Cinta Nabi, Taat Syariah Kaffah, Tanpa Tapi

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

SuaraMubalighah.com, Opini – Penyelenggaraan peringatan maulid Nabi selalu semarak setiap tahunnya. Di kota maupun di desa umat Islam antusias memperingati dengan tradisi-tradisi berbeda di tiap daerah, seperti Meuripee di Aceh, Gerebek Maulid di Yogya, Bunga Lado di Sumatera Barat, Keresan di Mojokerto, Udikan di Madiun dsb. Atau berupa kegiatan keagamaan seperti tabligh akbar banyak diselenggarakan, baik di institusi pemerintahan, masjid masyarakat maupun pondok pesantren. Lantunan shalawat bergema di mana-mana, bahkan di media sosial pun menjadi shalawat trending. Maa syaa Allah.

Momen maulid selalu digunakan untuk meningkatkan kecintaan kita terhadap Nabi saw. Cinta kepada Nabi tidak hadir dengan alami, namun dihadirkan dari pemahaman. Pemahaman bahwa mencintai Nabi saw. adalah wajib bagi setiap muslim. Bahkan menjadi syarat bagi sempurnanya keimanan. Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari  orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu hibban)

Bahkan Allah memerintahkan bahwa mencintai Allah dan Nabi-Nya harus diletakkan paling tinggi di atas kecintaan kepada yang lain.

Allah SWT telah  berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)

Mencintai Nabi saw. berarti memuliakan, meneladani dan mengikuti semua ajarannya. Allah berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS Ali Imran: 31).

Makna ittiba adalah mengikuti seluruh ajaran nabi adalah seluruh syariat Islam secara kaffah, tanpa tapi. Bukan dipilah-pilah, dipilih-pilih atau dinanti-nanti. Sebagaimana penjelasan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat di atas: “Ayat tersebut menjadi hakim atas orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak berjalan di atas sunnah dan petunjuk beliau yang mencakup akidah dan syariat Islam.”

Maka sungguh aneh, jika mengaku mencintai Nabi saw. tapi malah mengambil aturan dari selainnya, misalnya membuat aturan dengan sistem demokrasi yang bukan berasal dari Islam atau yang bernafas kapitalisme liberal. Sehingga yang lahir darinya adalah aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang merusak dan zalim. Seperti kasus Rempang baru-baru ini, apakah menggusur tanah milik rakyat demi kepuasan oligarki adalah perbuatan yang orang yang mencintai Nabi? Padahal Nabi saw. sudah menegaskan, “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim)

Senantiasa memperhatikan urusan umat juga salah satu bukti cinta kepada Nabi saw. karena kita ingin diakui sebagai golongan umatnya. Nabi bersabda, “…barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR Al-Hakim dan Baihaqi)

Mencintai Nabi berarti cinta syariat Islam kaffah, bukan Islam moderat yang dirancang Barat. Islam moderat menggabungkan narasi semua agama sama (pluralisme), toleransi beragama, tidak boleh menganggap ajarannya paling benar, bahkan boleh mengikuti kegiatan agama lain. Padahal ini jelas bertentangan dengan ajaran Nabi saw. Bukankah Nabi saw. diutus untuk memenangkan agama Islam dari agama yang lain? Allah berfirman,

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلْهُدَىٰ وَدِينِ ٱلْحَقِّ لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًا

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS Al-Fath [48]: 28).

Mencintai Nabi saw. seharusnya bisa menyatukan hati-hati umat Islam. Alangkah sedihnya Nabi saw. jika melihat umatnya kini tercerai berai karena nation state. Sehingga masalah Palestina, Rohingya, dan umat Islam yang terjajah dibiarkan. Padahal negeri-negeri kaum muslimin mempunyai tentara yang sanggup melawan penjajahan. Namun, karena tidak ada kepemimpinan yang satu, umat Islam bagai buih di lautan.

Dan khususnya untuk para pemimpin yang mengaku mencintai Nabi saw. seharusnya meneladani kepemimpinan Nabi dalam mengurus urusan rakyat dengan syariat. Para pemimpin haruslah takut dengan doa Nabi bagi pemimpin yang menyusahkan urusan umatnya. Dari Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. berdoa di rumahku ini: ‘Ya Allah! Barangsiapa yang memegang urusan (menjabat) suatu urusan umatku lalu dipersulitnya urusan mereka, maka persulit pulalah orang itu! Dan barangsiapa yang memegang urusan suatu urusan umatku lalu mereka berlaku lembut (mempermudah) kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada orang itu.” (HR Muslim)

Mencintai Nabi saw. pun berarti rida dan yakin dengan sistem pemerintahan yang beliau contohkan, yakni sistem Khilafah Islam. Nabi saw. mengurus urusan rakyatnya dengan syariat Islam secara praktis. Memberikan perlindungan, pelayanan serta kesejahteraan bagi rakyatnya. Nabi saw. menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Hal ini dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau sampai akhirnya Khilafah runtuh tahun 1924 M. Setelah itu, umat Nabi saw. hidup dalam berbagai permasalahan dan kesulitan.

Maka, merayakan maulid Nabi saw. harus diiringi dengan peneguhan komitmen ketaatan kepada syariat secara kaffah, tanpa tapi, tanpa nanti. Hal itu kita upayakan mulai dari diri kita pribadi dengan mengikatkan diri kepada syariat dalam setiap aktivitas. Juga dilakukan dengan ikut serta dalam upaya penegakan Khilafah Islam. Karena Khilafah adalah satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan inilah kita bisa membuktikan cinta kepada Nabi saw., serta hidup mulia dalam keberkahan Islam. Semoga kita akan dikumpulkan di surga bersama Nabi saw. yang kita cintai. Aamiin ya Rabb.[SM/Ln]