Oleh: Siti Murlina
Suaramubalighah.com, Telaah Hadis – Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan manusia lainnya. Maka Islam datang untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Mengemis atau meminta-minta adalah dua hal yang sama. Dalam pandangan syariat Islam kedua hal tersebut adalah perbuatan tercela yang dilarang dan merendahkan martabat seseorang. Sebagaimana terdapat di dalam hadis Rasulullah saw., di antaranya adalahbdari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata bahwa Rasul saw. bersabda,
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Selanjutnya dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
“Barang siapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR Ahmad 4/165. Syekh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadis ini sahih dilihat dari jalur lain).
Dari Samurah bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” (HR An-Nasai no. 2600, At Tirmidzi no. 681, dan Ahmad 5/19. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).
Dari penelusuran beberapa hadis di atas, selain dilarang atau dicela, perilaku mengemis atau meminta-minta pada hari kiamat datang dalam keadaan hina tanpa memiliki wajah di hadapan Allah. Ada yang mengatakan bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan wajahnya berupa tulang tanpa ada daging sedikit pun sebagai hukuman untuknya. Dan juga seolah-olah ia memakan bara api yang sangat panas.
Yang dimaksud dalam hadis dengan meminta-minta yang tercela adalah bukan dalam keadaan darurat dengan maksud memperbanyak harta, bukan karena kebutuhan. Maka Islam memandang haram hukumnya mengemis pada kondisi ini. Karena ancamannya sangat mengerikan sebagaimana gambaran dalam beberapa hadis tadi.
Selain dicela, mengemis merupakan sikap yang tidak mensyukuri nikmat Allah SWT dan masuk kategori orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Sebenarnya ia sehat dan mampu mencari nafkah tapi malas dan lebih memilih untuk mengemis, maka dia telah kufur terhadap nikmat Allah.
Sebagai din yang mulia, Islam telah mewajibkan bekerja keras dalam mencari nafkah. Dan Islam memberikan kemuliaan martabat dan penghormatan kepada muslim yang tidak malas dan berupaya mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri, Allah akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupkan diri (tidak bergantung pada orang lain), Allah akan memberinya kecukupan.” (HR Bukhari).
Juga dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rasul saw. bersabda,
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR Bukhari no. 2074)
Ada pengecualian meminta yang diperbolehkan oleh syariat Islam yaitu dalam tiga hal, sebagaimana disebutkan dalam hadis Qabishah, Rasulullah saw. bersabda,
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: satu, seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, dua, seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan tiga, seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qabishah adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR Muslim, no. 1044)
Namun sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan ini telah melahirkan kemiskinan yang bersifat struktural. Dimana jurang pemisah antara yang kaya dan miskin sangat tinggi, terjadi kesenjangan dan ketimpangan sosial, budaya, serta ekonomi.
Dan juga sistem yang fasad ini telah melahirkan individu umat yang bermental pemalas dari kalangan orang-orang miskin tadi. Sebagai akibat dijauhkannya agama dalam pengaturan kehidupan, karakter tangguh dan etos kerja tinggi yang dilandasi keimanan hilang dari kaum muslimin.
Halal dan haram tidak lagi menjadi standar sikap mereka, dalam menghadapi permasalahan hidup cenderung pragmatis. Karenanya mereka jadi terhina dan tercela dengan memilih profesi sebagai pengemis. Sehingga timbul saat ini fenomena kampung pengemis. Sepertinya kemiskinan dan kemalasan ini sudah menjadi paket yang menggejala ditengah masyarakat.
Belum lagi mandulnya fungsi negara dalam mengurusi dan mengentaskan masalah kemiskinan ini. Seolah abai dan setengah hati. Padahal peran negara penting dan utama dalam menyelesaikan kemiskinan dan membina masyarakat agar hilang mental pengemisnya.
Seharusnya, dengan fakta atau fenomena sebutan bagi kampung pengemis yang menggejala saat ini menjadi sumber pemikiran bagi seluruh kaum muslimin saat ini. Untuk mengganti dan membuang sistem demokrasi sekuler nan kufur ini dengan sistem yang unggul dan sahih yakni Khilafah. Agar muruah mereka yang mulia dan pemimpin peradaban kembali memimpin dunia.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]