Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Beberapa waktu lalu, viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan sejumlah remaja putri membuat candaan soal Palestina di sebuah restoran makanan cepat saji. Dalam video tersebut, terlihat salah satu remaja perempuan memegang tulang ayam goreng sambil bercanda menyebutnya sebagai “tulang anak Palestina”. Sementara salah satu temannya menimpali, sambil mencocol saus, “darah anak Palestina”. Tampak mereka mengatakan hal itu sembari tertawa.
Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta telah mengecam aksi lima orang remaja putri yang melontarkan candaan keji perihal anak-anak Palestina itu. Mereka diminta wajib lapor ke masing-masing sekolahnya setiap hari selama sepekan. Dinas PPAPP (Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk), konselor, dan juga dari Kanwil Kemenkumham, dari Kepolisian, serta Kesbangpol akan melakukan pembinaan kepada anak-anak tersebut selama seminggu di sekolah.
Mirisnya, pelaksana tugas (Plt.) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Budi Awaludin menyebut ejekan terhadap Palestina yang dilontarkan lima orang remaja perempuan sembari menyantap makanan di sebuah restoran cepat saji itu dilakukan tanpa sengaja. (CNN Indonesia, 12-6-2024).
Dan untuk menindaklanjuti video yang terlanjur viral tersebut, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan melibatkan KPAI dan kepolisian untuk mencegah intimidasi fisik terhadap siswi pelajar SMP itu. Menurut Budi Awaludin, pendampingan dan pembinaan kepada lima siswi tersebut karena mereka mendapat perundungan yang cukup besar di media sosial. Mereka juga mendapat perlindungan dari sisi mental oleh KPAI untuk meminimalisasi perundungan dari teman-teman sekolahnya.
Padahal di sisi lain, sebagian masyarakat merasa sedih, marah, kesal, dan miris setelah mendapati viralnya video penghinaan terhadap anak-anak Palestina tersebut. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa kejadian itu menjadi alarm bagi sistem pendidikan negeri ini. Pembentukan karakter yang diharapkan terwujud bagi anak Indonesia, tampaknya butuh dievaluasi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, bahwa candaan terhadap konflik di Palestina yang dilakukan oleh lima anak SMP tersebut, dapat menjadi bahan evaluasi bersama soal pendidikan karakter anak Indonesia selama ini.
Dalam Pelukan Sekularisme Kapitalistik
Sikap kesal, sedih dan marah warga sebenarnya wajar. Perilaku lima remaja putri itu sungguh kelewat batas, minus adab, tak bernurani, dan nirempati. Demi konten viral, apa pun dilakukan meski harus melakukan hal yang tak pantas.
Derita anak-anak Palestina sungguh tidak pantas dijadikan candaan. Apalagi dijadikan konten kontra produktif yang dapat melukai hati masyarakat dan umat Islam. Hal ini tentu akan dapat dipahami oleh siapa pun yang masih punya rasa kemanusiaan dan kepedulian pada sesama.
Dan mirisnya, respons pihak Dinas Pendidikan Jakarta yang mengatakan bahwa lima siswi tersebut tidak bermaksud mengejek atau menghina anak-anak Palestina, mereka hanya bercanda. Namun karena terekam dan diunggah di medsos akhirnya jadi masalah. Pernyataan ini sungguh sangat disayangkan. Karena terkesan ada upaya menormalisasi perbuatan yang nirempati itu dengan dalih bercanda dan tidak sengaja. Padahal tindakan merekam sambil mengolok-olok dan mengunggahnya ke medsos, sesungguhnya adalah bentuk kesengajaan.
Inilah potret generasi nirempati dan miskin kepedulian. Generasi yang cenderung bebas bertindak tanpa kendali. Bahkan mereka tak mampu membedakan, mana perbuatan yang baik dan yang buruk. Hal ini wajar, karena mereka hidup dalam pelukan sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam masyarakat sekuler, agama tidak diberi ruang untuk mengatur perbuatan manusia di semua aspek kehidupannya. Peran agama dibatasi hanya pada ranah ibadah ritual saja, tidak yang lainnya. Maka standar perbuatan baik dan buruk tidak lagi pakai halal haram, tapi bebas menurut akal manusia semata yang disandarkan pada asas manfaat.
Walhasil, sistem pendidikan sekuler seperti ini hanya memproduksi output yang berpikir dan bertindak bebas (liberal) tanpa batasan halal-haram. Adab kian hilang, moral pun kian melayang. Generasi yang terbentuk makin bebas berbuat. Miskin kepedulian dan nirempati. Jauh dari kemuliaan, kian terseret dalam pusaran kerusakan yang diciptakan oleh sekularisme liberal. Jika masyarakat dan pemimpin negeri ini terus abai, kerusakan generasi selanjutnya bisa lebih parah lagi. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Generasi bangsa ini harus segera diselamatkan dengan tatanan sistem Islam.
Peran Penting Keluarga
Bagaimana pun, keluarga memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Generasi yang punya kepedulian dan empati yang besar terhadap orang lain. Apalagi terhadap sesama muslim, maka sudah selayaknya muslim selalu peduli pada saudara seimannya, karena sejatinya muslim itu bersaudara, sebagaimana sabda Nabi saw., “… Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Karenanya ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lainnya…” (HR. Muslim no. 2564).
Bahkan Rasulullah saw. pun mengajarkan umatnya untuk memiliki rasa empati dan kepedulian pada sesama. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Perumpamaan orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam” (HR. Bukhori no. 6011, dan Muslim no. 2586).
Maka penting bagi orang tua dan keluarga untuk menumbuhkan rasa empati dan kepedulian pada anak-anak sejak dini dengan cara:
Pertama, memahamkan pada anak tentang akidah Islam, dengan menguatkan rasa cinta pada Allah dan Rasul-Nya, serta kesiapan untuk taat pada seluruh syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw..
Kedua, mengajarkan pada anak bahwa muslim itu bersaudara bagaikan satu tubuh seperti gambaran hadis di atas. Sesama muslim wajib saling menolong, menyayangi, mendoakan, tidak menzalimi dan menelantarkan, tidak menghina, dan saling memudahkan.
Ketiga, memberikan teladan bagi anak dalam bersikap empati dan peduli pada orang lain, sesama muslim, dan peduli pada urusan umat seluruhnya. Orang tua dapat mengekspresikan sikap empati dan peduli pada anak saat mereka sedang sedih atau menghadapi kesulitan, seraya memotivasi anak untuk segera menemukan jalan keluar dari setiap persoalannya dengan panduan syariat Islam.
Demikian pula jika ada kerabat atau tetangga yang kesulitan, orang tua dapat mengajak anak berkunjung menyampaikan kepedulian, menasihati dan menguatkan kesabaran, bahkan memberikan pertolongan semaksimal kemampuan yang mereka miliki. Harapannya anak akan dapat mencontoh sekaligus belajar bagaimana mengekspresikan empati dan kepedulian pada orang lain.
Keempat, rajin menceritakan kisah sejarah kehidupan dakwah Rasulullah saw. bersama para shahabatnya yang sarat dengan sikap empati, kepedulian, saling menolong, dan sebagainya. Juga keistimewaan kehidupan para Khulafaur Rasyidin dan pemimpin kaum muslimin lainnya yang memiliki empati dan kepedulian luar biasa pada rakyatnya dan urusan umat seluruhnya.
Harapannya, anak makin kaya akan referensi tentang pentingnya sikap empati dan kepedulian dalam kehidupan muslim, terutama bagi para pemimpin umat. Hal itu tentu dapat mempengaruhi pemikiran dan perasaan anak sebagai calon pemimpin umat masa depan yang harus memiliki empati dan kepedulian ekstra tentang seluruh urusan umat.
Kelima, mengajak anak untuk bersama-sama terlibat secara aktif dalam kelompok dakwah Islam ideologis demi membekali diri dengan pemahaman Islam yang dapat membentuk kepribadian Islam, termasuk sikap empati dan kepedulian pada sesama. Lalu aktif mendakwahkan Islam kaffah untuk menghadirkan kembali pemimpin yang amanah dan adil serta sistem Islam kaffah yang akan menjadi penopang utama berlangsungnya kehidupan masyarakat Islam yang mulia.
Di dalam masyarakat Islam seperti itulah akan hadir generasi cerdas, unggul, berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin, penuh empati dan sikap peduli pada sesama dan pada urusan umat.
Keenam, mendahsyatkan doa pada Allah agar dikaruniai anak-anak yang berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin, dan memiliki empati serta kepedulian besar pada urusan umat.
Butuh Support System
Meski demikian, orang tua dan keluarga bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam melahirkan generasi unggul di suatu bangsa. Karena sesungguhnya, ada tiga pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan generasi, yaitu:
Pertama, keluarga sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak. Orang tua wajib mengasuh, mendidik anak-anak dengan asas akidah Islam, mengenalkan anak pada Allah SWT sebagai al-Khalik al-Mudabbir, menumbuhkan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menyiapkan mereka untuk taat pada seluruh syariat Islam. Harapannya, akan terbentuk generasi berakhlak mulia dan berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin, peka, empati, dan memiliki kepedulian pada persoalan umat.
Kedua, masyarakat sebagai pihak yang berperan menghadirkan lingkungan kondusif bagi tumbuh kembang anak serta berjalannya pola pendidikan Islam. Berbagai relasi sosial yang terjadi di lingkungan sekolah, kehidupan bertetangga, bahkan kehidupan masyarakat umumnya harus berjalan dengan interaksi muamalah yang bercorak Islam. Diatur dengan hukum syarak, diiringi dengan kontrol sosial yang dinamis berupa berjalannya amar makruf nahi munkar. Masyarakat yang seperti ini akan terbiasa saling peduli satu sama lain, punya kepekaan dan empati yang baik, dan saling menguatkan dalam menjaga berlangsungnya kehidupan agar tetap on the track pada tatanan syariat.
Ketiga, negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan generasi unggul dan berakhlak mulia. Karena negara memiliki fungsi utama sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan sebagai junnah (pelindung rakyat dari berbagai bahaya dan keburukan). Negaralah yang berkewajiban memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok (berupa sandang, pangan dan papan) pada seluruh individu rakyatnya. Negara juga wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok kolektif, berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya, dengan kualitas terbaik dan gratis.
Dan untuk mewujudkan ini semua, negara pasti mampu asalkan mau. Karena Islam telah memberikan tuntunan sekaligus jaminan tentangnya. Jika negara benar-benar berkomitmen menerapkan sistem ekonomi Islam dan melangsungkan pengelolaan SDA milik umat dengan asas Islam, maka Allah SWT akan berikan kecukupan dan kemampuan bagi negara untuk menjalankan fungsinya sebagai raa’in dan junnah.
Negara juga wajib menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan generasi unggul berkepribadian Islam, berakhlak mulia, berjiwa pemimpin, peka dan memiliki empati serta kepedulian terhadap urusan masyarakat. Negara juga berwenang memberikan sanksi pada siapa pun yang melakukan tindak kriminal, maksiat, atau merugikan kepentingan umum, serta membahayakan rakyat lainnya, seperti tindakan penyebaran konten negatif yang kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat dan kualitas generasi bangsa.
Namun negara juga berkewajiban mengedukasi rakyatnya dengan pemikiran Islam yang tinggi, unggul dan mulia, demi mewujudkan masyarakat yang cerdas dan paham syariat, penuh ketenangan dan produktif dalam amal. Negara harus banyak melakukan sosialisasi dan arahan (taujih) tentang hal-hal yang dapat menguatkan karakter rakyatnya yang berkepribadian Islam, yang telah dibentuk dalam keluarga dan kurikulum sistem pendidikan yang berlaku. Negara juga harus membersihkan media massa dan media sosial dari berbagai konten buruk, kontra produktif, berbahaya, dan tidak sesuai standar syariat, demi menjaga bagusnya kualitas generasi yang terbentuk, dan sebagainya.
Intinya, negaralah pihak yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan generasi unggul yang berkepribadian Islam. Tanggung jawab agung dan mulia itu, dapat diwujudkan dengan adanya kehendak dan komitmen kuat negara untuk menghadirkan support system terbaik bagi rakyatnya. Yaitu dengan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan bernegaranya.
Oleh karena itu perlu adanya perjuangan dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ah]