Liberalisme: Biang Kejahatan Seksual di Pesantren

Oleh Idea Suciati

SuaraMubalighah.com, Opini_ Pesantren yang seharusnya menjadi benteng akhlak dan tempat aman bagi para penuntut ilmu syar’i, kini justru menjadi tempat yang rentan terhadap kekerasan seksual. Kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama ini semakin marak dan nyaris tak berhenti menghiasi pemberitaan. Mirisnya, banyak kasus yang tidak muncul ke permukaan demi menjaga nama baik pesantren dan karisma pengasuhnya.

Fakta-Fakta Kejahatan Seksual di Pesantren

Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan dengan penangkapan pimpinan pesantren di Soreang, Bandung, atas dugaan kejahatan seksual terhadap delapan santriwati (antara.com, 14-05-2025). Sebelumnya, pada 7 Mei 2025, pimpinan pesantren di Serang juga ditangkap karena kasus serupa terhadap tiga santriwati. Satu hari sebelumnya, pada 6 Mei, pengasuh pesantren di Tulungagung dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap delapan santriwan.

Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, terdapat 206 kasus kekerasan di lembaga pendidikan berbasis agama, 114 di antaranya terjadi di pesantren. Dari seluruh kasus tersebut, 241 atau 42% merupakan kekerasan seksual. Angka ini mencerminkan darurat moral yang tak bisa dianggap sepele.

Sistem Rusak dan Lemahnya Penegakan Hukum

Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai regulasi seperti UU Perlindungan Anak, UU TPKS, serta juknis pengasuhan ramah anak (Kemenag No. 1262 Tahun 2024), namun nyatanya kebijakan ini belum mampu menumpas akar masalah.

Mengapa? Karena akar kejahatan ini bukan hanya soal kurangnya aturan atau sanksi, melainkan karena negeri ini menganut sistem hidup sekular-liberal. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan publik, dan liberalisme menjadikan kebebasan sebagai nilai tertinggi, termasuk dalam pergaulan dan konsumsi media. Alhasil, konten pornografi tersebar luas, relasi laki-laki dan perempuan longgar, dan kontrol sosial pun melemah.

Bahkan para pengasuh pesantren yang secara keilmuan memahami syariat pun tetap bisa terjerumus karena sistem kehidupan di sekeliling mereka tidak mendukung penerapan Islam secara utuh.

Negara Gagal Melindungi Generasi

Hukum positif saat ini sangat lemah dalam memberikan efek jera. KUHP hanya menjatuhkan pidana penjara maksimal 15 tahun, dan itu pun seringkali bisa dimanipulasi. Di sisi lain, masyarakat tidak lagi terbiasa menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan cenderung diam saat menyaksikan kemungkaran.

Realitas ini menunjukkan betapa sistem sekular tidak mampu menjamin perlindungan terhadap anak-anak dan remaja, bahkan dalam lembaga yang berlabel agama sekalipun.

Solusi Tuntas: Kembali pada Islam Kaffah

Islam memiliki seperangkat sistem yang tidak hanya mencegah kejahatan seksual secara struktural, tetapi juga menumbuhkan kontrol perilaku dalam jiwa manusia. Solusi tuntas terhadap kejahatan seksual di pesantren maupun tempat lain adalah penerapan Islam secara menyeluruh oleh negara, masyarakat, dan individu.

Untuk menuntaskan dan menghentikan kasus-kasus kejahatan seksual pesantren harus menerapkan sistem pergaulan yang islami, antara kyai/ustadz/pada santri. Seperti tidak boleh berkhalwat, menyentuh dengan syahwat walaupun sekadar bersalaman, menutup aurat dengan sempurna dsb.

Dan tak kalah penting adalah peran negara. Negara bertanggung jawab memberantas kejahatan seksual yang mengancam generasi dan masyarakat. Baik yang terjadi tempat umum, maupun di lembaga pendidikan khususnya, termasuk pesantren. Karena Islam menetapkan negara, dalam hal ini penguasa sebagai pelayan atau pengurus rakyatnya. DariAbdullahbinUmarra., Nabiﷺbersabda, “Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya….” (HR Bukhari)

Negara harus mengganti pola hidup sistem sekular liberal dengan pola hidup islami atau sistem Islam kaffah dengan mekanisme sebagai berikut;

Pertama, negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam, baik umum maupun pesantren mengajarkan ilmu berasas akidah Islam saja. Ini bertujuan membentuk peserta didik memiliki kepribadian Islam, memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Hal ini tentu didukung oleh para guru/pengampu/asatidz yang berilmu, berkualitas dan bertakwa.

Melalui lembaga pendidikan inilah, negara mewajibkan para asatidz maupun santri memahami dan menerapkan hukum syara yang berkaitan dengan pergaulan Islam antara kyai/ustaz/pada santri. Seperti tidak boleh berkhalwat, menyentuh dengan syahwat walaupun sekedar bersalaman, menutup aurat dengan sempurna. Melarang campur baur/ikhtilat, bertabarruj dsb. Menjauhi segala aktivitas yang bisa mendekatkan terhadap zina. Dengan tegas Allah SWT berfirman:


وَلاَ تَقْرَبُواالزِّنَاإِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.“(QS Al-Isra: 32).

Sehingga baik asatidz maupun santri memiliki kontrol internal berupa iman dan ilmu, mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Kedua, negara wajib melarang semua bentuk pornografi dan pornoaksi. Baik cetak maupun digital/online yang menjadi perangsang atau pemicu kekerasan seksual. Penyaringan informasi dan konten digital berada di bawah kendali khalifah melalui departemen penerangan dan informasi.

Ketiga, negara menerapkan sistem pergaulan Islam yaitu ditetapkan aturan umum bagaimana interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik di tempat umum ataupun khusus. Di lembaga pendidikan maupun bukan. Laki-laki maupun perempuan wajib menutup aurat, dilarang khalwat, campur baur, dsb.

Keempat, negara menerapkan sistem uqubat/sanksi yang tegas kepada siapa saja yang melanggar hukum, baik hukum yang bersifat administratif maupun hukum syara’. Pelaku kejahatan seksual berupa pemerkosaan, akan dikenakan hukum cambuk jika sudah belum menikah.

Allah berfirman,


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِيفَاجْلِدُواكُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَامَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُمبِهِمَارَأْفَةٌ فِيدِينِ اللهِ إِنكُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَاطَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman(QS An-Nur:2)

Adapun jika pelakunya muhshan (sudah menikah), mukallaf (baligh dan berakal), sukarela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka hukumannya adalah dirajam yakni dikubur hingga leher, kemudian dilempari batu hingga mati. Hal ini berdasarkan hadits:


عنعمرانبنحُصَيْن -رضياللهعنه- أنامرأةمنجهينةأتتالنبيوهيحبلىمنالزنافقالت: يانبياللهأصبتحدافأقمهعلي، فدعانبياللهوليهافقال: أحسنإليها، فإذاوضعتفأتنيبها، ففعلفأمربهافشكتعليهاثيابها، ثمأمربهافرجمت، ثمصلىعليها، فقالعمر -رضياللهعنه-: أتصليعليهايانبياللهوقدزنت؟! فقال: لقدتابتتوبةلوقسمتبينسبعينمنأهلالمدينةلوسعتهم، وهلوجدتأفضلمنأنجادتبنفسهالله

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwasanya ada seorang wanita dari (kabilah) Juhainah mendatangi Nabi Muhammad saw. dalam keadaan hamil hasil perzinaan, wanita tersebut berkata: “Wahai Nabi Allah, aku telah melakukan dosa yang patut mendapat hukuman had, maka laksanakanlah (hukuman had tersebut) kepadaku”. Kemudian Nabi Muhammad saw. memanggil walinya (keluarganya) dan berkata “Perlakukanlah ia dengan baik, jika dia sudah melahirkan, bawalah ia kepadaku”. Kemudian (walinya) melakukannya (melakukan perintah Rasul saw.). Kemudian Nabi saw. meminta untuk menghadirkan wanita tersebut dan menyuruh (orang) untuk mengencangkan bajunya (mengikat kencang bajunya), lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam. Rasul pun menyalatinya. Umar ra. berkata “Apakah engkau menyalatinya wahai Rasulullah, padahal ia telah berzina?”Rasul pun berkata “Dia telah melakukan taubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya mereka semua akan mendapatkan bagian. Apakah engkau menemukan ada yang lebih baik dari seseorang yang sepenuh hati menyerahkan dirinya kepada Allah SWT?”(HR Muslim)

Sanksi tegas pun akan diberikan kepada orang yang tidak menutup aurat, berkhalwat atau campur baur tanpa hajat syar’i. Juga bagi pelaku atau pembuat konten-konten porno akan diberikan sanksi yang berat. Dengan sanksi tegas dan berat seperti diatas berfungsi sebagai sebagai jawâzir dan jawâbir. jawâzir (pencegah) yaitu dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan yang sama. sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat.

Dengan mekanisme demikian, segala bentuk kejahatan seksual termasuk di pesantren dapat dituntaskan hingga ke akarnya. Hanya saja, hal tersebut dapat diwujudkan jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah di bawah institusi Khilafah Islam yang dipimpin seorang khalifah.

Khatimah

Maraknya kejahatan seksual khususnya di Pesantren adalah buah sistem rusak sekuler kapitalisme. Pesantren harus dikembalikan kehormatan dan nama baiknya sebagai lembaga pendidikan Islam. Apalagi di Pesantrenlah terdapat para ulama, dai’, mubaligh dan mubalighahserta santri calon penerus yang seharusnya menerangi umat dengan pemahaman dan dakwah Islam. Sudah saatnya para ulama, mubaligh dan mubalighah berada di garda terdepan menyeru umat agar kembali kepada kehidupan Islam. Agar negeri ini terbebas dari berbagai kemaksiatan serta  mendapat keberkahan dari langit dan dibumi karena penduduknya bertakwa kepada-Nya.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُواوَاتَّقَوْالَفَتَحْنَاعَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوافَأَخَذْنَاهُمْ بِمَاكَانُوايَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS, Al-A’raf: 96)

[SM/Ln]