Pengaturan Rumah Ibadah dalam Sistem Khilafah

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab –
Tanya:
Baru-baru ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan perubahan signifikan dalam aturan pendirian rumah ibadah di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam proses perizinan pendirian rumah ibadah secara mudah. Bagaimana sistem Islam memberikan panduan terkait pendirian dan pengaturan rumah ibadah?
(Ummu Fathma)

Jawab:
Secara historis realitas warga negara dalam negara Islam (Khilafah) adalah majemuk atau heterogen, bukan negara yang homogen. Ketika negara Islam berdiri pertama kali di Madinah, saat Rasulullah ﷺ bertindak sebagai kepala negara waktu itu, warga negaranya juga majemuk. Di sana ada umat Islam, Nasrani, Yahudi, dan lain-lain. Seperti itu pula dengan kehidupan pada era kekhilafahan setelahnya. Islam begitu brilian dalam mengatur masyarakat yang heterogen (pluralitas).

Semua warga negara Islam atau Khilafah yang non-muslim disebut sebagai dzimmi. Islam menganggap semua orang yang tinggal di negara Khilafah sebagai warga negara Khilafah. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Negara khilafah harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta benda semua warganya, muslim maupun non-muslim.

Perlakuan negara Khilafah terhadap warga negara non-muslim, secara umum dijelaskan oleh Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani di dalam Kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah sebagai berikut:
Pertama, seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim.
Kedua, non-muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya.
Ketiga, memberlakukan non-muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.
Keempat, urusan pernikahan dan perceraian antar non-muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.
Kelima, dalam bidang publik, seperti muamalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga negara, baik muslim maupun non-muslim.
Keenam, setiap warga negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat negara, sehingga negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun non-muslim.

Dari sini, dipahami bahwa negara Khilafah, meski dibangun berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi negara Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada warga non-muslim untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Mereka dibiarkan memeluk keyakinannya dan tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam. Mereka mendapatkan perlindungan itu karena dzimmah yang diberikan oleh negara kepada mereka.

Jaminan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ (Tidak ada paksaan dalam memeluk [agama] Islam) (TQS Al-Baqarah [02]: 256). Nabi ﷺ juga bersabda, “Man kana ‘ala Yahudiyyatihi au Nashraniyyatihi fainnahu la yuftannu” (Siapa saja yang tetap dengan keyahudiannya atau kenasraniannya, maka tidak akan dihasut [untuk meninggalkan agamanya]).

Meski warga negara Khilafah yang non-muslim diberi hak untuk memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian, nikah, dan talak menurut agama mereka, hanya saja, mereka tidak boleh mengajak atau mempengaruhi orang Islam untuk mengikuti agama dan keyakinan mereka, termasuk tidak akan menampakkan syiar dan perayaan agama mereka di kehidupan publik, kecuali di rumah, gereja, atau komunitas mereka saja. Mereka tidak akan membunyikan lonceng ataupun memakai atribut agama mereka di kehidupan publik, termasuk mereka tidak akan mendirikan rumah ibadah di mana saja, kecuali di komunitas mereka saja. Hal ini dalam rangka penjagaan akidah warga negara Khilafah yang muslim oleh negara.

Para ulama fikih telah sepakat bahwa ahlu dzimmah berhak menjalankan syiar-syiar agama mereka. Mereka tidak dilarang untuk menjalankan aktivitas tersebut selama mereka tidak menampakkan secara terang-terangan. Bila mereka ingin menjalankan syiar-syiar agama mereka secara terang-terangan, seperti mengeluarkan tanda salib mereka, maka para ulama fikih melarang mereka melakukan hal tersebut di daerah-daerah Islam, dan tidak melarang mereka untuk melakukannya di daerah dan perkampungan mereka.

Untuk kebutuhan peribadatan warga negara Khilafah yang non-muslim ini, Khilafah akan mengizinkan pembangunan rumah ibadah mereka sesuai kebutuhan, misal Abdul Aziz bin Marwan, saudara dari Khalifah ketiga Bani Umayah, Abdul Malik bin Marwan (646-705 M), saat menjadi wali (gubernur) di Mesir mengizinkan pembantunya untuk mendirikan gereja di Halwan, sebuah kota di Mesir (Arnold, 1985: 105). Masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) juga dilakukan pembangunan gereja untuk para tawanan selama perang melawan Byzantium sebagai sarana peribadatan mereka. Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) pernah memberikan izin pembangunan gereja di Kota Basrah, Irak. Penerus Al-Rasyid, Khalifah Al-Makmun (813-833) memberikan izin kepada kedua pembantu istananya yang Kristiani untuk membangun gereja di Al-Muqattan, sebuah bukit dekat Kairo, dan di Burah, sebuah kota lainnya di Mesir. Di masanya juga, Timothius, seorang Patriarch Nestoria mendirikan sebuah gereja di Takrit dan sebuah biara di Baghdad.

Adapun rumah ibadah non-muslim yang dibangun di kehidupan publik di luar komunitas pemeluknya, atau rumah ibadah non-muslim yang tidak dibutuhkan, ataupun sudah tidak difungsikan, negara tidak membiarkan tetap berdiri, tidak merenovasinya, dan tidak menjadikannya sebagai tempat wisata sebagaimana dalam sistem sekular saat ini. Negara berhak merobohkannya, atau mengalihfungsikannya untuk kepentingan lain, atau menjadikannya sebagai masjid.

Hal ini sebagaimana terjadi pada Hagia Sophia, yang disebut Aya Sofya dalam pelafalan Turki, adalah sebuah gereja Kristen Ortodoks selama 916 tahun, yang kemudian diubah menjadi masjid kekaisaran oleh Sultan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih) pada 29 Mei 1453, setelah ia menaklukkan Kota Konstantinopel. Hagia Sophia telah mengalami berbagai perubahan fungsi selama berabad-abad, termasuk menjadi museum sejak tahun 1934 hingga 86 tahun lamanya. Pada 10 Juli 2020, pengadilan Turki membatalkan dekrit Kabinet 1934 yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum, dan Hagia Sophia kembali dinyatakan sebagai masjid hingga sekarang.

Di sisi lain, negara Khilafah akan memberikan jaminan perlindungan kepada warga non-Islam, juga jaminan bagi keamanan rumah ibadah mereka. Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khatthab ra. pernah menulis sebuah perjanjian dengan penduduk Ilia (Qudus). Dalam surat perjanjian tersebut Khalifah Umar ra. menjelaskan tentang pemberian jaminan keamanan bagi penduduk Ilia atas diri, harta, salib, dan gereja-gereja mereka.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. yang dikenal sebagai khalifah paling agung Bani Umayah memberikan pesan penting kepada para tentaranya dalam proses penaklukan wilayah untuk tidak menyerang gereja. Tafsir Qurthubi pun menyampaikan pesan yang sama ketika menjelaskan QS. Al-Hajj [22]: 40, terkait melindungi gereja milik orang-orang yang terikat perjanjian dalam Islam. (Qurthubi, 2006: 410).

Gubernur Umar di Mesir, Amr bin Al-Ash ra, pernah menulis surat perjanjian yang ditujukan kepada penduduk Mesir. Surat perjanjian itu berbunyi; “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah apa yang diberikan oleh Amr bin Al-Ash kepada penduduk Mesir berupa jaminan keamanan atas diri, agama, harta benda, gereja-gereja, salib, darat dan laut mereka.”

Thomas Walker Arnold, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pernah mengatakan, “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya.”

Inilah bukti toleransi dan keadilan negara Khilafah terhadap warga negaranya yang non-muslim dan pengaturan terkait rumah ibadah mereka yang dijamin perlindungan dan keamanannya oleh negara Khilafah selama berabad-abad lamanya.