Oleh: Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini – Indonesia saat ini sedang memasuki fase aging population atau masyarakat yang menua, yakni proporsi usia lanjut (lansia) yang semakin meningkat. Kementerian Kesehatan RI melaporkan peningkatan signifikan populasi lansia dari semula 10,48 persen menjadi 11,75 persen di 2023. Atau sekitar 29 juta penduduk Indonesia adalah warga lansia. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 20% pada tahun 2045 atau sekitar 50 Juta penduduk.
Berdasarkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suatu negara dikatakan berada di fase aging population saat persentase penduduk lansia melebihi 10 persen. Artinya, satu dari 10 orang di Indonesia adalah lansia. Artinya masyarakat kita mulai menua. Dulu, diagramnya terlihat seperti piramida, dari yang tertua paling sedikit, hingga termuda paling banyak. Sekarang sudah mulai bergeser menjadi seperti vas bunga/piramida terbalik. (health.detik.com, 12-07-24)
Aging population dianggap akan berdampak pada beberapa hal, seperti penurunan jumlah angkatan kerja yang akan berpengaruh pada produktivitas lalu pada pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini pun diprediksi akan menurunkan tingkat kesejahteraan akibat adanya sandwich generation. Apalagi lansia di Indonesia banyak yang mengalami masalah kesehatan kronis 8-11 tahun sebelum meninggal. Belum lagi masalah sosial yang ditunjukan dengan banyaknya lansia yang terbengkalai, hidup sendiri tanpa perlindungan keluarga secara psikis maupun finansial.
Dengan kondisi demikian negara dihadapkan pada tantangan yang serius untuk menyiapkan sistem pensiun, perawatan kesehatan dan sistem ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dari kelompok usia tua ini. Karena yang paling dibutuhkan oleh penduduk senior adalah sistem perlindungan sosial dan jaminan kesehatan.
Buah Kebijakan Kapitalistik
Kondisi aging population tidak hanya terjadi di Indonesia saja tapi juga terjadi hampir di semua negara. Dari World Population Prospects 2024, membahas secara mendalam perkiraan populasi untuk 237 negara atau wilayah puncak populasi dunia diperkirakan akan terjadi lebih awal dan terjadi penurunan angka kelahiran yang cukup signifikan.
Terjadinya kondisi aging population tidak terlepas dari berbagai kebijakan negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Di antaranya; kebijakan negara yang disebut dengan perencanaan keluarga (family planning). Yakni kebijakan yang diambil untuk dua tujuan besar, mengatur tingkat kelahiran dan mendesain struktur demografi. Hal ini dianggap akan berpengaruh kepada kemajuan ekonomi suatu negara.
China misalnya menerapkan peraturan keluarga berencana pada 1970-an dan pada 1980 “kebijakan satu anak” yang terkenal diberlakukan. Kebijakan itu bahkan menetapkan hukuman brutal bagi pelanggar. Mulai dari aborsi paksa, sterilisasi hingga denda dan penurunan pangkat di tempat kerja.
Hasilnya angka kelahiran China tahun 1970 yang mencapai 5,7 turun ke angka 2,3 pada tahun 1990. Sejak itu, perekonomian China berkembang secara ajaib dan menjadikan negeri ini salah satu eksportir terbesar di dunia. Namun, sekarang China dihadapkan pada aging population, krisis usia produktif. Angka kelahiran di China pada tahun 2021 hanya 1,16. Kini proporsi lansia di China mencapai 20 persen (290 juta lansia).
Selain pembatasan jumlah kelahiran, aging population juga disebabkan gaya hidup liberal kapitalistik. Gaya hidup yang mendewakan materi membuat manusia lebih fokus mencari kesenangan materi, karir, akhirnya urusan pernikahan terpinggirkan. Banyak yang menikah di usia tua atau bahkan tidak menikah sama sekali, ditambah ada pembatasan usia pernikahan. Gaya hidup liberal membuat urusan pemenuhan syahwat pun bisa dengan mudah dipenuhi tanpa harus ada ikatan pernikahan. Hal ini membuat orang enggan menikah.
Hal ini terjadi di Jepang. Sebuah survei yang dilakukan oleh National Institute of Population and Social Security Research pada tahun 2022 menyatakan, hampir seperlima pria dan sekitar 15% wanita Jepang menyatakan ketidaktertarikannya pada pernikahan. Jumlah ini merupakan yang tertinggi sejak 1982. Hasilnya, kini Jepang mengalami ancaman populasi, Proporsi usia 60+ di Jepang mencapai 36 persen (40 juta lansia).
Di sisi lain kehidupan ekonomi semakin sulit biaya hidup semakin tinggi, membuat orang enggan menikah karena dianggap akan menambah beban hidup. Muncul pula gaya hidup childfree, menikah tapi berkomitmen untuk tidak memiliki anak (childfree). Dengan berbagai alasan, mulai dari kesiapan mental, finansial atau masalah kesehatan. Muncul pula gaya hidup childfree, menikah tapi berkomitmen untuk tidak memiliki anak (childfree). Dengan berbagai alasan, mulai dari kesiapan mental, finansial atau masalah kesehatan.
Di Indonesia misalnya, fenomena childfree semakin meningkat selama 4 tahun terakhir. Dilansir dari Kompas.com (8-3-24) “Menurut hasil Susenas 2022, persentase perempuan childfree di Indonesia saat ini sekitar 8 persen, hampir setara dengan 71.000 orang,” bunyi kajian DATAin BPS. Itu berarti, sekitar 8 orang diketahui memilih hidup childfree diantara 100 perempuan usia produktif yang pernah kawin, namun belum pernah memiliki anak serta tidak sedang menggunakan alat KB. Jika kondisi ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan sulit menghadapi aging population dan berakhir dalam krisis populasi seperti yang terjadi di China dan Jepang.
Solusi Tambal Sulam
Menyikapi isu aging population tersebut, terdapat beberapa komitmen global yang dibuat, antara lain; Resolution World Health Assembly (WHA) 69.3 tahun 2016, Regional Strategy for Healthy Ageing, dan Response to Aging Societies and Dementia yang merupakan salah satu isu yang dibahas di G20. Namun, itu hanya fokus pada peningkatan kualitas hidup dan kesehatan para lansia. Asumsinya, jika tidak bisa meningkatkan angka kelahiran, maka bagaimana caranya membuat populasi tetap sehat dan bisa bekerja lebih lama. Hal ini tentu akan menjadi beban bagi para lansia, yang idealnya di usia senja menikmati ketenangan malah dipaksa untuk tetap produktif.
Solusi lain, banyak negara yang menyiapkan berbagai insentif agar mendorong rakyatnya meningkatkan angka kelahiran. Saat ini, orang tua di Korea yang memiliki anak menerima bantuan yang jumlahnya berkisar antara 35 juta won (Rp412 juta) hingga 50 juta won (Rp589 juta) melalui berbagai program insentif dan dukungan sejak lahir hingga anak mencapai usia 7 tahun. Korea Selatan sedang menjajaki pemberian insentif untuk setiap bayi yang baru lahir. Jika aturan baru disepakati, setiap bayi yang baru lahir akan diberikan 100 juta won atau sekitar Rp1,1 miliar. (Cnbcindonesia.com, 24-4-2024). Namun, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, Jung Chang-lyul, mengatakan, insentif tunai sama sekali tidak akan mendorong angka kelahiran.
Solusi lainnya adalah dengan mengatur arus migrasi. Negara-negara yang mengalami aging population mau tidak mau harus membuka arus imigrasi untuk mengatasi kekurangan usia produktif. Seperti yang dilakukan di Jepang. Jumlah warga negara asing yang tinggal di Jepang mencapai rekor 2,99 juta, meningkat 10,7 persen dari tahun sebelumnya, peningkatan terbesar dari tahun ke tahun sejak kementerian mulai melacak data satu dekade lalu. Hal ini bukan tanpa resiko, jika tingkat imigrasi semakin tinggi, mungkin produktivitas ekonomi bisa berjalan, namun eksistensi warga asli jelas terancam.
Solusi-solusi di atas belum bisa dipastikan bisa menyelesaikan krisis pada kondisi aging population, kecuali hanya tambal sulam. Karena semua berpangkal dari cara pandang hidup manusia tentang arti kelahiran, pentingnya keberadaan manusia. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekular, memisahkan agama dari kehidupan, tidak memaknai manusia kecuali sifatnya sebagai materi dan untuk mengejar kepentingan materi. Upaya penanggulangan aging population, peningkatan kelahiran sejatinya hanya demi kepentingan materi atau kaitannya dengan kepentingan ekonomi negara. Hal ini bisa terlihat dari kebijakan memaksakan para lansia untuk tetap produktif secara ekonomi. Artinya, sistem kapitalisme menganggap manusia hanya sebagai penggerak ekonomi dengan produktivitasnya.
(Lanjut ke ‘Kapitalisme Penyebab Aging Population bagian 2′)
[SM/Ln]