Penyebab Kemiskinan adalah Kapitalisme, Bukan Pernikahan

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini- Pernikahan dianggap sebagai penyebab bertambahnya jumlah kemiskinan. Itulah yang bisa kita tangkap dari pernyataan-pernyataan  Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy di berbagai kesempatan. Terbaru, Muhajir menyampaikannya saat memberi nasihat nikah pada Kegiatan nikah massal yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Barat dan Masjid Raya Muhammadiyah Uswatun Hasanah, Minggu 9 Juni 2024.

“Kita pastikan pernikahan ini jangan menambah keluarga miskin. Tanggung jawab kita tidak hanya menikahkan tapi memastikan mereka tidak menjadi bagian keluarga miskin baru, dan harus menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, seperti yang menjadi komitmen penyelenggara ini,” kata Muhadjir dalam keterangan pers tertulisnya, dikutip Minggu (9-6-2024).

Pada kesempatan lain, pernyataan sama pun terlontar. Muhadjir Effendy mengatakan, rumah tangga miskin Indonesia masih sangat tinggi. Hal itu disebabkan dari sebuah pernikahan. (Jawapos.com, 4-08-2020)

Apa yang dimaksud? Jadi, kata Muhadjir, masih tingginya angka kemiskinan ini disebabkan oleh pernikahan antar keluarga yang kurang mampu. Di mana saat ini, sekitar 76 juta rumah tangga tergolong dalam kategori miskin.

Muhajir pernah mengusulkan kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian. “Mbok disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa; yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin,” ujar dia. Ia pun menyarankan untuk menafsirkan ulang makna sekufu (kafa’ah) untuk menyiasati agar tidak ada yang miskin menikah dengan miskin lagi gara-gara dalil tentang kafa’ah. (cnnindonesia.com, 19-02-202)

Lebih spesifik, Muhajir menyampaikan bahwa pernikahan yang meningkatkan angka kemiskinan adalah pernikahan dini. Dia mengatakan hampir 50% dari pernikahan dini berpeluang menciptakan rumah tangga miskin baru. Karena itu ia meminta semua pihak mencegah pernikahan dini. Sebab, hal itu berpeluang meningkatkan angka kemiskinan. (idxchannel.com, 10-11-2022)

Senada, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri menyampaikan bahwa maraknya perkawinan anak (khususnya di Jawa Timur dengan angka pernikahan anak tertinggi) akan menimbulkan polemik baru yaitu kemiskinan bagi Indonesia. Bahkan hal ini dapat menimbulkan angka kemiskinan ekstrem yang baru.  (Kemenkopmk.go.id, 24-01-2023)

Pernyataan-pernyataan beberapa pihak diatas menunjukan bahwa pernikahan sering dikaitkan atau dianggap penyebab lahirnya keluarga miskin baru, akhirnya menambah angka kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Benarkah demikian?

Kemiskinan Struktural

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencatat angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Padahal, target angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5 – 7,5 persen. Artinya ada 25,90 juta orang miskin di Indonesia. Pemerintah mengklaim jumlah kemiskinan menurun dari tahun sebelumnya. Namun tetap saja, jumlah itu sangat besar. Apalagi angka kemiskinan yang turun itu tidak diiringi dengan turunnya angka ketimpangan atau gini ratio yakni sebesar 0,388.

Secara fakta, bisa jadi di lapangan jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak daripada di data. Kita sendiri mungkin bisa merasakan kehidupan yang makin susah, biaya hidup mahal, harga-harga bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari mahal, penduduk tetap merasakan sulitnya hidup walaupun tidak termasuk kategori miskin dalam data.

Lantas apakah kesulitan hidup alias kemiskinan disebabkan pernikahan? Jika si miskin menikah dengan si miskin bukankah berarti sebelumnya mereka sudah miskin? Bukankah juga kemiskinan yang justru menjadi penyebab banyaknya pernikahan dini? Apa yang menyebabkan mereka miskin bahkan sebelum menikah?

Maka, sebelum dengan gegabah mengaitkan pernikahan dengan kemiskinan, bahkan menyatakan bahwa pernikahan menyebabkan kemiskinan, alangkah bijaknya jika meneliti dengan mendalam apa sebenarnya akar dari kemiskinan yang terjadi di Indonesia?

Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah hal yang niscaya dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Karena sistem kapitalisme menganut kebebasan kepemilikan, mengakibatkan faktor-faktor produksi hanya bisa diakses oleh segelintir orang saja. Sehingga kekayaan akan berputar pada sedikit orang. Karena prinsipnya, berpihak pada kapital (pemilik modal), yang punya modal akan bisa mengumpulkan kekayaan lebih mudah. Sementara yang tidak punya akses terhadap faktor -faktor produksi, karena tidak punya kuasa ataupun modal, maka akan menjadi miskin, bahkan semakin miskin.

Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang membuat suatu masyarakat tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang berada di sekitarnya karena telah dikuasai oleh yang lain, sehingga mereka tetap pada keadaannya itu dalam waktu panjang.

Selain itu, sistem kapitalisme fokus pada tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan rata-rata pendapatan nasional. Artinya, kesejahteraan diukur secara kolektif, bukan per individu. Jelas tidak akan mencerminkan kondisi riil di tengah-tengah masyarakat. Pendapatan satu orang konglomerat bisa setara dengar jutaan pendapatan rakyat biasa.

Peran negara pun dikebiri, hanya menjadi regulator. Bukan menjadi operator yang menjamin teraksesnya semua sumber daya untuk seluruh masyarakat, malah cenderung berpihak kepada pihak kapital. Negara pun gagal melakukan distribusi kekayaan agar bisa dirasakan seluruh rakyat. Akibatnya, rakyat mayoritas hidup dalam kemiskinan bahkan kemiskinan ekstrem.

Inilah akar masalah kemiskinan di negeri ini yang menerapkan sistem kapitalisme. Gagal memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, sebaliknya kemiskinan menjadi niscaya, kemiskinan struktural. Pernikahan sesama rakyat miskin yang kanlah penyebab bertambahnya keluarga miskin baru, melainkan salah satu cabang dari dampak penerapan sistem kapitalisme. Jika pun pernikahan dianggap penyebab, kemudian disiasati dengan pernikahan si kaya dengan si miskin, atau pemberian bantuan lainnya berupa sumbangan atau modal dari berbagai pihak, itu hanya solusi pragmatis, tidak akan menyelesaikan kemiskinan dari akarnya.

Pernikahan dan Solusi Islam Mengentaskan Kemiskinan

Pernikahan adalah syariat agung dari Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya. Tujuan pernikahan adalah bagian dari ibadah untuk melestarikan keturunan umat manusia.

Pernikahan adalah ibadah yang sangat dianjurkan bagi seorang muslim. Di balik anjuran menikah, banyak keutamaan dan hikmah. Seperti keutamaan dapat menyempurnakan separuh agama

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي

Artinya: “Jika seorang hamba menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agama. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang tersisa.” (HR Baihaqi dan at-Thabrani, dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Keutamaan pernikahan juga untuk mendapatkan rasa saling ketentraman, menyalurkan naluri kasih sayang, dan menjaga kehormatan.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)

Jika dikaitkan dengan ekonomi, kemiskinan tidak boleh menjadi penghalang seoramg muslim untuk menikah. Dalam surat An-Nur ayat 32 disebutkan bahwa;

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)

Masalah sekufu (kafa‘ah) dalam pernikahan,  Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam Kitab Nizhamul Ijtima’i bahwa dalam pernikahan, Islam tidak mengenal konsep sekufu. Setiap muslim setara dengan muslim lainnya. Seorang anak tukang sampah layak menikah dengan putri Amirul Mukminin. Yang membedakan setiap muslim hanyalah ketakwaannya. Mengusulkan agar pernikahan tidak perlu sekufu miskin dengan miskin, tapi mendorong si kaya menikah dengan si miskin agar tidak jadi keluarga miskin baru, sekilas seperti benar. Namun, apakah itu bisa menjamin menghilangkan kemiskinan? Itu hanya solusi pragmatis yang dangkal.

Dengan demikian, pernikahan bukanlah penyebab kemiskinan, bukan juga solusi ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan harus diselesaikan dengan strategi-strategi ekonomi yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi.

Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam Khilafah Islam akan mengentaskan kemiskinan secara struktural dan sistemik. Mulai dari pembagian kepemilikan, baik kekayaan milik negara, milik umum dan milik individu. Kekayaan milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu, seperti energi, barang tambang, dan air,  melainkan harus dikelola negara dan dikembalikan kemanfaatannya bagi seluruh rakyat. Dari sini problem akses terhadap faktor produksi bisa terselesaikan dengan adil. Tidak akan ada individu yang mendominasi faktor produksi tertentu yang sejatinya dibutuhkan oleh seluruh masyarakat.

Negara khilafah pun akan menerapkan sejumlah syariat Islam untuk menyelesaikan problem distribusi. Negara berperan sebagai operator yang wajib menjamin setiap individu mendapatkan kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan. Termasuk pendidikan kesehatan dan keamanan semua dijamin negara. Negara harus menjamin setiap individu sejahtera, karena kesejahteraan diukur per individu bukan kolektif.

Kemiskinan diselesaikan melalui mekanisme tidak langsung dan langsung. Mekanisme tidak langsung berupa jaminan pekerjaan bagi setiap laki-laki atau kepala rumah tangga, melarang monopoli, larangan riba, dan sebagainya. Dengan mekanisme ini, rakyat bisa produktif dan bersaing secara adil dalam kegiatan ekonomi. Apalagi, untuk kebutuhan pokok sudah dijamin oleh negara. Mekanisme langsung yakni berupa bantuan dan santunan bagi orang-orang yang memang secara fisik atau qadha, miskin. Dana untuk ini bisa diambil dari pos zakat atau pos negara.

Rakyat yang melangsungkan pernikahan tidak akan khawatir soal ekonomi, apalagi dituduh sebagai penyebab bertambahnya kemiskinan. Negara Khilafah justru akan mendorong para pemuda untuk menikah karena keutamaan pernikahan yang demikian banyak. Demikianlah Islam menempatkan syariat pernikahan secara benar. Islam pun memiliki sistem terbaik untuk mengentaskan kemiskinan.

Wallahu a’lam bishshawab.

[SM/Ln]