Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini – Setiap peringatan Hari Perempuan Internasional, para pengusung ide gender kembali memanfaatkan momen untuk menguatkan opininya seputar upaya memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti pada refleksi Hari Perempuan Internasional 2023, mereka mengangkat tema “Melangkah Bersama untuk Pembebasan Perempuan”. Hal tersebut mereka klaim sebagai bentuk khidmah dalam melakukan transformasi sosial yang perempuan alami. Menurut kaum gender, kondisi masyarakat saat ini masih belum sepenuhnya merekognisi dan mengafirmasi eksistensi perempuan, sehingga menjadi penting untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tersebut.
Melalui Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022, para pengusung gender mencoba menunjukkan problem perempuan di negeri ini, seperti tingginya kasus kekerasan seksual. Meski begitu, mereka pun mengeklaim adanya keberhasilan yang telah diraih, yaitu hadirnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan adanya ruang perjumpaan ulama perempuan Indonesia yang terorganisir, yaitu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Bahkan lahirnya beberapa isu utama hasil dari Musyawarah Keagamaan KUPI ke-2, mereka sebut sebagai peran khidmah dalam melakukan transformasi sosial yang perempuan alami. Dan semua itu mereka refleksikan salah satunya dengan perspektif keadilan gender Islam, atau disebut juga dengan perspektif keadilan hakiki.
Mereka menarasikan bahwa dengan berbagai langkah tersebut akan dapat mewujudkan keadilan gender untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi semua perempuan. Pertanyaan kritisnya, mampukah ide kesetaraan gender menyolusi persoalan ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan? Kesetaraan dan keadilan seperti apa yang mereka kehendaki? Dan saat mereka menyerukan langkah bersama untuk membebaskan perempuan, membebaskan dari belenggu apa? Inilah perkara yang butuh didalami pembahasannya.
Tidak Jujur
Gerakan kesetaraan gender yang berjalan di negeri ini, sesungguhnya tidak terlepas dengan perjalanan panjang gerakan gender secara global. Gerakan ini pun terus menyisakan tanya, akan kemana arah perjuangan mereka? Karena hingga kini, cara pandang gender terhadap isu kesetaraan perempuan sesungguhnya tidak jujur. Mereka selalu mengeklaim bahwa perempuan selalu disubordinatkan dan menjadi obyek ketidakadilan, kekerasan, dan bentuk ketimpangan lainnya. Sehingga harus diperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan.
Padahal faktanya, perempuan dan laki-laki kini sama-sama mengalami nestapa akibat jeratan sistem hidup kapitalisme sekuler yang dikukuhkan oleh sistem politik demokrasi liberal. Kapitalisme telah melahirkan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan bagi seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, bukan ketimpangan dan ketidakadilan gender yang mengakibatkan perempuan sengsara, miskin, terancam keamanannya, mengalami kekerasan, dan diposisikan inferior. Tapi itu adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme global yang dipaksakan dalam kehidupan masyarakat.
Faktanya, tidak hanya perempuan yang mengeluhkan sempitnya lapangan pekerjaan, tapi laki-laki juga banyak yang di-PHK dan menjadi pengangguran. Jika perempuan diklaim banyak yang hidup miskin, laki-laki pun banyak yang harus bertahan dalam kemiskinan. Jika perempuan dinyatakan terus menuntut keadilan dalam besaran upah, kualitas layanan pendidikan dan kesehatan, serta jaminan keamanan dan rasa keadilan di hadapan hukum, maka laki-laki pun mengalami kondisi yang sama, masih terus berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Dan jika perempuan ditengarai banyak menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya, maka faktanya kaum laki-laki pun kerap menjadi korban kekerasan serupa. Artinya, yang mengalami kesengsaraan hidup, kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan di negeri ini bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki.
Akibat Jeratan Kapitalisme
Harus diakui, bahwa berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa perempuan dan laki-laki, adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang dipaksakan di tengah-tengah masyarakat. Agama tidak punya peran dalam interaksi masyarakat. Standar halal haram tidak lagi dipakai, diganti dengan asas manfaat sesuai timbangan akal manusia. Wajar jika kehidupan masyarakatnya penuh dengan problem sosial, termasuk persoalan hidup kaum perempuan. Sementara kehidupan bernegaranya pun dikelola oleh para pemimpin yang tidak amanah, tidak takut pada Rab-nya, dan mencampakkan syariah sebagai panduan sahih dalam bernegara. Sementara sistem ekonomi kapitalisme liberal yang dijalankan di negeri ini, telah menghadirkan kemiskinan sistemik di masyarakat. Perampokan SDA oleh pihak swasta asing dan aseng atas nama investasi yang dilegalkan oleh undang-undang hasil ketok palu dewan legislatif ala demokrasi.
Walhasil, rakyat yang jadi korban. Ketika SDA milik rakyat diserahkan pengelolaannya pada pihak swasta apalagi asing, maka wajar jika hasilnya tidak kembali pada rakyat. Karena bagi swasta, yang menjadi mindset mereka adalah bisnis demi cuan. Maka yang terjalin antara pihak swasta pengelola SDA dengan rakyat adalah relasi jual beli dan perdagangan. Bukan untuk me-riayah (mengatur urusan rakyat) sebagaimana yang diwajibkan Islam pada negara. Ini benar-benar khas kapitalisme sekuler. Semua hal dijadikan komoditas bisnis untuk meraih keuntungan materi semata. Pelayanan kebutuhan pokok publik (kesehatan, pendidikan dan keamanan), serta ketersediaan kebutuhan pokok rakyat pun harus didapatkan dengan ongkos mahal. Korporat untung, rakyat yang buntung. Sementara negara hanya bertindak sebagai fasilitator, tapi absen dari tugas utamanya sebagai pengatur urusan rakyat (raa’in).
Ketidakmandirian negara dalam mengelola SDA, melahirkan berbagai kesulitan lain bagi rakyat. Negara yang terjebak dalam kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme, cenderung terseret pada jebakan hutang yang tak berkesudahan. Itu karena ongkos yang dibutuhkan dalam menjalankan pemerintahan bertumpu pada utang luar negeri dan pajak. Akhirnya pungutan pajak pun kian beragam dan terus naik besarannya. Keluarga muslim pun kena imbasnya. Dalam kondisi seperti ini, perempuan menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya, karena para ibu dan perempuan lah yang sehari-hari berkutat dengan uang belanja dan berbagai pembiayaan hidup keluarga, serta tagihan pajak ini dan itu. Perempuan benar-benar tersandera, akibat jeratan kapitalisme.
Maka untuk memenuhi kebutuhan dan demi bertahan hidup, tak jarang para ibu dan perempuan terpaksa bekerja, dengan sederet kewajiban kerja yang mendistorsi bahkan merampas waktu dan fokus mereka terhadap kewajiban utamanya sebagai ibu pencetak generasi calon pemimpin umat. Pendidikan generasi menjadi tidak optimal. Pengasuhan anak pun kerap diserahkan pada ART, baby sitter, day care, atau neneknya yang secara fisik tidak lagi dirancang untuk mengasuh anak-anak yang aktif. Pendidikan pun cenderung diserahkan seluruhnya pada pihak sekolah. Ibu dan orang tua absen dari tugas strategisnya sebagai pendidik utama. Sehingga muncullah masalah baru pada generasi, seperti menthal illness, lapar dan luka pengasuhan akibat gap yang dalam antara orang tua dan anak. Anak-anak tidak punya role model dalam ketangguhan menghadapi ujian hidup, dan kemampuannya untuk mengurai berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini diperparah oleh lemahnya kontrol sosial di masyarakat, mandulnya amar makruf nahi munkar, serta lemah dan abainya negara dalam menjaga akidah dan akhlak generasinya.
Inilah buah dari jeratan sistem kapitalisme sekuler yang tengah diadopsi oleh dunia Islam termasuk negeri ini. Sistem hidup yang batil yang hanya menghasilkan berbagai ketimpangan, ketidakadilan, dan berbagai kezaliman hidup, baik laki-laki maupun perempuan. Maka, sistem hidup kapitalisme inilah belenggu sesungguhnya, yang telah menjerat perempuan, rakyat dan bangsa ini, sehingga mereka harus segera diselamatkan.
Maka jelaslah bahwa menyolusi ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat, bukanlah dengan mengarahkan perempuan berdaya secara ekonomi ala gender, dimana perempuan diarahkan untuk menghasilkan uang supaya bisa mandiri dan tidak mudah didiskriminasi. Perempuan bahkan diarahkan untuk berdaya secara politik hingga meraih posisi kepemimpinan perempuan dan berperan sebagai penentu kebijakan. Kaum gender berasumsi, makin banyak kaum perempuan yang meraih posisi sebagai penentu kebijakan, akan bisa menyelesaikan berbagai problem ketidakadilan perempuan, yaitu dengan lahirnya berbagai kebijakan dan legislasi di tangan para pemimpin perempuan.
Ini jelas solusi keliru dan salah arah, serta tidak akan mampu menyolusi problem yang ada. Bahkan menyimpan bahaya besar bagi perempuan, keluarga dan masa depan generasi. Bukannya mengakhiri ketimpangan dan ketidakadilan bagi perempuan, justru melahirkan masalah sistemik lainnya. Dan juga makin mengukuhkan eksistensi sistem hidup kapitalisme sekuler yang menjadi biang kerok dari semua problem masyarakat di negeri ini.
Selamatkan dengan Islam
Jika ingin menyudahi berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa rakyatnya, negeri ini harus segera membebaskan rakyatnya dari jeratan sistem hidup kapitalisme sekuler liberal demokrasi. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Sudah sepantasnya negeri ini segera mencampakkan kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak, lalu kembali pada Islam kaffah. Sebagai sebuah ideologi yang sahih dan sempurna dari Allah SWT, Islam memiliki cara pandang khas tentang laki-laki dan perempuan serta seluruh problem hidup mereka di masyarakat.
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan sebagai rakyat sebuah negara, wajib dilindungi dan disejahterakan. Dalam Islam, tidak ada konsep yang menyatakan bahwa perempuan akan sejahtera dan terlindungi hanya jika dipimpin oleh perempuan juga, seperti yang dikhayalkan oleh pegiat gender. Meskipun khalifah sebagai kepala negara dalam sistem Islam haruslah laki-laki, namun khalifah wajib terikat pada hukum syarak dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) di tengah-tengah rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Khalifah wajib melayani mereka dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi, hingga benar-benar sejahtera.
Walaupun perempuan haram menjadi pemimpin di pemerintahan, namun Islam membolehkan perempuan berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan sepanjang dilakukan sesuai batasan hukum syarak. Bahkan Islam mewajibkan perempuan terlibat dalam aktifitas politik, berupa amal dakwah Islam ideologis dalam rangka meninggikan Islam, ikut memikirkan pengaturan urusan rakyat, dan melangsungkan kembali kehidupan masyarakat Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Islam juga membolehkan perempuan untuk memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam), dan memberikan masukan terhadap kebijakan penguasa terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum perempuan.
Jadi, dalam Khilafah, perempuan tidak sekedar diambil suaranya lalu dibajak untuk kepentingan penjajah dan kaki tangannya. Perempuan juga tidak dieksploitasi problemnya demi memuluskan target politik pragmatisnya para politisi petualang demokrasi. Karena dalam Khilafah, meskipun kepala negara dan pemimpin politik tertingginya adalah laki-laki, suara kaum perempuan benar-benar didengar, dipenuhi hak-haknya, dijamin kesejahteraannya, dilindungi kehormatannya, dimuliakan dan dibela, serta disupport oleh negara dalam menyempurnakan peran strategisnya sebagai ibu, pengelola rumah suaminya, serta pencetak generasi calon pemimpin bangsa dan pembangun peradaban. Artinya, Khilafah akan menjamin kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil, sebagai rakyat, tanpa pembedaan dan diskriminasi, sesuai tuntunan syariat.
Dengan demikian, untuk membebaskan masyarakat dan kaum perempuan dari jeratan kapitalisme sekuler liberal, yang dibutuhkan adalah kemauan kuat dan kemampuan pemimpin negeri ini secara politik untuk segera beralih pada sistem Islam dan mengadopsinya sebagai way of life, demi menyelesaikan ketimpangan dan ketidakadilan sesuai tuntunan syariat Islam kaffah. Bukan dengan solusi salah arah ala gender yang mengkhayalkan penyelesaian problem ketidakadilan, ketimpangan dan kezaliman adalah dengan adanya perempuan di posisi kepemimpinan dan legislasi. Dan untuk itu butuh adanya perjuangan dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/ln]