Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini_Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), BSI Maslahat, dan Kitabisa meluncurkan program Istiqlal Jaga Ulama. Sebuah gerakan kolaboratif yang membuka ruang partisipasi masyarakat, institusi, dan korporasi untuk bersama-sama melindungi kesejahteraan ulama di Indonesia. Istiqlal Jaga Ulama merupakan kelanjutan dari semangat gotong royong yang sebelumnya diinisiasi melalui program Jaga Ulama, hasil kolaborasi antara BAZNAS, BSI Maslahat, dan Kitabisa. Program awal tersebut telah membuka akses publik mendukung kesejahteraan ulama secara digital, transparan, dan amanah. Kini dengan dukungan lebih kuas dari Masjid Istiqlal dan BPKH, inisiatif ini berkembang menjadi gerakan yang lebih terbuka dan memperluas jangkauan solidaritas kepada lebih banyak pihak.
Seputar Saling Jaga Ulama
Dari situs resmi jagaulama.com dijelaskan bahwa program Saling (SJU) adalah sedekah untuk memberi perlindungan kesehatan dan jiwa bagi ulama-ulama di pelosok negeri. Yaitu program bantuan gratis perlindungan dalam bentuk asuransi jiwa untuk para ulama, kyai, guru ngaji, dan pengurus DKM di seluruh Indonesia. Saat ini telah ada 307 ulama dan dai yang terlindungi dari sekitar 30 kota dan kabupaten di Indonesia. Dan ditargetkan 2400 ulama dan dai yang akan mendapatkan perlindungan asuransi jiwa.
Melalui platform jagaulama.com masyarakat dapat berpartisipasi dalam bentuk donasi untuk melindungi para ulama. Bukan hanya sebagai tokoh agama, tetapi sebagai penjaga nilai, pemersatu umat, dan pengarah moral bangsa. Program ini bertujuan memperkuat moderasi beragama, membangun harmoni sosial, serta menciptakan ekosistem kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.
Menurut Wakil Ketua BAZNAS RI, H. Mokhamad Mahdum, program SJU ini akan diwujudkan dalam dua aspek. Pertama, perlindungan berupa Asuransi Syariah Saling Jaga dari KitaBisa, yaitu ulama akan mendapatkan bantuan pada saat kecelakaan dan ketika tutup usia, sehingga keluarganya akan mendapat bantuan (santunan).Kedua bantuan kesehatan dengan penggalangan dana untuk melindungi ulama yang sakit di daerah pelosok melalui penggalangan dana di KitaBisa, untuk membantu biaya pengobatan ulama selama masa perawatan. (baznas.go.id).
Salah Subyek
Sepintas, tujuan dari program SJU ini baik dan mulia. Seperti yang disampaikan CEO Kita Bisa, Vikra Ijas, bahwa program SJU ini adalah wujud apresiasi bagi para ulama dan dai yang memperjuangkan dakwah di area pelosok. Atau seperti yang dinyatakan oleh BPKH bahwa program Istiqlal Jaga Ulama menjadi wujud nyata dari misi BPKH untuk melayani umat sehingga ilmu dan kebaikan tersebar dengan rasa aman, karena keluarga dan ahli waris para guru, ustaz, ulama terjamin. Program SJU ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan, tetapi juga solusi nyata untuk mendukung keberlangsungan peran ulama di masyarakat. Bahkan inisiatif Istiqlal Jaga Ulama tersebut ditujukan untuk menjaga ilmu dan amaliah para ulama agar terus bercahaya dan memberkahi Nusantara, sekaligus memberi ketenangan bagi mereka dalam menjalankan tugas mulia. (khazanah.republika.co.id).
Semua tujuan program SJU yang dikemukakan sangat baik dan mulia, namun salah subyek. Karena satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap terpenuhinya kesejahteraan seluruh rakyat termasuk para ulama, adalah negara. Bukan keluarga, kelompok masyarakat, swasta, apalagi korporasi.
Negara Wajib Menyejahterakan Rakyat
Islam sebagai ideologi yang sempurna telah menegaskan bahwa satu-satunya pihak yang wajib menyejahterakan seluruh rakyatnya adalah negara (Khilafah). Negara wajib hadir menjalankan dua fungsi utamanya, yaitu sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat).Sebagaimana hadis Rasulullah saw, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”(HR Bukhari dan Ahmad).
Dan Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya al-Imam (khalifah) adalah perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya.”(HR Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Maka sebagai raa’in, negara wajib menjamin terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyatnya (baik muslim maupun kafir ahlu dzimmah), termasuk para ulama. Negara wajib memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya, berupa sandang, pangan, dan papan. Negara juga wajib memenuhi seluruh kebutuhan pokok kolektif rakyatnya, berupa pelayanan kesehatan gratis dengan mutu terbaik, akses pendidikan gratis dengan kualitas terbaik, serta jaminan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali.
Jadi kesejahteraan ulama dan keluarganya adalah bagian dari tanggung jawab mulia negara yang wajib ditunaikan secara sempurna. Kewajiban itu tidak bisa dan tidak boleh dialihkan pada individu rakyat atau keluarga, kelompok masyarakat, atau swasta apalagi korporat, sebagaimana yang terjadi dalam program saling jaga ulama.
Harusnya negaralah pihak satu-satunya yang wajib dan berwenang menjamin dan memastikan kesejahteraan para ulama dan keluarganya. Masyarakat atau lembaga lainnya memang tidak dilarang berbuat baik dan peduli pada para ulama dan keluarganya, karena jika hal itu dilakukan dengan ikhlas dan mekanisme yang sesuai hukum syarak, dapat tergolong fi’lul khairat (amal kebaikan) yang sangat dipuji dalam Islam. Namun tidak boleh menjadikan negara abai terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Negara pun tidak boleh sekadar berperan sebagai regulator atau fasilitator dalam urusan kesejahteraan rakyatnya. Karena jika hal itu benar terjadi, akan menjadi bukti nyata berlepas tangannya negara terhadap kewajiban menyejahterakan rakyatnya termasuk ulama. Dan ini adalah ciri khas dari mekanisme pengelolaan negara ala kapitalisme sekuler yang bertentangan dengan Islam.Hal yang sangat tidak layak diadopsi dan dijalankan oleh negeri yang mayoritas penduduknya muslim seperti negeri ini.
Di samping itu, ada perkara lain yang harus dikritisi yaitu adanya potensi bahaya tersembunyi dari pola jaminan kesejahteraan ulama dan keluarga yang dikendalikan oleh pihak lembaga non-negara atau korporasi swasta. Ketika ulama “disejahterakan” oleh pihak swasta (korporasi), potensi dan peran strategis ulama akan terbajak. Ulama akan menjadi kelu atau bahkan diam membisu ketika korporasi membuat kerusakan atau hal-hal lain yang merugikan masyarakat, lingkungan, bahkan masa depan generasi bangsa. Artinya program ini secara tidak langsung akan membungkam sikap kritis ulama. Padahal ulama adalah pihak yang harus paling lantang dalam amar makruf nahi munkar, “Hendaklah kamu beramar makruf nahi munkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-prang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)”(HR Abu Dzar).
Ulama pun wajib terdepan dalam melakukan muhaasabah lil hukkam terhadap berbagai kebijakan dan perkara yang bertentangan dengan hukum syarak, misalnyakebijakan penarikan pajak (padahal Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama bagi kas negara), pengelolaan tambang yang liberal, pengaturan pelayanan kesehatan berbasis premi asuransi (padahal Islam mewajibkan negara menyediakan pelayanan kesehatan yang berkulitas secara gratis bagi rakyat), politik pendidikan yang sekuler yang bertentangan dengan Islam, dan sebagainya.
Ulama juga wajib lantang melakukan koreksi terhadap kebijakan yang berbahaya bagi akidah umat dan bertentangan dengan Islam, seperti pengarusan moderasi beragama yang sekuler, penerapan sekularisme liberal yang merusak semua sisi kehidupan sosial, penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang memiskinkan dan menyengsarakan rakyat, penerapan sistem demokrasi yang justru menumbuhsuburkan korupsi, merampas keadilan, melegalkan perampasan ruang hidup serta kekayaan alam milik rakyat atas nama investasi dan proyek strategis lainnya, dan sebagainya.
Demikianlah seharusnya sikap para ulama dan muballighah. Sebagai pewaris Nabi, ulama harus terdepan dalam mendidik umat dengan Islam kaffah, dan menjalankan peran politiknya dalam mengoreksi penguasa, demi memastikan semua kebijakan pemimpin selalu sesuai dengan syariat Islam. Peran politik ulama yang strategis ini, tidak boleh terbajak oleh program-program salah subyek semacam saling jaga ulama yang meminggirkan kewenangan negara sebagai pihak yang wajib menyejahterakan ulama dan keluarganya.
Oleh karena itu, penting bagi umat dan para tokoh umat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap program atau kebijakan apa pun yang dijalankan di masyarakat. Sikap kritis yang dijalankan dengan kesadaran adanya kewajiban amar makruf nahi munkar dan muhaasabah lil hukkam(mengoreksi penguasa), yang dilakukan dengan cara makruf sesuai teladan Rasulullah saw. .
Maka para ulama dan muballighah harus terus membina umat dengan Islam, agar umat paham tentang Islam kaffah termasuk tentang mekanisme pengelolaan negara sesuai wahyu Allah. Dan demi mewujudkan kembali kehidupan Islam kaffah,para ulama dan muballighah hendaknya segera mengambil peran nyata di sisi para pengemban dakwah Islam politis, yang dijalankan secara terarah oleh jamaah dakwah Islam ideologis untuk memperjuangkan tegaknya kembali peradaban Islam dalam naungan Khilafah rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. [SM/Ln]