Ada Apa Di Balik Kontroversi Penghapusan Sunat Perempuan?

  • Opini

Oleh: Ummu Fahri

Suaramubalighah.com, Opini – Pemerintah Indonesia resmi melarang sunat perempuan melalui PP Nomor 28 Tahun 2024, mengikuti anjuran WHO yang menyatakan praktik ini tidak bermanfaat dan berisiko bagi kesehatan. Keputusan ini memicu kontroversi, dengan tuduhan bahwa larangan tersebut tak lebih untuk menyerang syariat Islam daripada demi kesehatan perempuan.

PP Kesehatan 2024 bertujuan  untuk mendukung ketahanan sistem reproduksi anak-anak. Meski sebelumnya Kementerian Kesehatan telah mencabut aturan yang memperbolehkan sunat perempuan melalui Permenkes Nomor 6 tahun 2014, pedoman eksplisit mengenai penghapusan sunat perempuan baru ditegaskan dalam PP Nomor 28 tahun 2024. (cnnindonesia.com, 30-07-2024).

Kebijakan ini diambil sesuai dengan  resolusi WHA61.16 yang dikeluarkan WHO pada 2008 yang mengamanatkan penghapusan Female Genital Mutilation (FGM). Bahwa sunat perempuan tidak memberikan manfaat medis dan malah berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi, perdarahan, dan bahkan kematian. Sehingga hal ini sejalan dengan upaya global WHO untuk melindungi kesehatan dan keselamatan perempuan. (who.int, 5-2-2024).

Kontroversi Kaum Feminis vs Islam

Female Genital Mutilation (FGM) adalah praktik pengangkatan sebagian atau seluruh genital perempuan tanpa alasan medis. Meski banyak upaya edukasi dilakukan, FGM tetap dipraktikkan di beberapa komunitas di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, dengan alasan budaya, sosial, dan agama. WHO dan aktivis hak perempuan mengecam praktik ini, karena merampas hak asasi perempuan dan menimbulkan dampak fisik serta psikologis yang serius. Meskipun di Indonesia ada dukungan dari MUI, namun aktivis feminisme maupun kaum liberalis banyak yang menentang praktik ini karena dianggap melanggar hak perempuan atas tubuhnya. Inilah yang mencetuskan Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia, yang diperingati setiap 6 Februari. (beautynesia.id, 12-3-2022).

Dari sudut pandang liberalisme, praktik sunat perempuan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang melanggar kebebasan individu, terutama hak perempuan dan anak perempuan atas integritas tubuh mereka. Liberalisme menentang praktik ini karena tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan gender yang mendalam tetapi juga karena alasan kesehatan, dimana menyebabkan komplikasi serius tanpa manfaat medis. Sebagai pendukung kebebasan dan hak individu, kaum feminis-liberal menyerukan penghapusan sunat perempuan dan mendorong pemerintah untuk melarang serta menghapus praktik ini secara global.

Kontras dengan Islam, berdasarkan Fatwa MUI No. 9A Tahun 2008 yang menolak larangan khitan bagi perempuan. Fatwa ini menyatakan bahwa khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk dalam fitrah dan syiar Islam. Khitan bagi perempuan dianggap sebagai makrumah (kemuliaan) dan dianjurkan sebagai ibadah.

Sebagaimana, Rasullah saw. bersabda:

إذا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Jika bekas khitan laki-laki menyentuh bekas khitan perempuan, maka telah wajib mandi.” (HR Muslim dari Aisyah ra.).

Dalam Islam, terdapat panduan khusus untuk khitan perempuan yang menekankan agar prosedurnya dilakukan dengan hati-hati tanpa berlebihan. Praktik khitan ini lebih banyak diterapkan pada anak kecil, tidak ditemukan literasi secara khusus untuk perempuan dewasa. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang hukum sunat bagi perempuan, namun tidak ada satu ulama pun yang melarang (mengharamkan) sunat perempuan.

Hal ini berbeda dengan fakta yang ditemukan WHO yang menyakiti perempuan, sehingga menjadi kontroversi di tengah masyarakat, terutama dari aspek hak asasi manusia dan kesehatan. Adapun larangan terhadap sunat perempuan merupakan bentuk serangan terhadap syariat Islam dan kebijakan tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Jika hal ini dibiarkan,  niscaya akan semakin membuka keran islamofobia, yang berujung pada meniscayakan adanya pelarangan hukum syariat Islam yang lainnya.

Pemikiran Sekuler yang Merusak

Menelisik pada kebijakan ini, WHO dan organisasi internasional lainnya berusaha untuk memperkuat pengaruh mereka dengan menetapkan standar kesehatan dan hak asasi manusia yang harus diikuti oleh semua negara. Ini dapat dinilai dari gencarnya upaya mereka untuk menghapus sunat perempuan yang tertuang pada kebijakan Kemenkes terbaru, sebagai bentuk imperialisme budaya–dimana norma-norma Barat dipaksakan kepada masyarakat muslim.

Pemikiran liberalisme berakar pada sekularisme, yang memisahkan agama dari ranah publik dan undang-undang. Dalam konteks ini, praktik sunat perempuan yang didasarkan pada syariat Islam dipandang sebagai sesuatu yang harus dihilangkan dari praktik sosial.

Selain itu, liberalisme juga mengusung relativisme budaya, dimana norma-norma atau praktik-praktik tertentu tidak boleh dipaksakan atas individu yang tidak menyetujuinya karena menganggap sebagai hak dan kebebasan individu.

Dengan demikian kebijakan larangan sunat perempuan dapat memicu stigma terhadap syariat Islam di kalangan masyarakat yang belum memahami konteks dan nuansa dari ajaran tersebut. Bagi sebagian orang, hal ini bisa dianggap sebagai bukti bahwa syariat Islam memuat aturan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan modernitas.

Padahal pelarangan sunat perempuan dapat menimbulkan resistensi dan berpotensi membuat praktik ini terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan cara yang tidak aman. Sebaliknya masyarakat harus diberi pemahaman dengan informasi yang benar terkait teknis sunat perempuan yang sesuai syariat dan harus dilakukan dengan batasan yang sangat jelas. Kemudian meningkatkan standar medis daripada melarangnya. Selain itu sunat perempuan seharusnya hanya dilakukan di fasilitas kesehatan yang memenuhi standar kebersihan dan keamanan yang tinggi, dengan pengawasan yang ketat oleh tenaga kesehatan yang terlatih.

Alih-alih melarang praktik sunat perempuan, seharusnya penguasa dapat membuat regulasi yang mengatur praktik ini. Misalnya, hanya tenaga medis yang terlatih dan bersertifikat yang diizinkan untuk melakukan prosedur ini. Serta menetapkan standar operasional yang ketat untuk praktik sunat perempuan, termasuk batasan usia dan prosedur yang harus diikuti. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan praktik tersebut dilakukan dengan cara yang aman dan tidak melanggar syariat.

Pemahaman Islam Kaffah

Islam juga mengatur hak individu yakni dengan terikat pada syariat Islam. Hak individu dalam Islam sangatlah komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan yang menjamin martabat, kesejahteraan, dan kebebasan setiap manusia. Islam mengajarkan bahwa hak-hak ini harus dihormati oleh semua, baik individu maupun pemerintah, dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab sosial. Hak-hak tersebut dirancang untuk memastikan bahwa setiap orang dapat menjalani kehidupan yang bermartabat, aman, dan sejahtera, dalam kerangka nilai-nilai Islam yang luhur.

Semua itu hanya dapat dilakukan jika penerapan Islam dilakukan dalam setiap aspek kehidupan. Yakni dengan memaknai syariat islam tidak setengah-setengah melainkan secara menyeluruh. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2]: 208 ini,

يَا اَيُّهَا الَّذِينَ اَمَنُوا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كآفَّةً.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah.”

Termasuk dalam hal ini memaknai sunat perempuan sebagai bagian dari syariat Islam yang harus ditaati, bukan untuk diperselisihkan. Karena Allah SWT lebih mengetahui kemaslahatan bagi perempuan.

Allahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]