Oleh : Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Sebuah negara yang bervisi, pastilah akan memberikan perhatian besar pada generasinya. Karena anak-anak yang ada saat ini adalah generasi penerus bangsa di masa depan. Dan sebagai bangsa yang memiliki wilayah luas serta jumlah penduduk yang cukup banyak, Indonesia pun tengah mencoba menata visinya di masa depan. Hal itu dapat kita perhatikan dari Visi Indonesia Emas 2045.
Visi Indonesia Emas 2045 adalah gagasan pemerintah RI yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan diresmikan oleh Presiden RI pada 9 Mei 2019. Visi tersebut telah ditetapkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun.
Dengan visi ini, pemerintah menargetkan pada usia Indonesia yang ke-100 di tahun 2045, Indonesia akan menjadi bangsa yang berdaulat, progresif, adil, dan makmur, dan memiliki kekuatan ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia. Dan untuk target besar itu, tentu negeri ini membutuhkan sumber daya manusia yang unggul, yang diistilahkan dengan generasi emas.
Generasi Emas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “generasi” berarti angkatan, turunan, dan orang-orang yang hidup di era atau masa yang sama. Sedangkan “emas” berarti sesuatu yang bermutu tinggi, bernilai dan berharga. Sedangkan menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Bapak Muhajir Effendy, bahwa generasi emas adalah generasi yang memiliki integritas dan karakter baik, kompetensi tinggi, mudah beradaptasi dengan perubahan, dan mampu menggunakan kemajuan teknologi digital. Mereka juga harus memiliki kecerdasan komprehensif untuk bisa bekerja produktif, inovatif, dapat berinteraksi sosial dengan baik, serta berperadaban unggul.
Realitas saat ini, Indonesia tengah menghadapi masa transisi menuju era bonus demografi. Bonus demografi (demographic dividend) adalah suatu kondisi yang digambarkan dengan banyaknya populasi usia produktif pada rentang usia 15-64 tahun. Bahkan jumlah populasi usia produktif tersebut akan mendominasi usia tidak produktif. Menurut sejumlah sumber, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada 2030-2040. Dan bonus demografi di negeri ini disebut-sebut sebagai modal penting bagi terwujudnya Visi Indonesia Emas 2045.
Oleh karenanya, pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke-40 pada 23 Juli 2024 ini, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/Kemen PPPA, pemerintah menetapkan tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Ada enam sub tema yang diusung, yaitu Anak Cerdas Berinternet Sehat, Suara Anak Membangun Bangsa, Pancasila di Hati Anak Indonesia, Dare To Lead And Speak Up (Anak Pelopor dan Pelapor), Digital Parenting, dan Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak dan Stunting.
HAN dan Potret Buram Anak
Meski dikatakan bahwa tujuan peringatan HAN kali ini adalah sebagai bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak, serta momentum penting untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi banyak pihak dalam menjamin hak anak. Seperti hak hidup, hak tumbuh kembang, hak berpartisipasi wajar dalam pembangunan, serta hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan ini sangat wajar, mengingat anak adalah aset berharga bangsa.
Namun realitas yang ada masih menampilkan potret buram anak dan generasi negeri ini. Kehidupan generasi dan anak, masih diliputi oleh berbagai problem yang makin kompleks. Mulai dari persoalan korban kekerasan, tingginya stunting, akses pendidikan anak yang belum merata, pekerja anak, kemiskinan dan rumah tidak layak, layanan kesehatan dan pengasuhan yang tidak layak, anak terlibat dalam masalah hukum seperti narkoba, kekerasan, bullying, hingga kasus penyalahgunaan ruang digital seperti game kekerasan, judi online dan sebagainya.
Kemenkes RI di laman resminya kemenkes.go.id melaporkan bahwa stunting anak di negeri ini pada 2023 sebanyak 21,5% dan pada 2024 naik menjadi 24.4%. Sedangkan angka putus sekolah tahun ajaran 2022/2023 di berbagai tingkat pendidikan sebanyak 76.834 anak (goodstas.id), dan ada 25 juta anak usia 7-12 tahun tidak sekolah. Sementara Kementerian PPA mencatat kasus kekerasan terhadap anak pada 2023 yang dilaporkan sejumlah 24.158 kasus, dan yang paling banyak adalah kekerasan seksual mencapai 10.932 kasus. (katadata.co.id.). Kemiskinan Anak tercatat 26.16 juta atau sekitar 9,59% dari total penduduk. Ditambah lagi berbagai perilaku buruk anak yang liberal yang menjadikan sejumlah anak justru menjadi pelaku bullying dan kekerasan, terlibat narkoba, miras bahkan pergaulan bebas, dan sebagainya. Bahkan terakhir, viral berita tentang 80 ribu anak usia di bawah 10 tahun yang terlibat judi on line, atau sebesar 2% dari total pemain judol yang terdata. Dan ini semua baru sebagian contoh saja yang menggambarkan potret buram generasi negeri ini. Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi.
Buah Kapitalisme Sekuler
Sebelumnya, memang ada beberapa upaya yang dijalankan untuk mengatasi problem anak dan generasi negeri ini, antara lain melalui program peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak, penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus (akibat korban kekerasan atau bullying), merintis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), inisiasi dan dorongan mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dan Negara Ramah Anak, penetapan UU Perlindungan Anak. No. 35/2014, dan sebagainya.
Tapi realitasnya semua itu belum berhasil menuntaskan problem anak dan generasi negeri ini. Meski peringatan HAN telah dilakukan sebanyak 40 kali, namun kondisi anak di negeri ini masih jauh dari sejahtera, jauh dari jaminan keamanan, jauh dari gambaran pribadi bertakwa, bahkan jauh dari karakter generasi emas seperti yang diharapkan. Artinya, negeri ini masih punya PR besar untuk mewujudkan karakter generasi emas guna menopang Visi Indonesia Emas 2045.
Belum tuntasnya problem anak dan generasi di negeri ini adalah buah dari penerapan sistem hidup kapitalisme sekuler yang terus dipaksakan di negeri ini. Sistem hidup yang mengabaikan peran agama dalam menata kehidupan masyarakat dan bernegaranya. Padahal negeri ini mayoritas penduduknya muslim, tapi Islam sama sekali tidak diberi ruang untuk menata hidup masyarakat. Sistem kapitalisme sekuler ini sangat mengagungkan kebebasan (liberal), dan selalu mengajak untuk jauh dari ketakwaan, tidak peduli pada halal haram, dan tidak lagi punya rasa takut akan hisab dari Allah SWT di akhirat kelak. Wajar jika akhirnya melahirkan manusia yang zalim terhadap generasi dan rakyatnya.
Minimnya mafhum agama, juga menjadikan banyak orang tua yang mengabaikan hak-hak anaknya bahkan tega melakukan kekerasan anak. Apalagi sistem pendidikan yang dijalankan selama ini kental dengan corak sekularisme yang mengabaikan asas akidah Islam dalam penyusunan kurikulumnya. Walhasil, output pendidikan yang ada sekedar pintar secara iptek tapi minim pemahaman agama. Wajar jika banyak orang tua di negeri ini tidak paham kewajiban dan peran strategisnya sebagai pendidik anak dan pencetak generasi emas calon pemimpin bangsa. Anak-anak didik yang dihasilkan pun umumnya berpikir dan bersikap ala sekuler, cenderung bebas dan minim adab.
Terlebih lagi, banyak para ibu yang terpaksa harus bekerja di luar rumah guna menopang ekonomi keluarga, yang menjadikannya abai pada pengasuhan dan pendidikan anak mereka. Para ayah pun harus bekerja keras hingga tidak memiliki cukup waktu membersamai anak mereka. Akhirnya banyak kasus fatherless dan anak-anak yang lapar pengasuhan (parenting hunger). Itu semua tersebab oleh kemiskinan sistemik yang lahir dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Sistem yang menjadikan SDA dan kekayaan negeri tidak terdistribusi merata, akibat salah kelola yang telah berlangsung lama. Berlimpahnya SDA negeri sama sekali tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat dan generasi. Perampokan SDA negeri ini tampak dibiarkan karena memang dilegalkan oleh UU atas nama investasi. Maka, jika mau segera menuntaskan problem anak dan generasinya, negeri ini harus segera meninggalkan sistem hidup kapitalisme sekuleristik, dan segera mengadopsi sistem Islam yang memiliki aturan detil dan sempurna tentang seluruh aspek kehidupan termasuk tentang anak dan generasi.
Solusi Islam
Sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang sempurna dan istimewa, Islam telah menjelaskan secara rinci tentang persoalan anak dan generasi. Dalam Islam, anak adalah karunia sekaligus amanah bagi orang tuanya. Namun anak juga aset penting bagi bangsanya dan umat Islam. Dan problem yang menimpa anak tidak terpisah dengan problem pandanganyang tengah dihadapi oleh rakyat seluruhnya. Maka menyelesaikan problem anak perlu melibatkan semua pihak, baik orang tua, masyarakat, sekolah, dan negera.
Dan dari semua pihak, negara lah yang paling bertanggung jawab bagi tuntasnya problem anak dan generasi. Karena memang dalam pandangan Islam, negara wajib hadir menjalankan dua tugas utamanya, yaitu sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Sebagai raa’in, negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok asasi setiap individu rakyatnya, baik sandang, pangan dan papan. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok kolektif seluruh rakyatnya, berupa jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis dan kualitas terbaik. Dan sebagai junnah, negara wajib memastikan seluruh rakyat dan generasinya selamat dunia akhirat, serta aman dari semua ancaman yang membahayakan fisik, akal, dan agamanya.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga yang mampu, sehingga mereka dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga dan hak anaknya. Negara juga wajib menjamin sistem pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis, serta melakukan edukasi kesehatan, mengendalikan produksi serta peredaran makanan dan minuman agar selalu sehat, halal dan thayyib. Dengan ini, negara dapat menjamin lahirnya generasi yang sehat dan jauh dari stunting atau problem kesehatan anak lainnya.
Negara wajib memastikan setiap orang tua dan keluarga mampu mengasuh dan mendidik anaknya dengan Islam hingga lahir generasi yang berkepribadian Islam, bukan berkepribadian sekuler. Karenanya, negara pun wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam demi mengokohkan pendidikan yang telah ditanamkan di keluarga, dengan pelayanan pendidikan yang dapat diakses oleh semua rakyatnya secara gratis dengan kualitas terbaik.
Negara juga wajib mendidik rakyatnya agar dapat memahami syariat Islam secara total, baik melalui edukasi yang ditetapkan dalam kurikulum pendidikan, serta edukasi produktif dan terarah melalui berbagai sarana media penerangan. Ini penting bagi kokohnya mafhum Islam kaffah seluruh rakyat, dan memunculkan kesadaran politik rakyat hingga memiliki kepedulian yang baik pada urusan umat serta dinamisnya kontrol sosial berupa aktifitas amar makruf nahi munkar. Di samping itu, negara wajib mengendalikan sistem penerangan secara ketat dan mengelolanya sesuai syariat Islam yang menjamin seluruh konten media yang ada selalu ramah anak, mendidik dan mencerdaskan, tidak mengandung konten pornografi, kekerasan yang merusak dan berbahaya, dan tidak bertentangan dengan hukum syarak.
Inilah support system yang harus diwujudkan oleh negara demi terwujudnya generasi emas yang unggul, berkepribadian Islam, sehat, tangguh dan mulia, yang dapat menopang terwujudnya visi besar negeri ini untuk menjadi negara yang maju dan berpengaruh. Dibutuhkan kehendak politik yang kuat untuk mengadopsi Islam sebagai asas dalam menata kehidupan masyarakat dan negara, hingga mampu melahirkan generasi emas yang hebat. Generasi istimewa yang mampu membangun bangsa yang maju dan siap memimpin peradaban dunia dengan Islam kaffah. Untuk itu dibutuhkan aktivitas dakwah politik yang dijalankan oleh partai politik Islam ideologis secara terarah, menuju hadirnya pemimpin yang amanah dan sistem yang sahih untuk menerapkan Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. [SM/Ln]