Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini – Pergantian tahun baru hijriah pada 1 Muharram, kerap kali dikaitkan dengan tradisi malam 1 Suro yang dalam adat Jawa dianggap sebagai perkara yang dikeramatkan. Padahal realitasnya tidak demikian. Pergantian tahun hijriah yang diawali dengan bulan Muharram, mengingatkan pada peristiwa agung hijrah Rasulullah Muhammad saw. ke Madinah (Yastrib saat itu). Hijrah yang dilakukan untuk memimpin sebuah Daulah Islam, sebagai institusi penerap syariat Islam kaffah. Inilah tonggak cikal bakal tegaknya sistem Khilafah. Dengan kata lain, 1 Muharram adalah tonggak lahirnya peradaban Islam yang agung dan mulia.
Sementara malam 1 Suro yang dikeramatkan menurut adat Jawa, sesungguhnya berkaitan dengan sejarah Sultan Agung sebagai raja Mataram saat itu, yang ingin meluaskan ajaran Islam di tanah Jawa. Maka, Sultan Agung memadukan penanggalan Jawa yang didasarkan pada kalender Saka warisan Hindu, dengan penanggalan hijriah. Sehingga awal penanggalan Jawa 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriah. Dan ini dijadikan pedoman waktu bagi umat muslim di Jawa. Oleh karenanya, masyarakat Jawa beranggapan bahwa bulan Suro atau Muharram adalah bulan paling agung dan mulia, sebagai bulan milik Allah SWT.
Mitos Bulan Suro
Di masyarakat, masih ada kekeliruan pandangan terhadap bulan Muharram. Sebagian masyarakat masih menganggap bulan Muharram adalah bulan Suro yang keramat, sehingga ada beberapa hal yang dianggap tabu untuk dilakukan di bulan tersebut. Seperti larangan keluar rumah di malam 1 Suro, tidak boleh berbicara atau berisik selama berlangsungnya ritual Mubeng Benteng dan Tapa Bisu di keraton Yogyakarta, tidak boleh (pamali) mengadakan pesta atau hajatan, seperti pernikahan dan sunatan, dilarang pindahan rumah atau membangun rumah, atau adanya ruwatan bagi orang-orang tertentu, dan sebagainya.
Namun sejatinya semua itu hanyalah mitos belaka. Meski pelaksanaan pantangan-pantangan tersebut disinyalir untuk memuliakan Allah, Rasul dan agama, namun pelaksanaannya berkembang menjadi mitos yang dikait-kaitkan dengan kesialan dan hal gaib. Dan hal itu sama sekali tidak ada pijakannya dalam syariat Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw. Artinya hal itu sekedar tradisi yang penuh mitos dan khurafat. Ini jelas bertentangan dengan tuntunan Islam dalam memandang bulan Muharram.
Dalam pandangan Islam, bulan Suro atau Muharram adalah satu dari empat bulan haram (mulia), sebagaimana penjelasan Allah SWT dalam firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat tersebut” (QS At-Taubah: 36)
Merusak Akidah
Ironinya, mitos malam Suro tampaknya terus dibiarkan. Pelaksanaan berbagai ritual keramat malam 1 Suro di beberapa daerah bahkan cenderung dipelihara atas nama kearifan budaya lokal. Hal ini seolah menjadi wajar, akibat kehidupan masyarakat yang sekuleristik, yang meminggirkan peran agama dari kehidupan publik dan negara. Halal haram tidak lagi dijadikan asas kehidupan, tergeser oleh asas manfaat sebagai standar perbuatan dan kebijakan.
Maka terjadilah pembiaran perayaan yang penuh mitos atas nama pelestarian tradisi nenek moyang, kearifan budaya lokal, atau kepentingan pariwisata daerah yang diklaim dapat menaikkan ekonomi rakyat. Padahal itu sangat berbahaya bagi akidah umat, karena di dalamnya ada mitos dan khurafat yang dikait-kaitkan dengan keberuntungan, kesialan dan perkara gaib yang penuh dengan kesyirikan. Harusnya ini tidak boleh dibiarkan. Tradisi perayaannya harusnya dilarang karena berbahaya bagi akidah. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Idealnya, masyarakat negeri ini hidup dengan tatanan syariat Islam.
Di samping itu perayaan tradisi malam 1 Suro yang penuh mitos tersebut, dapat mengaburkan pandangan dan pemahaman umat tentang hakikat bulan Muharram terkait peristiwa agung hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah dalam rangka membangun masyarakat Islam sebagai tonggak lahirnya peradaban Islam yang mulia dan istimewa dalam memimpin dunia.
Muharram, Tonggak Peradaban Islam
Muharram identik dengan peristiwa agung hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah. Dan hijrah tersebut tidak bisa dilepaskan dari proses dakwah Rasulullah saw. sejak di Makkah hingga ke Madinah. Dakwah Rasulullah saw. tersebut bukanlah semata dakwah individu Beliau saw. Namun dakwah politik hingga berwujud dakwah pada level negara (daulah) berupa terbentuknya masyarakat Islam pertama di Madinah dalam pengaturan (riayah) Daulah Islamiyah. Saat itu, Rasulullah saw. adalah kepala negaranya. Dan daulah tersebut ditegakkan semata-mata untuk menerapkan syariat Islam kaffah guna mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.
Dengan hijrah tersebut, terjadi perubahan mendasar pada perjalanan dakwah Rasulullah saw. serta kehidupan kaum muslimin secara keseluruhannya. Hijrah yang benar-benar menjadi pemisah antara kekufuran dan keimanan, antara kegelapan dan cahaya iman, antara kebenaran dan kebatilan, serta antara kejahiliyahan dan kehidupan Islam yang mulia dan penuh berkah. Karenanya, hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah tersebut, sejatinya sebagai wujud transformasi masyarakat secara sosial politik, dari masyarakat jahiliyah yang kufur menjadi masyarakat istimewa dan mulia dengan Islam dalam naungan sistem Islam kaffah. Dengan kata lain, hijrah Rasulullah saw menjadi tonggak peradaban Islam berupa tegaknya Daulah Islam.
Spirit hijrah inilah yang harusnya dihadirkan kembali. Spirit hijrah yang dapat mendorong perubahan sejati hingga terwujud kebangkitan Islam hakiki, sebagaimana yang pernah diraih oleh umat Islam pada masa lalu dalam kehidupan peradaban Islam yang tinggi dan mulia.
Hijrah Hakiki, Hanya dengan Islam
Memasuki Tahun Baru Islam 1446 H, penguasa negeri ini menyampaikan ajakan untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Sebuah ajakan baik, yang memang selayaknya diserukan oleh seorang pemimpin negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Karena sebagai pemimpin muslim, dia bertanggung jawab memastikan seluruh rakyatnya hidup sejahtera serta selamat dunia dan akhirat.
Tentu semua berharap, seruan itu bukan sekedar slogan semata. Karena kerap kali yang terjadi, seruan kebaikan tidak sejalan dengan implementasinya. Sementara makna iman dan takwa itu, sejatinya harus tampak dalam perilaku rakyat dan penguasanya, berupa kesiapan untuk taat pada seluruh perintah Allah SWT. Tunduk patuh pada seluruh ketentuan syariat Islam di semua bidang kehidupan, baik di level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. Keimanan dan takwa inilah yang menjadi jaminan hadirnya keberkahan hidup masyarakat dan negara, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)
Namun melihat kondisi saat ini, tanda-tanda keberkahan itu tampak kian jauh dari kehidupan kita. Hampir semua aspek kehidupan negeri ini dipenuhi dengan berbagai problem yang tak kunjung selesai, akibat penerapan sistem hidup kapitalisme demokrasi liberal yang sekuler. Secara prinsip, akidah sekularisme memang mengabaikan peran agama dalam penataan kehidupan masyarakat dan negara. Ia jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam, karena memang tidak berasal dari wahyu Allah SWT. Sekularisme inilah, yang menjadi sumber lahirnya sistem hidup yang zalim dan merusak di dunia, termasuk negeri ini.
Dan kapitalisme sekuler ini, sungguh telah menciptakan berbagai kerusakan, kezaliman dan kesengsaraan hidup secara nyata. Lihatlah, kehidupan politik demokrasi sekuleristik yang transaksional, kian menyuburkan lahirnya politisi yang oportunis dan korup. Sementara tatanan ekonomi kapitalistik liberal, kian meluaskan jalan bagi masifnya perampokan SDA milik rakyat, yang dilegalkan oleh UU atas nama kerja sama dan investasi. Hasilnya, pengusaha dan kaum oligarki yang diuntungkan, sementara rakyat kian terseret dalam pusaran kemiskinan sistemik yang zalim.
Sistem sosial dan pergaulan yang hedon dan liberal di negeri ini pun, terus memproduksi kemaksiyatan yang tampak dibiarkan atas nama HAM. Sistem pendidikan yang terus dikapitalisasi dan mahal, makin sulit dijangkau oleh rakyat dengan penghasilan pas-pasan. Kurikulumnya yang makin merdeka, nyatanya hanya mencetak output pendidikan yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan industri milik kapitalis pemodal semata. Sementara para sarjananya, cenderung sangat mudah terbajak kapasitas intelektualnya, untuk mengokohkan hegemoni penjajahan kapitalisme global di semua aspek.
Sedangkan di level lebih kecil, ketahanan keluarga-keluarga kian rapuh. Banyaknya tagihan biaya kehidupan yang harus dibayar, harga kebutuhan pokok yang makin mahal, kemiskinan dan pengangguran, berpadu dengan pemahaman Islam yang minim, telah memicu terjadinya KDRT dan percekcokan yang berakhir dengan perceraian. Dan masih banyak lagi persoalan lain yang menimpa negeri ini. Semua problem tersebut tentu tidak boleh dibiarkan lebih lama lagi. Negeri ini harus segera menemukan solusinya. Negeri ini butuh hijrah, berubah dari kondisi yang buruk dan menghadirkan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan penuh berkah.
Oleh karena itu, negeri ini harus segera melakukan perubahan hakiki. Negeri ini harus segera mencampakkan sistem kapitalisme sekuler demokrasi yang fasad dan merusak. Dan sudah sepantasnya, negeri muslim ini segera hijrah melakukan perubahan sistemik dengan mengadopsi sistem Islam, lalu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat dan negara. Untuk itu, butuh dan wajib adanya aktivitas dakwah Islam kaffah yang diperjuangkan secara politis dan terarah, oleh partai politik Islam ideologis. Demi melanjutkan kehidupan Islam kembali, mewujudkan masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, hingga terwujud sebuah peradaban Islam mulia dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]