Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Perempuan merupakan jenis manusia istimewa yang diturunkan Sang Pencipta ke muka bumi ini sebagai pendamping laki-laki. Dengan keberadaan dua jenis manusia tersebut, dunia diatur dan dipimpin. Namun tak jarang perempuan dianggap manusia kelas dua atau tidak dipandang utama. Hal inilah yang menimbulkan bencana bagi perempuan.
Tatkala Islam datang, diskriminasi terhadap perempuan sirna. Sebab, Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup yang sangat memuliakan perempuan. Islam memandang perempuan adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dijaga dan dihormati. Bahkan dalam Al-Qur’an ada surah khusus tentang “An-Nisa’” yang artinya ‘perempuan’.
Islam adalah agama yang adil dan tidak membedakan manusia dari ciri fisiknya. Manusia diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai kondisi fisiknya baik warna kulit, warna mata, warna rambut, bentuk wajah, tinggi badan, dan lain-lain. Semua sama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Sedangkan memuliakan perempuan merupakan salah satu kewajiban yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan bagaimana sikap penghormatan terhadap perempuan baik sebagai ibu, istri, saudara, maupun anak perempuan.
Dari sanalah kaum muslimin belajar dan menerapkan berbagai perintah serta tanggung jawab untuk menjaga perempuan. Kemuliaan perempuan bukan dengan menjadikannya sebagai mesin pendulang uang dengan mengeksploitasi tenaga dan fisiknya sebagaimana perlakuan sistem kapitalisme saat ini.
Adapun seperangkat aturan Islam untuk menjaga kehormatan perempuan bisa bersifat pribadi, dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam bernegara. Adapun dalam hubungannya dengan individu, Islam telah mewajibkan perempuan memahami kodratnya sebagai perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Islam menjadikan seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan. Sehingga ia harus menutup auratnya sebaik mungkin. Yaitu dengan keharusan memakai kerudung dan jilbab saat keluar rumah ketika perempuan sudah baligh. Selain itu perempuan juga dilarang untuk tabaruj atau berlebihan dalam bersolek dan berpakaian tatkala keluar rumah. Tujuannya adalah untuk menghindari fitnah terhadap laki-laki yang bukan mahramnya dan mencegah kemudaratan atas perempuan. Perempuan juga diajarkan untuk bersuci, berakhlak mulia, bersemangat menuntut ilmu sehingga memiliki kepribadian Islam.
Dalam hubungannya dengan keluarga, Islam menempatkan perempuan pada posisi yang mulia yaitu sebagai “al-umm wa rabbatul bait” yaitu sebagai ibu dan manajer dalam keluarga. Para muslimah mendapat pahala yang besar dalam menjalankan peran ini, bahkan setara dengan pahala jihad.
Dalam hubungannya dengan masyarakat, sistem Islam memberikan rambu-rambu agar menjaga pergaulannya agar tidak bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram kecuali dalam kondisi yang diizinkan syara‘, seperti dalam perdagangan, pendidikan, ataupun kesehatan. Islam juga mengharamkan perempuan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram karena hal itu termasuk mendekati zina.
Dalam bernegara, Islam menerapkan sistem kehidupan yang menjaga muruah perempuan. Kondisi lingkungan yang kondusif jauh dari kemaksiatan, melarang pornoaksi dan pornografi, melarang perbuatan liwath, serta memblokir semua konten yang bersifat merusak terakses oleh masyarakat.
Jika seluruh aturan pencegahan sudah terlaksana namun masih ada yang melanggar, maka negara akan memberikan sanksi yang mumpuni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Sehingga kemaksiatan bisa diminimalisir seoptimal mungkin.
Dalam Islam, perempuan bukanlah penggerak roda ekonomi melainkan penggerak perubahan, yakni sebagai ibu peradaban. Peran strategis perempuan adalah sebagai pencetak dan pendidik generasi. Ia merupakan pilar penentu bangkit dan runtuhnya peradaban manusia.
Jika peran strategis perempuan tergerus dengan kesibukan perempuan sebagai penggerak roda ekonomi, maka ini adalah bentuk eksploitasi perempuan yang dibalut dengan istilah pemberdayaan. Perempuan hanya menjadi tumbal kerakusan sistem kapitalisme yang telah merampok ekonomi seluruh negara hingga menciptakan kemiskinan dan kelaparan yang sangat parah.
Menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kemiskinan adalah bentuk penghinaan dan kezaliman terhadap perempuan yang harus ditolak. Akibatnya akan merendahkan perempuan yang harusnya dimuliakan. Mencabut peran strategis untuk mencetak generasi cemerlang sehingga kebangkitan Islam bisa diaborsi sedini mungkin. Inilah yang diinginkan orang kafir Barat atas negeri-negeri muslim.
Saatnya perempuan sadar, untuk fokus berjuang mengembalikan kemuliaan sistem Islam sehingga ketinggian kehormatan perempuan bisa kembali lagi. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh sejarawan Inggris Julia Pardoe tentang status ibu di era Khilafah Ustmani pada tahun 1836. Fitur yang indah pada karakter orang Turki adalah penghargaan dan penghormatan mereka pada ibu, ia sebagai tempat berkonsultasi dan mengungkapkan isi hati, yang arahannya didengarkan dengan penuh penghormatan dan penghargaan, dimuliakan hingga akhir hayatnya, diingat dengan penuh kasih sayang dan penyesalan setelah pemakamannya.
Tidak ada situasi yang membuat perempuan terpaksa dan dipaksa bekerja karena regulasi, pencarian nafkah dalam peradaban Islam adalah kewajiban hanya bagi laki-laki yang mampu. Sementara perempuan memiliki hak nafkah sejak dari lahir hingga meninggal.
Adapun jika terdapat pelanggaran terhadap hak nafkah bagi perempuan, maka pengadilan akan membantunya untuk mengembalikan hak-haknya tanpa dibebani bayaran sedikit pun. Oleh karena itu, penghormatan dan kemuliaan perempuan bukan karena menghasilkan uang bagi keluarga, tetapi karena terdapat perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang wajib ditunaikan.
Dari sini nampak jelas bahwa menjadikan perempuan sebagai penggerak roda ekonomi, sejatinya bukan bentuk pemberdayaan yang benar namun eksploitasi yang menzalimi perempuan dan menghancurkan peradaban.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]