat pun akan hilang dengan sendirinya. Karena dunia akan benar-benar melihat dan merasakan keagungan Islam dalam menebarkan rahmatan lil alamin yang hakiki. Untuk itu para ulama dan muballighah hendaknya terus mendidik umat dengan Islam kaffah, dan segera mengambil posisi terdepan dalam barisan perjuangan Islam bersama jamaah dakwah Islam ideologis, yang secara lantang terus menyuarakan Islam kaffah hingga terwujudnya kembali peradaban Islam dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]