Oleh: Ustazah Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Opini — Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru), imbauan dari para pejabat pemerintah kepada masyarakat terkait toleransi beragama sangatlah masif. Terlebih setelah pencanangan oleh Kemenag, tahun 2022 adalah tahun toleransi.
Atas nama menjaga keberagaman dan toleransi, umat Islam digiring untuk ikut memeriahkan perayaan Nataru. Dengan dalih pluralisme masyarakat diimbau untuk membantu pemasangan simbol keagamaan seperti pohon Natal di tempat umum, memakai topi Sinterklas di tempat bekerja, pun terompet dan kembang api menjadi “teman” anak-anak muslim, ditiup dan dinyalakan di tahun baru bahkan live di berbagai media. Tidak hanya itu saja, umatnya Nabi Muhammad saw. pun ada yang digiring ikut merayakan di gereja. Ini semua atas nama mewujudkan pluralisme beragama. Nastaghfirullah.
Pengamanan perayaan Nataru pun luar biasa dan istimewa. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak hanya akan melibatkan TNI dan pemerintah untuk pengamanan malam Natal 2022, tapi juga menggandeng sejumlah organisasi masyarakat atau ormas. Ormas tersebut seperti Barisan Ansor Serbaguna Nahdhatul Ulama atau Banser, Gerakan Pemuda Anshor, hingga Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). (Tempo.com, 21/12/2022)
Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan bagi umat Islam yang mayoritas di negeri ini, tapi harus mengikuti ritual perayaan agama lain. Maka, penting sekali untuk menjelaskan pada umat Islam agar tidak terjebak pada pemahaman yang salah dan terjebak pada tindakan mencampuradukkan agama ala moderasi beragama yang menyesatkan. Yakni tentang makna toleransi yang sebenarnya dan tentang perbedaan pluralisme dengan pluralitas, mana yang diharamkan dan mana yang harus dijaga oleh Islam? Hal ini penting karena ada upaya pengaburan dan penyesatan makna dari kedua hal tersebut yang berujung pada terancamnya akidah (keimanan) umat Islam.
Pertama, tentang toleransi. Islam sangat jelas dan lugas “clear” mengenai toleransi. Bahkan umat Islam adalah umat yang paling toleran di dunia. Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan nonmuslim, bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan nonmuslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih dari Umar bin Al-Khaththab ra., ia berkata,
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah kalian masuk pada nonmuslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Islam tidak pernah memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Sebagaimana firman Allah SWT, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)
Bahkan dalam sistem Khilafah (sistem pemerintahan Islam), nonmuslim dijamin dan dilindungi jiwa, harta, dan kehormatannya. Dalam hal makanan, minuman, pakaian, perkara pernikahan, dan perceraian dibiarkan sesuai dengan ajaran mereka.
Kedua, tentang pluralisme dan pluralitas. Kedua istilah tersebut (pluralisme dan pluralitas) meski berasal dari akar kata yang sama (plural), tapi memiliki makna yang jauh berbeda. Sehingga menyamakan keduanya akan mengaburkan makna yang sebenarnya dan membahayakan akidah umat.
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan semua agama sama. Oleh karena itu, kebenaran semua agama adalah relatif. Maka itu, pemeluk agama tak boleh mengklaim hanya agamanya yang benar sedangkan agama lainnya salah.
Menurut Anis Malik Thoha dalam Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, paham tersebut sedikitnya memiliki empat karakteristik, yakni (1) humanisme sekuler; (2) teologi global yakni seperti digagas sosiolog Amerika Serikat, Robert N. Bellah, agama sipil; (3) sinkretisme; dan (4) filsafat perenial. Muara dari semua itu adalah bahwa ada legitimasi yang sama pada semua agama.
Pluralisme tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Islam. Pluralisme ialah suatu isme (ajaran) yang lahir di Barat (Eropa) pada abad 18 Masehi. Pluralisme agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-Barat disebabkan trauma sejarah kekuasaan gereja di abad pertengahan dan konflik Katolik-Protestan, problema teologis Kristen, dan problema teks Alkitab.
Pluralisme adalah salah satu cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain dalam tradisi Kristen. Pertama, eksklusivisme yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat. Kedua, inklusivisme yang berpandangan meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga, pluralisme yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan pluralisme agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.
Pluralisme bertentangan dengan firman Allah SWT, “Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (QS. Ali Imran: 85)
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)
Bahkan Allah SWT dengan tegas berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran: 19)
Islam menolak pluralisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.
Sementara pluralitas adalah masyarakat yang penuh keberagaman, baik karena suku, ras, bahasa, agama, budaya, dan lain-lain. Ini adalah sunnatullah. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Islam sangat menjaga pluralitas. Dalam sejarah panjang penegakan syariat Islam dalam naungan Khilafah, Islam mampu meleburkan berbagai bangsa, ras, bahasa, budaya, dan suku.
Menarik apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong, “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire” (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44)
Pada dasarnya Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan menghindarkan kezaliman. Islam melarang keras berbuat zalim dan melarang merampas hak-hak mereka yang di luar Islam. Allah SWT berfirman,
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (Tafsîr Karîm Ar-Rahman, hlm. 819) menafsirkan ayat ini, dalam ayat ini Allah tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Selama mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kaum muslim.
Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, pernah menuliskan tentang kebijakan Khilafah Utsmaniyah terhadap warganya yang nonmuslim. Arnold menyatakan, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors —at least for two centuries after their conquest of Greece— exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe.” (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani —selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani— telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).
Ia pun mencatat bahwa keadilan Khilafah Islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen. (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).
Dari sini jelaslah bahwa opini umat Islam antitoleransi atau antikeberagaman hanya fitnah dari musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menjaga dan menguatkan akidah dan ajaran syariat Islam yang lurus pada anak cucu kita dari segala bentuk pengaburan. Baik pengaburan makna toleransi, pluralisme dan pluralitas, pengaburan sejarah, dan penyesatan politik yang dilakukan oleh penjajah Barat, yakni kapitalisme.
Untuk menjaga penjajahannya dan mengeruk keuntungan yang besar, atas nama moderasi beragama (toleransi, pluralisme, dan moderat) atau perang melawan radikalisme dan terorisme, mereka menjauhkan umat dari gambaran Islam yang kaffah serta menjauhkan umat dari kebangkitan Islam.
Mari kita jaga generasi muslim dengan mengkaji dan memahami Islam secara kaffah. Terus berjuang menegakkan syariat Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah untuk menjadi perisai bagi akidah umat. Wallahu a’lam. [SM/Ah]