Pengesahan UU TP-KS Melegitimasi Paradigma Liberal

  • Opini

Oleh: Hasni Tagili, M.Pd.

Suaramubalighah.com, opini — Publik kembali dibuat geleng-geleng kepala. Betapa tidak, sehari setelah Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi protes terhadap berbagai kebijakan tidak masuk akal ala penguasa, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) yang syarat aroma liberalisasi malah disahkan menjadi UU. Proses ketuk palu ini bahkan dianggap sebagai sebuah terobosan setelah enam tahun timbul tenggelam diperjuangkan. Benarkah demikian? Tidakkah ini makin melegitimasi kerangka berpikir paradigma liberal?

Pasal Kontroversial

Secara definitif, RUU TP-KS merupakan RUU yang mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban tindak pidana kekerasan seksual. Sekilas, publik akan memiliki gambaran positif manakala membaca identitas awal RUU ini. Namun, makin dicermati secara komprehensif, dari total 93 pasal dan 8 babnya akan ditemukan beberapa pasal yang ambigu dan terkesan menjadi celah pelegalan perzinaan.

Pertama, pada pasal 4 ayat (1) menyebutkan ada sembilan TP-KS, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, penyiksaan seksual, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual. Secara substansial, sembilan frasa yang tergolong TP-KS ini cenderung multitafsir dan mudah dikondisikan sesuai keinginan personal.

Salah satu buktinya yaitu konsep persetujuan seksual (sexual consent) yang sudah ada sejak pertama kali (2014) Komnas Perempuan menginisiasi regulasi tersebut yang awalnya diberi nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).

Aktivitas seksual baru bisa masuk kategori kekerasan seksual jika ada pemaksaan. Sementara, jika dilakukan suka sama suka maka tidak ada konsekuensinya. UU ini tidak mengatur hal tersebut. Dengan demikian, bukankah sama saja jika dikatakan bahwa UU ini secara tidak langsung makin melegalisasi seks bebas?

Perlindungan terhadap seks bebas tidak sampai di situ saja. Menyebarkan dokumen pribadi berbau seksual ke publik dengan disertai ancaman, maka akan dipidana. Lantas, apakah jika dokumen pribadi dari aktivitas seksual tersebut tidak disebarkan ke publik atau tanpa ancaman secara otomatis menjadi sesuatu yang dibolehkan? Padahal, aktivitas seksual merupakan ranah privat yang secara adab tidak perlu didokumentasikan, baik dalam bentuk gambar maupun video. Terlebih, aktivitas seksual seharusnya tidak boleh dilakukan oleh mereka yang bukan pasangan menikah.

Kedua, pada pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa dipidana atau didenda. Lantas, apakah jika penggunaan alat kontrasepsi tanpa kekerasan oleh pasangan yang belum menikah secara otomatis menjadi sesuatu yang diperbolehkan? Padahal, nyata sekali itu melanggar syariat Islam di mana Allah SWT dengan tegas melarang perzinaan. Jangankan aktivitas zinanya, mendekati zina saja dilarang.

Hilangnya Poin Krusial

Melansir Katadata, 13/4/2020, Citra Referendum selaku pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan sepuluh kritik terhadap UU TP-KS.

Pertama, UU TP-KS kurang tegas mengatur jaminan tindak pidana tidak akan berulang kembali sebagai asas undang-undangnya.

Kedua, absennya pengaturan mengenai tindak pidana pemaksaan aborsi.

Ketiga, tidak adanya definisi mengenai beberapa tindak pidana, yaitu pemerkosaan, pemerkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Padahal, hal ini berpotensi menciptakan multitafsir dalam implementasinya.

Keempat, UU TP-KS dinilai belum mengakomodasi sepenuhnya hak korban terkait penanganan, perlindungan, dan pemulihan.

Kelima, hak korban dalam perlindungan yang meliputi pemberdayaan hukum, layanan rumah aman, dan hak untuk mendapatkan informasi juga belum ter-cover.

Keenam, belum adanya jaminan secara rinci mengenai kebutuhan korban.

Ketujuh, belum termaktubnya hak-hak keluarga korban.

Kedelapan, belum ada informasi terperinci tentang hak dan kewajiban untuk saksi.

Kesembilan, belum tercakupnya penyebarluasan informasi penghapusan kekerasan seksual, penyediaan program, dan anggaran untuk pencegahan, pengadaan kebijakan untuk menghapus kekerasan seksual bagi lembaga negara, serta komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat perekrutan pejabat publik.

Kesepuluh, belum memasukkan penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan, dan pengadaan sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi.

Dari sepuluh kritik ini, tampak bahwa UU TP-KS tidak komprehensif, tidak sepenuhnya fokus pada solusi. Misalnya, penghapusan poin pemerkosaan dan aborsi, menjadikan UU ini terkesan tidak komprehensif, sehingga tidak solutif.

Dian Novita dari LBH Apik Jakarta mengatakan bahwa bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tetapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi? Padahal, pemerkosaan dan aborsi seharusnya merupakan salah satu spirit regulasi ini.

Legitimasi Liberalisasi

Setiap tahun, kasus kejahatan terhadap kesusilaan di Indonesia terbilang tinggi. Langkah pemerintah untuk meminimalisasi jumlah ini memang patut mendapat apresiasi. Sayangnya, aroma liberalisasi tercium kuat.

Melansir Solopos, 13/4/2022, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Kulonprogo mendorong judicial review atau peninjauan kembali atas UU TP-KS yang baru saja disahkan. Pihaknya menganggap, pemerintah seharusnya jangan hanya fokus pada hal yang menyangkut kekerasan seksual saja, tetapi juga semua jenis pelanggaran seksual seperti penyimpangan seksual, L68T, dan perzinaan. Sebab, hal ini merupakan penjabaran nilai Pancasila, sesuai norma agama dan norma masyarakat.

Padahal, baik pelacuran, zina, maupun L68T juga merupakan bentuk kekerasan. UU yang diklaim mengedepankan prinsip nondiskriminasi itu nyatanya hanya menyinggung kekerasan seksual antara laki-laki dan perempuan, tidak sesama jenis.

Tidak ada pasal yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban suami istri, termasuk soal hubungan intimnya. Yang disinggung hanyalah bentuk aktivitas seksual yang disertai pemaksaan atau tidak. Jika didasari keikhlasan, maka bisa menjadi dasar legalisasi prostitusi dan aktivitas seks menyimpang. Namun, jika tidak didasari keikhlasan, maka akan terkategori pemerkosaan suami terhadap istri. Ironis bukan!

Selain itu, semestinya penetapan UU TP-KS sejalan dengan penetapan RKUHP. RKUHP justru harus disahkan terlebih dahulu karena menjadi acuan dalam menyusun UU TP-KS. Sementara, yang terjadi malah sebaliknya, UU TP-KS disahkan sebelum RKHUP. Tidakkah ini inkonstitusional?

Ya, UU ini disahkan tanpa menunggu perbaikan KHUP. Artinya, ada kecenderungan hanya bertujuan melegitimasi paradigma liberal dalam memandang kekerasan seksual, bukan benar-benar bertujuan menghapus kekerasan seksual.

Sekularisme Biang Masalah

Menelisik perkara yang lahir akibat penerapan sistem demokrasi sekuler, wajar jika persoalan kekerasan seksual yang berlangsung bertahun-tahun tidak pernah bisa diselesaikan. Ini karena penyimpangan seksual semisal L68T dan perzinaan tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan meskipun pemerintah telah banyak membuat UU.

Lihat saja krisis sosial dan generasi yang menggerogoti peradaban Barat hari ini. Rusak dan merusak. Semua itu sebagian besar merupakan sumbangsih dari seks bebas dan diakuinya L68T.

Dengan semua realitas kerusakan dan penyakit yang ditimbulkan oleh efek liberalisme, apakah kita sebagai negeri muslim tetap mau ikut-ikutan?

Padahal, sampai di sini, Indonesia seharusnya bisa mengambil pelajaran bahwa peradaban Barat itu dasarnya adalah sekuler, melarang Tuhan ikut campur dalam mengurus urusan manusia dan memberi kewenangan dan kebebasan kepada akal manusia untuk membuat legislasi.

Pun, ketika manusia diberi kewenangan membuat undang-undang sesungguhnya membuka celah yang lebar bagi tumbuh suburnya kerusakan. Sebab, regulasi tadi dirumuskan oleh makhluk yang memiliki keterbatasan dan gudangnya khilaf. Maka sudah pasti akan selalu terjadi revisi dan kekurangan di sana sini.

Inilah efek negatif terbesar dari penerapan asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Masifnya budaya pergaulan permisif dan hilangnya budaya amar makruf nahi mungkar memicu kekerasan seksual. Negara bahkan bisa menjadi legalisator kemaksiatan.

Pasal-pasal yang bermasalah dalam UU TP-KS yang tetap kukuh diloloskan kemungkinan besar didasari oleh tiga alasan.

Pertama, menyuburkan perilaku sekuler liberal. Muatan Sexual and Reproductive Healths Rights sebagai “amanah” Beijing Platform for Action (BPfA) amat kuat.

Kedua, merusak keluarga terutama relasi suami istri. Tidak ada lagi qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga termasuk dalam hubungan yang amat privat.

Ketiga, menikam syariat Islam. Kalangan liberal, dengan dukungan negara, leluasa mengadvokasi umat untuk tidak lagi patuh pada hukum Allah. Na’udzubillahi.

Sistem Sanksi dalam Islam

Islam memiliki syariat yang mampu menjaga manusia dari penyimpangan. Dengan syariat tersebut manusia akan terjaga kehormatannya. Terjaga dari kekerasan yang bersifat seksual. Berikut penjagaan sistem Islam terhadap pergaulan manusia.

Pertama, menutup aurat dan menundukkan pandangan.

Kedua, memisahkan tempat tidur anak.

Ketiga, larangan saling melihat aurat dan tidur dalam satu selimut bagi sesama perempuan dan atau sesama laki-laki.

Keempat, larangan khalwat bagi yang bukan mahram. 

Kelima, perintah menikah bagi yang sudah baling dan mampu. Sedang untuk yang belum mampu, Allah memerintahkan agar shaum.

Kelima hal tersebut jelas mesti dibangun atas dasar ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan pelaksanaan syariat oleh negara. Melalui ketakwaan individu, manusia menjaga dirinya secara mandiri dari perbuatan amoral. Melalui kontrol masyarakat, tidak ada pembiaran terhadap perbuatan asusila di lingkungan sekitar.

Sistem sanksi dalam Islam juga mampu menyelesaikan persoalan hingga akarnya dengan efek jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (efek jera). Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Tidak kalah penting, negara merupakan kunci bagi terjaganya pergaulan di masyarakat melalui penerapan syariat, bukan melalui legalisasi UU TP-KS yang syarat akan kepentingan kaum liberal. Wallahu a’lam Bishshawab. [SM/LY]

Sumber: muslimahnews.net