Oleh: Endah Siti Muwahidah
SuaraMubalighah.com, Opini_Baru-baru ini, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Probolinggo secara resmi mengukuhkan Pokja Majelis Taklim periode 2025–2030 dengan pesan yang sudah sangat akrab di telinga umat: mewaspadai radikalisme, menjaga keutuhan kebangsaan, dan tidak menyebarkan ‘ajaran yang salah’. Narasi serupa juga digaungkan oleh aparat keamanan dalam berbagai forum keumatan.
Ini tentu bukan hal baru. Namun patut dipertanyakan secara jujur: apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘ajaran yang salah’? Dan siapa yang berhak mendefinisikannya?
Radikalisme: Label Politik untuk Menyerang Islam Kaffah
Istilah “radikalisme” di Indonesia telah mengalami pergeseran makna yang liar. Dari asal katanya radix (akar), yang semestinya menunjukkan pemahaman mendalam terhadap suatu ajaran, kini berubah menjadi stigma terhadap siapa pun yang kritis terhadap sistem sekuler termasuk mereka yang menyerukan penerapan Islam secara kaffah.
Majelis taklim, sebagai entitas keagamaan yang tumbuh bersama denyut umat, menjadi ruang vital pembinaan muslimah, dari ibu rumah tangga hingga remaja. Di sinilah tsaqafah Islam diajarkan, kesadaran syar’i dibangun, dan ketahanan spiritual keluarga diteguhkan. Terlebih jika dimotori para mubalighah ideologis, majelis taklim menjadi menara cahaya bagi kebangkitan umat.
Namun kini, posisi strategis itu justru dibajak. Pemerintah, bersama lembaga mitra global, mendorong narasi kontra-radikalisme, toleransi semu, dan Islam moderat ke dalam forum pengajian. Alhasil, ruang dakwah yang seharusnya menjadi pusat pembinaan spiritual, intelektual, dan politik umat, direduksi menjadi majelis ringan tanpa napas perjuangan.
Mengapa Perempuan dan Majelis Taklim menjadi Sasaran?
Majelis taklim dibidik bukan tanpa alasan. Ia adalah akar pembinaan umat, terutama kaum perempuan. Di sinilah lahir generasi muslimah yang memahami Islam sebagai sistem hidup, bukan sekadar agama ritual. Ketika tsaqafah Islam dipadukan dengan pemahaman ideologis, muncullah barisan perempuan pejuang yang tidak mudah ditundukkan oleh arus sekularisme.
Bagi ideologi sekuler, ini adalah ancaman. Maka proyek penjinakan dakwah pun dijalankan. Fokus kajian diarahkan pada isu domestikdapur, keluarga, akhlak personaltanpa keterkaitan dengan sistem kehidupan Islam. Dakwah ideologis dicap ekstrem, sementara pembinaan yang mendalam diganti dengan wacana moderat yang menjauhkan umat dari kebangkitan.
Padahal, perempuan dalam Islam memiliki posisi strategis sebagai pendidik generasi dan penjaga moral umat. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS At-Tahrim: 6)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…”(HR Bukhari dan Muslim)
Perempuan adalah pilar peradaban. Tak heran jika majelis taklim dijadikan target untuk mengubah arah perjuangan. Namun dengan tsaqafah Islam yang lurus dan kesadaran politik syar’i, para muslimah akan tetap teguh menyeru, mendidik, dan membina umat menuju kemuliaan Islam kaffah.
Dari Garda Dakwah menjadi Alat Kontra-Islam?
Ketika para mubalighah diminta mengampanyekan kontra-radikalisme versi penguasa, sesungguhnya mereka sedang digiring menjadi bagian dari proyek de-Islamisasi. Narasi radikalisme kini tidak lagi membidik kekerasan semata, tetapi menyasar dakwah syariah kaffah, yakni seruan untuk menegakkan hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Inilah bentuk nyata pembajakan potensi dakwah. Mubalighah yang semestinya menyadarkan umat agar kembali kepada Islam kaffah, justru diarahkan menjadi alat penjaga status quo. Padahal Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh, bukan agama ritual belaka.
Antara Proyek Global dan Ketundukan Lokal
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari proyek global War on Terrorism pasca-11 September 2001. Strategi Barat terhadap Islam bergeser dari invasi militer ke perang ideologi. Targetnya bukan lagi kelompok bersenjata, tetapi seluruh umat Islam yang menyerukan penerapan syariat Islam.
Laporan RAND Corporation (2007) bahkan menyarankan agar Barat mendukung kelompok Islam moderat dan mengucilkan kelompok “radikal”yakni mereka yang membawa dakwah politik Islam. Narasi ini lalu diadopsi oleh banyak negara muslim, termasuk Indonesia, melalui program deradikalisasi.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara terbuka memasukkan dakwah syariah kaffah dan ide khilafah sebagai bagian dari radikalisme. Dalam Strategi Nasional Pencegahan Radikalisme (2020), disebutkan bahwa paham keagamaan yang tekstual dan tidak sejalan dengan Pancasila dianggap sebagai akar radikalisme.
Moderasi beragama pun dijadikan instrumen penjinakan. Islam diarahkan agar hanya menjadi agama ritual-spiritual, tanpa menyentuh ranah sosial-politik. Seruan kepada Islam kaffah dicap radikal, padahal itu adalah perintah Allah ﷻ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah).”(QSAl-Baqarah: 208)
Ini bukan sekadar perang istilah. Ini adalah upaya sistematis untuk mematikan kebangkitan Islam sebagai kekuatan politik global. Umat harus sadar bahwa narasi radikalisme bukan milik kita. Itu adalah senjata hegemoni Barat yang harus dilawan dengan dakwah yang kaffah dan kesadaran politik ideologis.
Reposisi Majelis Taklim sebagai Pusat Kebangkitan Umat
Sudah saatnya majelis taklim direposisibukan sekadar ruang pembinaan spiritual, tetapi menjadi pusat transformasi pemikiran dan gerakan umat. Di sinilah seharusnya ditanamkan tsaqafah Islam ideologis, dibangun al-wa’yu as-siyaasi (kesadaran politik Islam), dan diarahkan untuk memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam secara kaffah.
Majelis taklim mesti melahirkan muslimah visioner, bukan hanya ibu dan istri salihah, tetapi juga intelektual dakwah, pengemban risalah, dan pemimpin opini yang menyeru kepada Islam secara menyeluruh.
Sejarah mencatat peran besar perempuan seperti Sumayyah, Nusaibah binti Ka’ab, dan Ummu ‘Ammarah yang tidak hanya berada di balik layar, tapi turut tampil di garis terdepan dakwah dan perjuangan. Maka sungguh ironis jika hari ini kaum muslimah justru dicegah memahami Islam sebagai ideologi dan dikerdilkan dalam ruang domestik semata.
Kebangkitan umat tidak akan lahir dari sistem sekuler yang membajak agama. Ia justru akan tumbuh dari majelis-majelis kecil yang dipenuhi keikhlasan, pemikiran jernih, dan tsaqafah yang lurus. Dari halqah–halqah sunyi yang menyuarakan tauhid dan menolak tunduk pada sistem kufur. Dari para mubalighah yang istiqamah membawa risalah meski distigma dan diintimidasi.
Majelis taklim bukan sekadar tempat pengajian yang menghangatkan hati, tapi harus menjadi institusi strategis pembentukan syakhsiyah Islamiyah(kepribadian Islam) dan pencetak opini umum berdasarkan akidah Islam.
Reposisi ini meliputi tiga aspek kunci:
1. Pengokohan akidah secara ideologis
Majelis taklim harus mengokohkan akidah Islam secara ideologis, bukan hanya sebagai nasihat spiritual, tetapi sebagai asas berpikir yang membedakan Islam dari sekularisme dan ideologi kufur lainnya. Akidah ini menjadi pondasi untuk memahami realitas dan menilai berbagai pemikiran dan sistem kehidupan secara benar.
2. Pembentukan pola pikir dan pola sikap Islam
Majelis taklim harus membentuk pola pikir dan pola sikap Islam, membangun tsaqafah Islamiyyah yang mendalam serta membangun kesadaran politik di tengah umat. Muslimah tidak hanya diajari akhlak, tetapi juga diajak memahami realitas politik, agar mampu bersuara dan berkontribusi dalam membangun opini umum tentang pentingnya penerapan syariah secara total.
3. Penanaman visi perubahan sistemik
Majelis taklim harus menanamkan visi perubahan sistemik, yaitu tegaknya Islam secara kaffah dalam institusi yang sah: Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Dengan membina kesadaran kolektif umat akan pentingnya penerapan hukum Allah secara menyeluruh, majelis taklim akan menjadi motor perubahan peradaban, bukan alat propaganda negara sekuler yang terus gagal menyelesaikan krisis bangsa.
Dengan reposisi ini, majelis taklim akan kembali ke khittah-nya, menjadi pusat kebangkitan, pelita peradaban, dan jalan kembalinya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bukan sekadar slogan, tapi realitas yang terwujud dalam naungan sistem Islam yang telah memimpin dunia selama lebih dari 13 abad.
Saatnya Muslimah Bangkit, Menata Kembali Arah Perjuangan Umat
Jika hari ini ruang dakwah dibajak, maka para muslimah harus menata kembali arah perjuangan umat. Jangan biarkan majelis taklim menjadi alat propaganda sekularisme. Jangan biarkan mimbar-mimbar pengajian dibisukan dari seruan kebenaran Islam kaffah.
Kini saatnya majelis taklim kembali ke jati dirinya. Bukan sekadar tempat berkumpul, tapi pusat kebangkitan. Mubalighah bukan sekadar pengisi ceramah, tapi pemikul amanah perubahan. Dengan tsaqafah Islam ideologis dan kesadaran syar’i, rebut kembali marwah dakwah! Arahkan majelis taklim sebagai benteng terakhir Islam kaffah di tengah badai sekularisme global.
Mari kita jaga peran strategis majelis taklim sebagai mercusuar peradaban Islam yang menebar kebaikan, menyeru pada kebajikan, dan menjadi pilar bagi lahirnya umat yang terbaik. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS Ali Imran: 110)
[SM/Ln]