Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini – Dalam laman resmi Kementerian Agama (Kemenag) angka perceraian di Indonesia mengalami penurunan hingga 10,2 persen dari angka 516.344 kasus pada tahun sebelumnya, menjadi 463.654 kasus pada tahun 2023. Data ini merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tanggal 28 Februari tahun 2024. (Kemenag.co.id, 15/5/2024).
Menurut Dirjen Bimas Islam, Kemenag, Kamaruddin Amin, dalam kegiatan Workshop Pengembangan SIMKAH Gen 4 di Bogor, Selasa (14/5/2024), turunnya angka perceraian ini adalah salah satu bentuk keberhasilan KUA. KUA dengan program Bimwin (Bimbingan Perkawinan) telah berhasil memaksimalkan perannya dalam menjawab dinamika isu-isu sosial demi upaya memperkuat ketahanan keluarga. Sekaligus KUA juga telah berhasil melaksanakan sosialisasi dan kampanye tentang persiapan dan kematangan emosional, spiritual, dan finansial bagi calon mempelai.
Apakah pernyataan ini benar? Tentunya masih butuh penyelidikan lebih mendalam terkait turunnya angka perceraian yang terdata. Apakah benar ini sebagai bentuk keberhasilan KUA melaksanakan perannya? Ataukah justru terjadi kamuflase data akibat perubahan regulasi Kementerian Agama serta realitas fakta yang tidak transparan mengenai problem ketahanan keluarga yang dianggap momok bagi tingginya angka perceraian di negeri ini.
Kamuflase Data
Gambaran ideal yang ingin dicapai oleh pemerintah adalah keluarga berkualitas. Agar terwujud ketahanan keluarga di tengah-tengah perubahan masyarakat di era modern saat ini. Sebab keluarga adalah wujud entitas terkecil yang ada di masyarakat, terbentuk dari perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, hal ini sulit terwujud. Karena faktanya trend perceraian tiap tahun terus meningkat seperti, di Bandung, Palembang, Sumatera Selatan, Pangkal Pinang, Padang, serta di beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Sehingga data turunnya angka perceraian hanya sebuah data kamuflase semata.
Jadi, data turunnya angka perceraian yang dilaporkan oleh Kemenag dalam laman resminya, tidak dapat menjadi rujukan bahwa problem ketahanan keluarga di masyarakat telah teratasi. Sebab masih terdapat indikasi lain yang menjadi faktor terjadinya manipulasi data.
Di antaranya adalah pemerintah di bawah Kementerian Agama telah membuat regulasi pelarangan usia pernikahan melalui revisi UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Yaitu berupa larangan pernikahan dini dengan melakukan perubahan batasan usia minimal perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun bagi perempuan dan usia 21 tahun bagi laki-laki. Hal ini dianggap telah berhasil menurunkan angka pernikahan dini. Padahal justru telah menyebabkan banyak pernikahan yang tidak terdaftarkan karena dianggap belum memenuhi syarat sementara secara syar’i telah sah.
Kemudian, revisi UU tersebut juga dibuat dengan dalih ketidaksiapan calon mempelai karena belum matang secara emosional, spiritual, dan finansial. Sehingga Kemenag meluncurkan program Bimas berupa Bimbingan Perkawinan (Bimwin) Calon Pengantin yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di setiap Kecamatan. Para remaja usia nikah dan calon pengantin akan dibekali dengan pemahaman awal tentang keluarga dan bimbingan perkawinan calon pengantin.
Harapannya, program ini akan menjadi solusi. Padahal benarkah fenomena tingginya angka perceraian berpangkal dari pernikahan dini akibat ketidaksiapan calon pengantin? Namun, fakta di lapangan, maraknya pernikahan dini bukan karena ketidaksiapan calon mempelai.
Akan tetapi demi menutupi aib semata, karena banyak keluarga yang menikahkan anak mereka di usia dini. Karena sudah terlanjur hamil akibat gaya hidup remaja yang hedonis dan liberal, terpengaruh dari sistem kapitalis-sekuler yang mereka adopsi. Menjadi salah satu faktor, para remaja ini terjerumus pada pergaulan seks bebas (prostitusi, menjadi ani-ani, menjadi sugar baby, dan lain-lain).
Ini berarti bahwa, alasan revisi regulasi UU tentang larangan pernikahan dini, nyatanya tidak dapat menjamin turunnya angka perceraian. Apalagi dijadikan tolok ukur keberhasilan KUA membangun ketahanan keluarga. Karena fakta di lapangan kasus pernikahan dini dan perceraian yang tidak laporkan/ didaftarkan akibat regulasi ini juga masih terbilang tinggi.
Maka, data penurunan angka perceraian hakikatnya tidak dapat dijadikan dasar data untuk memberikan gambaran keberhasilan regulasi dan kinerja lembaga Kementerian Agama dalam rangka menyelesaikan problem tingginya angka perceraian. Hal ini ilusi semata.
Problem Ketahanan Keluarga
Selanjutnya dalam laporannya Kemenag juga menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab trend perceraian adalah lemahnya ketahanan keluarga. Akibat dari perubahan gaya hidup masyarakat yang tidak lagi memandang institusi pernikahan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Secara realitas, masih terus terjadi pasutri yang mengalami berbagai persoalan rumah tangga.
Tidak sedikit keluarga yang akhirnya mengambil jalan pintas. Memilih untuk bercerai dan mengajukan gugatan cerai terhadap pasangannya karena tidak sanggup menjalani pernikahan yang mengalami kondisi kemiskinan dan tekanan ekonomi. Penuh dengan tekanan perselisihan dan pertengkaran yang mendorong terjadinya perselingkuhan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Namun, oleh lembaga KUA tidak diterima gugatannya karena belum memenuhi syarat perceraian. Sehingga akhirnya mereka memilih pisah ranjang, karena problem rumah tangga mereka tidak bisa diselesaikan kecuali hanya dengan perceraian. (Databoks.katadata.co.id, 2023).
Padahal secara syariah Islam, jika terjadi pertentangan dan persengketaan, yang mendorong istri/ suami menuntut perpisahan (perceraian) dengan alasan yang dibenarkan secara syarak. Ketika pihak keluarga sudah melakukan berbagai upaya perdamaian, tapi tidak terjadi kata sepakat antara keduanya. Maka semestinya lembaga KUA, berdasarkan fakta yang sudah diteliti harus memberikan hak talak (perceraian) kepada penggugat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT;
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ، وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Artinya; “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.” (QS An-Nisa’: 35).
Harus dipahami pula oleh semua pihak bahwa data turunnya angka perceraian bukan indikasi telah kuatnya persoalan ketahanan keluarga. Namun, ini disebabkan karena makin mencengkeramnya sistem kehidupan kapitalisme-sekuler yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Ini telah berdampak pada perubahan paradigma kehidupan masyarakat yang menilai ikatan sakral pernikahan serta standar kebahagiaan dalam pernikahan hanya diukur berdasarkan kesuksesan materi. Dalam sistem kapitalis sekuler pernikahan hanya dipandang sebagai sarana untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan di dalam pernikahan pun hanya diukur berdasarkan terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup bersifat materi. Misalnya liburan, rumah mewah, perhiasan, tas branded, handphone mahal, dan sebagainya.
Sehingga ketika standar ini tidak terwujud sesuai dengan harapan. Maka trend perceraian pun menjadi pilihan dan menjadi tragedi bagi institusi lembaga pernikahan. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun kesadaran bagi semua pihak untuk mencabut sistem ini dari urat nadi kehidupan umat Islam.
Umat harus segera dibangkitkan kesadarannya terhadap pentingnya membangun pemahaman bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian yang kuat nan agung tidak hanya antara laki-laki dan perempuan maupun keluarganya saja, tapi juga perjanjian dengan Allah SWT. Sehingga terbentuk ketahanan keluarga yang sempurna berdasarkan ketakwaan individu. Demi meraih tujuan-tujuan fitrah pernikahan agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Firman Allah SWT,
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا
Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS An-Nisa’: 21).
Maka ketika umat memahami hal ini, sesungguhnya seluruh problem perceraian akan dapat diselesaikan hingga tuntas. Dan tentunya hal ini hanya akan terwujud ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi negara Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]