Pernikahan Membuka Pintu Rezeki (Tafsir QS An-Nur Ayat 32)

Oleh: Kartinah Taheer

Suaramubalighah.com, Telaah Qur’an – Pernikahan adalah salah satu syariat Allah. Menikah merupakan suatu ibadah yang sangat agung. Dengan menikah seseorang telah menyempurnakan sebagian agamanya. Karena itu bagi siapa saja yang telah mampu disunahkan untuk segera menikah. Bahkan Rasulullah melarang tabattul ataumembujang, meski derajat larangannya tidak sampai pada keharaman.

Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS An-Nuur: 32)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan,

{وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ}

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian”.(An-Nur: 32)

sampai akhir ayat.

Hal ini merupakan perintah untuk menikah. Segolongan ulama berpendapat bahwa setiap orang yang mampu menikah  diwajibkan melakukannya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis Nabi saw.,

“يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”

“Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung biaya pernikahan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya. (HR Bukhari-Muslim)

Di dalam Kitab Sunan telah disebutkan hadis berikut melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

“تَزَوَّجوا، تَوَالَدُوا، تَنَاسَلُوا، فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”  وَفِي رِوَايَةٍ: “حَتَّى بِالسِّقْطِ”.

“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang subur peranakannya, niscaya kalian mempunyai keturunan; karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan (banyaknya) kalian terhadap umat-umat lain kelak di hari kiamat”

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32), hingga akhir ayat.

Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ini mengandung anjuran kepada mereka untuk menikah. Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak untuk menikah, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan kecukupan. Untuk itu Allah SWT berfirman: 

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nur: 32)

Ibnu katsir juga menjelaskan bahwa telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Abu Bakar As-Siddiq ra. pernah mengatakan, “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kalian dalam hal nikah, niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian apa yang telah Dia janjikan kepada kalian, yaitu kecukupan.” Allah SWT telah berfirman: 

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nur: 32)

Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia pernah mengatakan, “Carilah kecukupan dalam nikah, karena Allah SWT telah berfirman: ‘Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya’ (An-Nur: 32)”

Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui Umar. Telah diriwayatkan dari Al-Lais, dari Muhammad Ibnu Ajian, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

“ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنهم: النَّاكِحُ يُرِيدُ الْعَفَافَ، والمكاتَب يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ”

“Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari Allah, yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak mukatab yang bertekad melunasinya, dan orang yang berperang di jalan Allah”. (HR imam Ahmad, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah)

Nabi saw. pernah mengawinkan lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain sehelai kain sarung yang dikenakannya dan tidak mampu membayar mas kawin cincin dari besi sekalipun. Tetapi walaupun demikian, beliau mengawinkannya dengan seorang wanita dan menjadikan mas kawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya Al-Qur’an yang telah dihafalnya. Berkat kemurahan dari Allah SWT  dan belas kasih-Nya, pada akhirnya Allah memberinya rezeki yang dapat mencukupi kehidupan dia dan istrinya.

Terkait ayat ini juga Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,

التمسوا الغنى في النكاح، وتلا هذه الآية.

”Carilah kecukupan dengan menikah.” Kemudian beliau pun membacakan ayat ini. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 12: 241)

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,

وهذا وعد بالغنى للمتزوجين طلب رضا الله واعتصاما من معاصيه

”Janji ini hanya ditujukan kepada orang yang hendak menikah untuk mendulang rida Allah dan melindungi diri dari maksiat.”  (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 12: 241)

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,

عجبي ممن لا يطلب الغنى في النكاح، وقد قال الله تعالى: إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله.

”Aku heran terhadap orang yang tidak mencari kekayaan lewat pernikahan. Padahal Allah telah berfirman yang artinya,’Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karunia-Nya’.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 12: 241)

Dari penjelasan para mufasir, jelaslah bahwa dengan menikah Allah menjanjikan berlapangnya rezeki. Hanya saja janji Allah ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum syariat yang lain, yakni penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara. Sistem ekonomi Islam memberi jaminan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan mendasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) setiap warga negara. Dengan mekanisme anggaran negara berbasis baitul mal, pengaturan kepemilikan individu, umum dan negara, serta jaminan distribusi harta yang adil tidak terkumpul pada segelintir orang.

Ada banyak kebaikan dalam pernikahan, selain tujuannya adalah melestarikan jenis dan Rasulullah bangga dengan jumlah umat Islam yang banyak, pernikahan pun menjadikan seseorang merasa tentram jiwanya karena terpenuhi fitrahnya sebagai manusia. Karena itu ada seperangkat hukum terkait pernikahan dan aturan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Ada hak dan kewajiban suami istri, yang tatkala ini terpenuhi terciptalah sakinah mawaddah warrahmah.

Islam mewajibkan kaum laki-laki bekerja untuk mencari nafkah. Negara memberi kemudahan akses lapangan kerja dan juga modal jika dibutuhkan. Bisa pinjaman tanpa bunga atau bahkan cuma-cuma atau gratis. Yang demikian itu karena fungsi seorang kepala negara yakni imam atau khalifah adalah raa’in yakni mengurusi urusan rakyat. Khalifah bertanggung jawab penuh terhadap urusan rakyat. Jika urusan nafkah ini tidak bisa dipenuhi oleh suami karena ada cacat fisik sehingga tidak mampu bekerja maka nafkah beralih pada wali, jika walinya tidak mampu maka tanggung jawab akan diambil alih oleh negara. Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan mereka yang lemah secara fisik tidak memiliki kemampuan.

Sehingga jelaslah bahwa pernikahan itu tidak menambah angka kemiskinan, justru sebaliknya Allah menjanjikan membuka pintu rezeki bagi siapa saja yang menikah. Jika hari ini faktanya angka kemiskinan bertambah maka sama sekali tidak berkorelasi dengan angka pernikahan.


Kemiskinan yang terjadi di negeri ini sejatinya adalah karena penerapan ekonomi kapitalisme yang membebaskan kepemilikan harta bagi siapapun, dengan cara apapun. Sumber daya alam yang seharusnya milik umum dan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat justru diberikan pada individu atau swasta, walhasil harta terkumpul pada sekelompok orang saja. Begitu pula sarana prasarana yang menguasai hajat hidup publik dikuasai swasta sehingga rakyat harus membayar mahal sementara keuntungan mengalir pada sekelompok orang tertentu.

Wajar dalam sistem ekonomi kapitalis liberal tercipta kesenjangan yang fahis atau keji antara si kaya dan si miskin. Tidak ada pengaturan kepemilikan sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam. Begitu pula terkait distribusi harta dikembalikan pada kemampuan masing-masing, sehingga orang yang lemah tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena tidak memiliki harta. Sementara negara yang seharusnya meriayah rakyat dan menjamin kebutuhan asasi mereka berlepas tangan dari tanggung jawabnya. Walhasil kemiskinan  tidak akan pernah terselesaikan dalam penerapan ekonomi yang bertentangan dengan syariat Islam. Wallahu ‘alam.