Oleh: Ummu Fahri
Suaramubalighah.com, Opini – Klaim kontroversial dari Mama Ghufron mengenai video call dengan malaikat maut telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan menjadi viral di media sosial. Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera merespons dengan melakukan pengkajian terhadap ajaran yang disampaikan oleh Mama Ghufron untuk menjaga akidah umat dari pengaruh yang menyesatkan.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis PhD, menyatakan kekhawatirannya bahwa pernyataan-pernyataan Mama Gufron tersebut tidak berdasar dan dapat menyesatkan masyarakat. MUI melalui Komisi Pengkajian dan Penelitian berupaya untuk mengundang Mama Ghufron guna dimintai keterangan dan melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap ajarannya. Namun, rupanya Mama Ghufron mangkir dari undangan tersebut. (mui.or.id, 09/07/2024)
Polemik kegaduhan yang ditimbulkan oleh Mama Gufron menambah panjang daftar penyesatan akidah umat Islam di tengah masyarakat, jika dibiarkan peristiwa semacam ini akan terus berulang tanpa henti. Kejadian ini tidak hanya menjadi sorotan publik tetapi juga menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam karena ajaran yang disampaikan dianggap sesat dan tidak sesuai dengan akidah Islam yang benar.
Ketidakhadiran Mama Ghufron dalam undangan MUI pun telah menimbulkan framing bahwa seolah-olah ia tidak memiliki masalah dengan MUI. Di sisi lain MUI Kabupaten Malang berusaha mencari penyelesaian agar berita di media sosial terhindar dari pemahaman keagamaan yang salah. Bahkan MUI berkomitmen untuk membina Mama Ghufron dalam memahami ajaran yang benar dan mempertimbangkan penyelesaian melalui jalur hukum jika diperlukan. (mui.or.id , 09/07/2024)
Namun, mangkirnya Mama Ghufron dari undangan MUI Malang justru menambah kompleksitas masalah ini dan memperkuat kesan bahwa ia tidak menganggap serius upaya MUI. Selain itu banyak pihak menilai lambatnya respon dari MUI dan pemerintah dalam menangani kasus ini, meskipun MUI telah mengambil langkah-langkah untuk mengkaji ajaran Mama Ghufron.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang peran dan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga akidah umat dari ajaran-ajaran yang menyesatkan. Padahal pemerintah diharapkan dapat bertindak lebih tegas dan cepat tanggap untuk mencegah penyebaran pemahaman sesat dan meresahkan masyarakat.
Perspektif Liberalisme
Sosok Mama Ghufron, alias Muhammad Abdul Ghufron pengasuh Pondok Pesantren UNIQ di Malang, menarik perhatian publik dengan ceramah-ceramah nyelenehnya. Ia mengklaim bisa berbicara dengan cacing dan semut, mengubah air biasa menjadi air zam-zam, serta melakukan video call dengan malaikat maut dan menerima tanda tangan kontrak dari Rasulullah. Fenomena tersebut menunjukkan hal yang melampaui batas rasionalitas ilmiah dan ajaran Islam. Dari sudut pandang liberalisme, yang menekankan kebebasan individu untuk berpikir dan berkeyakinan, klaim-klaim ini bisa dianggap sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi.
Liberalisme menjamin setiap individu memiliki hak untuk mengemukakan pendapat, ide, dan keyakinan tanpa takut akan penindasan atau pembatasan. Dalam konteks kebebasan berekspresi, seseorang bisa memiliki pengetahuan luas tentang berbagai isu, termasuk agama, namun kadang tidak selalu mengamalkannya dalam kehidupannya. Kebebasan berekspresi tanpa diiringi dengan tanggung jawab dan pengamalan nilai-nilai kebenaran bisa berujung pada kesesatan.
Namun, kondisi ini jelas-jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional atau ilmiah, yang berpotensi menyebarkan informasi yang salah. Oleh karena itu, meskipun kebebasan berkeyakinan dan berpendapat dijunjung tinggi bermuara dari liberalisme, klaim-klaim seperti yang dibuat oleh Mama Ghufron harus ditelaah dengan hati-hati dalam konteks rasionalitas dan maupun dalam segi dalil syarak sebab akan berdampak terhadap masyarakat luas.
Dalam kasus kontroversi Mama Ghufron, fatwa dari MUI berperan penting dalam memberikan panduan dan menjaga akidah umat dari ajaran yang menyimpang. Meskipun fatwa tidak mengikat secara hukum, pengaruhnya yang kuat dapat membantu umat Islam memahami isu tersebut dengan lebih jelas dan benar.
Namun begitu fatwa saja tidak cukup untuk menindak tegas ajaran yang menyimpang. Diperlukan kolaborasi yang kuat antara MUI dan pemerintah untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang jelas dapat diambil untuk mencegah penyebaran ajaran yang menyesatkan. Langkah ini bisa termasuk tindakan hukum terhadap individu yang menyebarkan ajaran yang menyesatkan dan meresahkan masyarakat.
Solusi Islam
Ulama sû’ merupakan contoh orang yang memiliki pengetahuan tetapi memilih mengikuti hawa nafsu. Pada konteks kebebasan berekspresi, ulama atau intelektual yang tidak mengamalkan ilmu mereka bisa menggunakan kebebasan mereka untuk mempengaruhi orang lain secara negatif, apalagi jelas-jelas terbukti menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Ibnu Taimiyah, pernah berkata “Inilah keadaan orang yang tidak mengamalkan ilmunya dan malah mengikuti hawa nafsunya. Itu adalah bentuk kesesatan.”
Sebagaimana beliau mengutip QS Al-A’raf ayat 146,
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَٰتِىَ ٱلَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَإِن يَرَوْا۟ كُلَّ ءَايَةٍ لَّا يُؤْمِنُوا۟ بِهَا وَإِن يَرَوْا۟ سَبِيلَ ٱلرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِن يَرَوْا۟ سَبِيلَ ٱلْغَىِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَكَانُوا۟ عَنْهَا غَٰفِلِينَ
Artinya: Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
Itulah mengapa kasus pemahaman sesat kerap terjadi dan terus berulang. Hal ini karena asas sekuler liberalisme telah mengakar dan mendarah daging termasuk pada para ulama su’. Semua ini hanya bisa diselesaikan jika negara menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan penerapan tersebut, negara akan berfungsi secara optimal sebagai pelindung umat dari ancaman akidah yang rusak. Kehidupan umat pun akan selalu diliputi ketenangan dalam beribadah. Allahu a’lam bishshawab . [SM/Ln]