Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini – Lagi, sebuah ormas perempuan Islam tampak diarahkan dan dimanfaatkan potensinya untuk mengaruskan dan menggerakkan feminisme. Padahal feminisme adalah pemikiran rusak yang tidak lahir dari rahim akidah Islam.
Diberitakan bahwa beberapa waktu lalu, salah satu organisasi terbesar di Indonesia, menyelenggarakan Konferensi Global Hak Perempuan di salah satu universitas swasta di Yogyakarta pada 14-16 Mei 2024. Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 1000 peserta dari berbagai negara di dunia tersebut bertemakan “Menjadikan Indonesia Pusat Studi Keislaman Ramah Perempuan”.
Konferensi itu menjadi salah satu bentuk komitmen mereka dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender di era modern. Konferensi tersebut juga diklaim menjadi wadah bagi para akademisi, aktivis, dan pemuka agama untuk bertukar ide dan pengalaman dalam mempromosikan hak-hak perempuan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Ada enam isu yang dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu perempuan dan kepemimpinan, perempuan dan ekonomi, perempuan dan pendidikan, perempuan dan kesehatan, perempuan dan perdamaian, serta perempuan dan budaya. Salah satu fokus utama konferensi itu adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat studi keislaman ramah perempuan.
Dan ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu mengembangkan studi Islam yang berperspektif gender, mempromosikan pemahaman Islam yang ramah perempuan, serta membangun jaringan akademisi dan aktivis yang bergerak di bidang-bidang perempuan. Di samping untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, konferensi tersebut juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi dan solusi konkret untuk memajukan hak-hak perempuan di Indonesia dan di seluruh dunia. Benarkah demikian?
Buah Busuk Kapitalisme
Tak dapat dimungkiri, begitu banyak persoalan yang menimpa negeri ini. Sebut saja tingginya perceraian, kemiskinan, pengangguran, kian mahalnya biaya hidup, kekerasan dan kriminalitas, stunting, tingginya angka kematian ibu dan anak, kekerasan seksual dan sebagainya. Semua persoalan itu memang sangat dekat dengan perempuan dan anak.
Dalam perspektif feminisme gender, karena problem itu banyak menimpa kaum perempuan, maka penyelesaiannya membutuhkan peran nyata kaum perempuan dalam politik kekuasaan, serta keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan (legislasi). Para pengusung ide feminisme gender mengklaim bahwa makin inklusif perempuan ke dalam parlemen atau keputusan politik tingkat tinggi, akan sangat bermanfaat bagi perempuan dan bisa mengentaskan perempuan dari segala persoalan.
Namun sejatinya, berbagai persoalan perempuan dan anak itu, termasuk problem terampasnya hak-hak perempuan, adalah bagian tak terpisahkan dari problem sosial masyarakat seluruhnya. Masalah ini harus dilihat secara holistik, tidak hanya bertumpu pada perempuan yang menurut klaim feminisme gender selalu menjadi obyek diskriminasi dan pihak yang dirugikan.
Patut direnungkan, bahwa negeri ini pernah dipimpin oleh seorang perempuan. Namun nyatanya di masa kepemimpinannya tersebut, kasus-kasus yang menimpa perempuan, seperti perkosaan, pelecehan seksual, KDRT, tingginya angka kematian ibu dan anak, stunting dan sebagainya tidak juga selesai. Dan di era Ketua DPR RI-nya perempuan pun demikian. Meski lembaga legislator tertinggi di negeri ini sudah di tangan seorang perempuan, namun faktanya kondisi perempuannya tidak sepi dari persoalan. Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, kemiskinan perempuan dan anak masih tinggi, dan sebagainya.
Jadi, seruan solusi feminisme gender yang mengklaim bahwa perempuan harus menjadi subjek dalam politik kekuasaan, posisi kepemimpinan nasional dan jabatan publik, serta terlibat langsung dalam proses legislasi, adalah salah total. Karena sejatinya bukan itu problemnya.
Problem yang menimpa perempuan dan anak, adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler demokrasi liberal, yang mencampakkan halal-haram dalam interaksi masyarakat, dan menihilkan peran agama dalam mengelola negara. Walhasil, rakyat jauh dari kondisi sejahtera, baik laki-laki dan perempuan. Artinya, yang mengalami problem sosial tersebut bukan terbatas pada perempuan saja, tapi laki-laki pun terdampak oleh berbagai kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler demokrasi liberal di negeri ini.
Solusi Salah Arah
Harus disadari, bahwa penataan kehidupan masyarakat di negeri ini bercorak bebas ala kapitalisme sekuler. Agama tidak punya peran dalam interaksi masyarakat. Standar halal-haram tidak lagi dipakai, diganti dengan asas manfaat sesuai timbangan akal manusia. Wajar jika kehidupan masyarakatnya penuh dengan problem. Sementara kehidupan bernegaranya pun dikelola oleh para pemimpin yang tidak amanah, dan mencampakkan syariat sebagai panduan sahih dalam bernegara. Penguasanya absen dari fungsinya sebagai raa’in dan junnah.
Pun masyarakatnya hidup dalam kesenjangan sosial akibat distribusi kekayaan yang tidak merata, dan terjadinya salah kelola terhadap SDA yang berlimpah. Kekayaan alam strategis negeri ini justru dikuasai oleh swasta asing dan aseng. Bahkan dilegalkan oleh peraturan yang ditetapkan oleh sistem demokrasi negeri ini atas nama investasi.
Berpijak pada fakta masyarakat sekuler yang sakit, yang diwarnai oleh ketidakadilan dan diskriminasi kaum perempuan, gerakan feminisme gender lalu menetapkan fokus gerakannya pada menjadikan perempuan berdaya, mandiri dan setara dengan laki-laki. Perempuan dipandang harus bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki, baik secara finansial maupun nonfinansial.
Itulah solusi salah arah yang diambil oleh pengusung feminisme gender. Alih-alih menghentikan ketidakadilan dan penderitaan kaum perempuan yang terzalimi, solusi yang ditetapkan justru menambah masalah baru dan mencerabut fitrah perempuan sebagai ibu, manajer rumah suaminya serta pencetak generasi unggul calon pemimpin bangsa dan peradaban dunia.
Lihatlah bagaimana perempuan didorong untuk keluar dari area domestiknya, demi karier dan mengejar materi (uang). Asumsinya, perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang akan menjadikan perempuan itu lebih diperhitungkan, tidak mudah didiskriminasi, dan dinilai lebih mulia. Meski faktanya perempuan dipaksa juga untuk bersaing dengan laki-laki di dunia kerja yang keras.
Tidak cukup itu, perempuan juga didorong untuk meraih posisi kepemimpinan politik dan kekuasaan. Kaum feminis gender berasumsi, jika perempuan yang memegang kekuasan penentu kebijakan, mereka akan mampu membela kepentingan perempuan, mengembalikan hak-haknya, serta menelurkan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sehingga dapat mengeluarkan perempuan dari berbagai problem yang menimpanya.
Namun faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Karena ketika perempuan harus berkarier, mereka dipaksa untuk meninggalkan anak-anaknya di rumah bersama pembantu, baby sitter, bahkan di tempat penitipan anak. Meski dalam beberapa kasus, anak diasuh oleh neneknya, tetap saja tidak akan mampu menggantikan peran ibu seutuhnya dalam mendidik anak-anaknya. Terlebih kondisi fisik sang nenek memang tidak didisain oleh Sang Pencipta untuk mengasuh dan mendidik cucunya yang masih kecil. Akibat dari kondisi ini, muncullah anak-anak “bermasalah” dan “lapar” pengasuhan. Akhirnya, para ibu dan perempuan lagi yang dipersalahkan. Malang nian, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Dengan kata lain, tuntutan perempuan untuk berkarier dan berpolitik praktis bahkan dalam kepemimpinan politik dan jabatan publik ala feminisme gender ini, justru menyimpan bahaya bagi perempuan itu sendiri, bagi keluarga dan masa depan generasi bangsa. Karena meniscayakan tidak maksimalnya perempuan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab utamanya sebagai ibu, manajer rumah tangga, pendidik anak-anaknya, dan pencetak generasi calon pemimpin peradaban. Apalagi jika ditambah dengan terbatasnya kemampuan perempuan dalam manajemen rumah tangga, menjadikan perempuan cenderung meninggalkan peran strategisnya itu. Ketahanan keluarga pun terancam dan berpotensi berantakan. Tentu ini tidak boleh terjadi.
Setelah jelas tentang kerusakan dan bahaya ide pemberdayaan perempuan ala feminisme gender bagi negeri ini, maka seharusnya bangsa ini segera bangkit meninggalkan jebakan seruan perjuangan yang salah arah itu. Terlebih tokoh umat, parpol Islam dan ormas Islam, tidak boleh terseret pada jebakan propaganda perjuangan feminisme gender yang fasad. Bangsa ini harus segera kembali memperhitungkan solusi Islam.
Islam Solusi Sempurna
Maka, jika ingin menyudahi berbagai problem masyarakatnya, negeri ini harus segera mengakhiri penerapan sistem kapitalisme sekuler liberal demokrasi yang menjadi biang kerok semua problem bangsanya. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Sudah sepantasnya negeri ini segera mencampakkan kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak, lalu kembali pada Islam kaffah. Para tokoh umat, parpol dan ormas Islam pun tidak boleh terseret pada jebakan salah arah perjuangan feminisme gender yang sekuler. Tidak boleh membiarkan potensi umat dibajak oleh kekuatan sekulerisme kapitalistik.
Terlebih dalam sistem Islam, laki-laki dan perempuan sebagai rakyat, wajib dilindungi dan disejahterakan. Dalam Islam, tidak ada konsep yang menyatakan bahwa perempuan akan mulia, sejahtera dan terlindungi hanya jika dipimpin oleh perempuan juga, seperti yang dikhayalkan oleh pegiat feminisme gender.
Meski khalifah sebagai kepala negara dalam sistem Islam haruslah laki-laki, namun khalifah wajib terikat pada hukum syarak dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) di tengah-tengah rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Khalifah wajib melayani mereka dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi, hingga benar-benar sejahtera.
Meskipun perempuan haram menjadi pemimpin di pemerintahan, namun Islam membolehkan perempuan berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan sepanjang dilakukan sesuai hukum syarak. Bahkan Islam mewajibkan perempuan terlibat dalam aktivitas politik, berupa amal dakwah Islam ideologis dalam rangka meninggikan Islam, ikut memikirkan pengaturan urusan rakyat, dan melangsungkan kembali kehidupan masyarakat Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw.. Islam juga membolehkan perempuan untuk memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam), dan memberikan masukan terhadap kebijakan penguasa terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum perempuan.
Jadi, dalam khilafah, perempuan tidak sekadar diambil suaranya lalu dibajak untuk kepentingan penjajah dan kaki tangannya. Perempuan juga tidak dieksploitasi problemnya demi memuluskan target politik pragmatisnya para politisi petualang demokrasi. Karena dalam Khilafah, meskipun kepala negara dan pemimpin politik tertingginya adalah laki-laki, suara kaum perempuan benar-benar didengar, dipenuhi hak-haknya, dijamin kesejahteraannya, dilindungi kehormatannya, dimuliakan, dibela, serta disupport oleh negara dalam menyempurnakan peran strategisnya sebagai ibu, pengelola rumah suaminya, serta pencetak generasi calon pemimpin bangsa dan pembangun peradaban. Artinya, Khilafah akan menjamin kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil, sebagai rakyat, tanpa pembedaan dan diskriminasi, sesuai tuntunan syariat.
Dengan demikian, untuk mengatasi berbagai persoalan perempuan dan masyarakat, yang dibutuhkan adalah kemauan kuat dan kemampuan pemimpinnya secara politik untuk segera menyelesaikan problem hidup rakyatnya itu secara sahih sesuai tuntunan syariat Islam kaffah. Bukan tentang ada atau tidaknya perempuan di posisi kepemimpinan dan legislasi. Dan pemimpin yang mau serta mampu melakukan itu hanya ada dalam sistem kepemimpinan Islam.
Oleh karena itu butuh adanya perjuangan dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]