Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Islam telah mensyariatkan hari raya bagi umatnya, sehingga umat Islam bisa merayakannya dengan perayaan yang khas sesuai dengan syariat agamanya. Dalam hal ini ada dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Hari raya ini pertama kali disyariatkan pada tahun kedua H, bersamaan dengan turunnya perintah berpuasa dan zakat fitrah. Karena itu, Idulfitri juga disebut ‘Idu Ramadhan dan ‘Idu al-Fitrah.
Syiar Islam
Di dalam Islam, Hari Raya merupakan salah satu syiar Islam yang agung. Hari Raya ini juga disyariatkan untuk memenuhi dan menyempurnakan kebutuhan jiwa dan fisik umat Islam. Allah berfirman,
قُلۡ بِفَضۡلِ اللّٰهِ وَبِرَحۡمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلۡيَـفۡرَحُوۡا ؕ هُوَ خَيۡرٌ مِّمَّا يَجۡمَعُوۡنَ
“Katakanlah (Muhammad), dengan anugerah dan kasih sayang Allah, maka dengan itu hendaknya mereka bergembira dan berbahagia.” (QS. Yunus [10]: 58].
Begitulah Hari Raya di dalam Islam, yang identik dengan hari bahagia dan suka cita, yang biasanya ditandai dengan makan, minum, hiburan, dan bersenang-senang. Karena itu, di dalam kedua Hari Raya ini Islam mengharamkan berpuasa.
Ketika Nabi ﷺ mengetahui nyanyian dua budak perempuan kecil, baginda ﷺ tidak melarangnya. Sebaliknya, baginda ﷺ justru membenarkannya. Bahkan, saat mendengar Abu Bakar hendak melarangnya, baginda ﷺ pun bersabda, “Biarkanlah mereka.” (HR.Bukhari).
Dalam riwayat lain, baginda ﷺ bersabda,
“Abu Bakar, setiap kaum mempunyai hari raya. Ini adalah hari raya kita.” (HR.Muslim). Dalam Musnad, baginda ﷺ bersabda, “Agar orang Yahudi tahu bahwa di dalam agama kita pun ada (semacam) Paskah. Aku diutus dengan membawa agama yang hanif dan lapang.” (HR. Ahmad).
Suasana kebahagiaan pun dihadirkan oleh setiap keluarga, termasuk dengan menyenangkan hati pasangan hidupnya, memenuhi apa yang membuatnya bahagia selama perkara itu dimubahkan. Nabi ﷺ memberikan contoh bagaimana membahagiakan istrinya. Aisyah pun menikmati nyanyian budak perempuan kecil sembari menempelkan pipinya ke pipi Rasulullah ﷺ. Maka, Aisyah radhiallahu’anha pun berpesan,
“Perkirakanlah (kadarnya) seperti kadar budak perempuan belia yang masih ingin bermain.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Karena biasanya dunia mereka masih membutuhkan suasana rileks dan santai.
Meski demikian, tetap harus memperhatikan rambu-rambu syariat, sehingga kesenangan dan hiburan tersebut tidak melanggar syariat. Aisyah radhiallahu’anha menuturkan,
“Ketika orang Abesinia itu memainkan tombak mereka, Rasulullah menutupiku dengan tabir, sementara aku masih bisa melihat (mereka).” (HR.Bukhari).
Begitulah suasana Hari Raya di rumah Nabi ﷺ.
Syiar makan, minum, bersenang-senang dan suka cita tidak hanya dimiliki oleh yang berkecukupan. Islam pun mensyariatkan zakat fitrah untuk dibagikan, khususnya kepada fakir dan miskin, agar di hari bahagia itu mereka pun bisa merasakan hal yang sama. Zakat fitrah ini pun disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Sedangkan zakat mal baru disyariatkan kemudian.
Melengkapi Kebahagiaan
Islam mengajarkan bahwa bahagia tidak identik dengan kenikmatan materi, fisik, dan psikologis, tetapi kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan ruhiyah. Karena itu, selain syiar-syiar dalam bentuk fisik, seperti jamuan makan, minum, dan hiburan di Hari Raya, Islam pun memerintahkan kaum Muslim untuk mengagungkan asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى. مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
“Dan hendaknya kamu menyempurnakan bilangan (puasa Ramadhan), dan mengagungkan Asma Allah atas apa yang telah Dia tunjukkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185].
Takbir pun berkumandang sejak matahari tenggelam di malam 1 Syawal hingga imam dan khathib naik mimbar. Di pagi hari, sebelum berangkat ke tempat shalat, kaum Muslim pun disunahkan makan dan minum terlebih dulu, yang menandai berakhirnya puasa mereka selama sebulan penuh. Setelah itu, mereka pun berangkat ke tempat shalat sambil mengumandangkan takbir sepanjang perjalanan. Bagi pria disunahkan dengan suara keras, sedangkan bagi wanita dengan suara lirih.
Shalat-nya pun disunahkan di tempat terbuka, bukan di masjid. Ini menjadi syiar yang bisa disaksikan setiap mata yang memandang. Pria, wanita, tua, dan muda semuanya disunahkan untuk berangkat ke tempat shalat. Bahkan, bagi kaum wanita yang tidak mempunyai jilbab syar’i pun dianjurkan agar dipinjami oleh saudaranya agar bisa menunaikan shalat di luar rumahnya.
Ketika melewati waktu syuruk, tidak lama kemudian imam memimpin shalat, tanpa didahului dengan shalat sunah, azan, dan iqamah. Setelah selesai shalat, imam (khatib) pun menyampaikan khotbahnya. Hanya saja, di zaman ‘Ustman, pernah khotbah disampaikan sebelum shalat. Namun, ketika ‘Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, tradisi tersebut dikembalikan sebagaimana zaman Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Khotbah disampaikan setelah selesai shalat. Setelah selesai shalat, Nabi ﷺ mengucapkan ucapan selamat dan doa.
Setelah itu, para jama’ah kembali ke rumah masing-masing melalui jalan yang berbeda untuk merayakan Idulfitri bersama keluarganya, dengan jamuan makan, minum, hiburan, dan bersenang-senang sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Semuanya tadi melengkapi kebahagiaan mereka di hari besar dan hari fitrah.
Sebagaimana sunah Nabi ﷺ, begitulah Hari Raya yang akan dirayakan oleh umat Islam di dalam negara Khilafah. Dimulai sejak menjelang malam tanggal 29 Ramadan, Negara Khilafah akan melakukan rukyatul hilal. Negara juga mendorong umat Islam untuk melakukan hal yang sama. Karena ini hukumnya fardu kifayah. Jika malam itu hilal ditemukan, lalu diambil sumpah hingga sah, maka khalifah akan mengumumkan istbat 1 Syawal jatuh besoknya. Jika tidak, maka hitungan Ramadan disempurnakan, sehingga ditetapkan 1 Syawal jatuh esok lusanya.
Di malam Hari Raya, khalifah pun menyampaikan pidatonya kepada seluruh rakyat Negara Khilafah untuk mengucapkan selamat dan doa, dengan mengingatkan sunah Rasulullah ﷺ seputar Hari Raya, dan bagaimana mestinya mereka merayakannya. Memperbanyak takbir untuk mengagungkan asma Allah. Mengingatkan kaum Muslim untuk menunaikan zakat fitrah untuk diberikan kepada fakir dan miskin di sekitar mereka. Mengajak seluruh umat Islam berbondong-bondong ke tempat shalat untuk menunaikan shalat Idulfitri. Bagi kaum perempuan yang tidak bisa keluar rumah karena tidak mempunyai jilbab, maka diserukan bagi saudaranya untuk meminjaminya.
Sejak matahari tenggelam, stasiun televisi, radio maupun yang lain mengumandangkan takbir hingga imam (khatib) naik di atas mimbar. Di ibu kota Negara Khilafah, khalifah memimpin shalat dan menyampaikan khotbahnya. Shalat dan khotbah khalifah akan dipancarkan ke seluruh dunia, sehingga pesan-pesan penting khotbahnya bisa diterima oleh umat Islam di seluruh dunia.
Di zaman Khilafah ‘Abbasiyyah, para khalifah biasa melakukan jamuan makan setelah pelaksanaan shalat Idulfitri. Bahkan, di era Ikhsyidiyyah, dilakukan parade militer. Semuanya ini sebagai ekspresi syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentu tidak salah. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi ﷺ ketika membiarkan orang Abesinia bermain tombak di hadapan baginda dan istri tercintanya, Aisyah radhiallahu’anha.
Karena itu, jika cara yang sama hendak digunakan oleh Negara Khilafah, semuanya itu diserahkan pada pandangan dan ijtihad khalifah. Jika khalifah memandang perlu, baik untuk membangun semangat maupun rasa percaya diri kaum Muslim dalam menghadapi situasi politik global, misalnya, maka kebijakan tersebut bisa saja dieksekusi. Begitulah, Idulfitri dirayakan oleh umat Islam sebagai umat terbaik, pemimpin seluruh umat manusia di muka bumi ini. Wallahu a’lam Bishshawab. (SM/LY)
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 154