Jihad Digital, Mengapa Justru Melawan Islam Kaffah?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Ustazah, beberapa waktu belakangan ini muncul istilah jihad digital. Disebut Jihad digital karena memanfaatkan aneka situs jejaring sosial, utamanya Facebook dan Twitter sebagai sarana dakwah, jalan jihad, atau berjuang di jalan agama. Mohon pencerahan ustazah, apakah berdakwah di media sosial juga di sebut jihad? 

(Hayah, Jatim)

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Ukhti Hayah di Jatim yang dirahmati Allah

Benar jika seorang muslim yang menyampaikan kebenaran Islam, baik itu perkara akidah atau syariat, dia telah melaksanakan kewajiban berdakwah. Terlepas menggunakan sarana apa pun selama sarana tersebut masih dibenarkan syariat,  di antaranya menggunakan media sosial.

Allah SWT berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah di antara kalian terdapat umat yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan kepada hal yang baik dan mencegah dari kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali Imran: 104)

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim  no. 49)

Inilah beberapa dalil yang berkenaan dengan kewajiban dakwah. Allah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan dakwah. Menegakkan amar ma’ruf nahy munkar di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun.

Seiring dengan perkembangan zaman, wasilah/sarana dalam berdakwah mengalami perkembangan. Penggunaan sosial media menjadi salah satu sarana yang dipandang efektif dalam dakwah. Dengan mengoptimalkan kemahiran jemari kita, maka dalam hitungan detik, tulisan maupun video konten dakwah akan bisa menjangkau ratusan, ribuan, bahkan jutaan audiens sosmed.

Tak bisa dpungkiri, media digital telah merubah gaya atau cara berinteraksi manusia, baik komunikasi, cara berpikir, dan kebiasaan. Dan mungkin saja mulai menghilangkan olah rasa dan spiritual karena perubahan interaksi dari bertemu secara fisik atau berkumpul ke cara komunikasi individual. Dikutip dari detik.com, menurut Hootsuite dan We Are Social, total penduduk RI menyentuh di angka 274,9 juta jiwa. Ketika ada 202,6 juta pengguna internet, itu artinya 73,7% warga Indonesia sudah tersentuh dengan berselancar di dunia maya. Dalam satu hari saja pengguna internet Indonesia rata-rata menghabiskan waktu sampai 8 jam 52 menit untuk mengakses internet, streaming 2 jam 50 menit, nongkrong di medsos 3 jam 14 menit, hingga bisa meluangkan waktu 1 jam 38 menit untuk membaca media online maupun offline.

Banyak yang berpendapat, “media sosial atau teknologi seperti pisau” bisa bermanfaat atau berbahaya. Termasuk pembuat karya digital atau konten baik tulisan, audio, video, jika yang dibuat adalah tentang kebaikan/kebenaran tentunya akan menjadi amal jariah apalagi konten yang dibuat menginspirasi pembaca atau yang menonton. Sebaliknya jika konten yang dibuat tentang keburukan akan menjadi dosa, berdampak mudarat pada dirinya dan orang lain. Begitulah kecanggihan dunia maya, jika digunakan dengan benar maka dampaknya juga dahsyat, sebaliknya jika digunakan untuk hal-hal negatif dampaknya juga tak kalah dahsyat.

Jihad Digital, untuk Apa dan Siapa?

Terkait dengan  istilah Jihad Digital, beberapa situs Islam memberikan pandangan beragam tentang jihad digital. Ada yang mengarahkan pada upaya melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan narasi-narasi agama yang lebih moderat. Ada juga yang berbicara pada pentingnyan literasi saat bicara tentang agama dan lain sebagainya.

Terlepas dari berbagai pandangan tersebut, jika kita telaah istilah Jihad Digital dalam pandangan fiqh tentunya kurang tepat. Sejatinya pengertian jihad, menurut pengertian bahasa (lughah) artinya adalah mengerahkan segenap kemampuan (badzlul wus’i).

Adapun menurut syariat, pengertian jihad adalah:

 الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ

 “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145).

Jadi jihad pada pokoknya adalah perang (al-qitaal), yaitu khususnya di sini perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin (kafir ghairu dzi ‘ahdin). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124). Dan jihad adalah wajib sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an misalnya QS. Al-Anfal: 39, QS. Al-Baqarah: 193, QS. At-Taubah: 29, QS. Al-Baqarah: 216, QS. At-Taubah: 39, QS. At-Taubah: 132.

Dari penjelasan di atas cukup jelaslah bahwa makna jihad adalah berperang dengan makna harfiah, yakni di medan peperangan melawan orang-orang kafir. Hanya saja, Jihad Digital yang lagi nge-tren saat ini dipahami dan diimplementasikan sebagai upaya untuk menyampaikan narasi-narasi yang membawa nilai agama (Islam), dengan kata lain dakwah melalui digital.

Jika diliat dari sisi pemanfaatan era digital dalam dakwah, tidaklah melanggar syara’. Karena menggunakan wasilah apa saja dalam dakwah dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Namun yang perlu diperhatikan adalah kontennya. Apakah kontennya benar-benar mengajak manusia memahami kebenaran? Melakukan amar ma’ruf nahy munkar sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya? Memahamkan kaum muslimin akan masalah utama mereka? Mencerdaskan umat akan bahaya-bahaya ide-ide kufur dan segala jebakannya? Ataukah justru malah menyerang Islam dan kaum muslimin, misalnya dengan memberikan opini tentang tidak wajibnya jilbab, Islam menghargai kearifan lokal padahal ada unsur syirik, deradikalisasi, menuduh pejuang Islam kaffah sebagai teroris, Khilafah sebagai ajaran setan, dan lainnya.

Tidak sedikit konten-konten yang justru menyimpang dari ajaran Islam, malah viral dan menjadi trending. Mereka (pembuat konten anti Islam ) menyebut konten mereka sebagai konten dakwah, sebagai Jihad Digital untuk menyerang konten-konten yang justru menebarkan Islam yang hakiki. Para buzzer sampah bekerja siang-malam untuk menyebarkan opini-opini sesat yang menyerang ajaran Islam dengan terus meyakinkan netizen dengan pendapat mereka.

Mereka bahkan berani memelintir ayat-ayat Al-Qur’an yang suci dan hadis-hadis rasul untuk menguatkan pendapat mereka. Misal dalam QS. Al-Baqarah: 256, bicara tentang tak ada paksaan dalam beragama, dengan konteksnya adalah bagi nonmuslim tidak dipaksa masuk dalam Islam. Mereka berpendapat bahwa ayat itu juga berlaku bagi seorang muslim yang memilih untuk murtad, maka seharusnya jangan dihina atau dicap sesat. Atau memelintir ayat tentang kewajiban muslimah menutup aurat, dimaksudkan bukan secara fisik tapi hati. Ataupun penyeru feminis menyatakan kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama (memelintir QS. At-Taubah: 71, An-Nisa: 124), dan lain sebagainya.

Maka jika konten-konten sesat seperti ini menjamur di mana-mana, bisa dipastikan keberadaan mereka tujuannya untuk menghancurkan kaum muslimin, menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang sahih, menghadang perjuangan penegakkan Islam kaffah, sekaligus mencap para pengemban dakwah Islam yang hakiki dengan sebutan teroris. Untuk siapa sebenarnya mereka bekerja? Tentunya untuk tuan-tuan mereka yang menjadi kaki tangan negara kufur adidaya. Karena negara besar seperti AS dan antek-anteknya memanfaatkan era digital untuk memasifkan ide-ide sesat mereka seperti demokrasi, liberalisasi, sekularisme, HAM, dan lainnya agar masuk ke benak kaum muslimin. Sehingga umat Islam tidak mampu lagi bangkit.

Wajib Memenangkan Dakwah di Era Digital

Era digital membuat informasi apa pun menyebar, nyaris tak terbendung. Informasi sahih hingga batil bisa dengan mudah didapatkan di sosial media. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan umat Islam untuk memilih dan memilah mana yang harus diambil dan mana yang harus dibuang. Negara yang seharusnya memfilter konten-konten busuk dan batil agar tidak merusak pemikiran umat, justru tidak hadir sebagai penjaga dan pelindung. Bahkan malah ikut terlibat dalam pertarungan opini yang menggiring rakyat untuk pro dengan segala kebijakan penguasa meski zalim, serta sampai harus menyewa para buzzer untuk menggilas ide-ide Islam, seperti Khilafah, makna jihad, Islam kaffah, dan lainnya.

Oleh karena itulah, dakwah melalui sosial media sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya harus terus digencarkan dan terus disebarkan. Umat Islam harus tahu dan paham segala hal tentang ide-ide kufur, opini-opini negatif, dan segala sepak terjang musuh-musuh Islam yang berseliweran di dunia maya. Maka dari itu, dakwah mengajak berislam kaffah, dakwah memperjuangkan sistem Islam yang sahih (Khilafah), sekaligus membentengi umat dari konspirasi jahat kaum kuffar harus lebih serius lagi dilakukan, lebih masif, dan lebih kuat. Umat Islam harus bertekad untuk memenangkan dakwah bilhaq di era digital ini. Insyaa Allah dengan kesungguhan dan kesabaran, Allah akan menangkan umat Islam atas umat-umat yang lain.

Wallahu a’lam bishshawab.  [SM/Ah]