Oleh: Ummu Nashir N.S.
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga— Kasus kekerasan yang menimpa eks atlet anggar berinisial IN yang dilakukan oleh suaminya (A) di Bogor, Jawa Barat, cukup viral sehingga mengundang komentar banyak pihak. Salah satunya Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas ini meminta pemerintah masif melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya membangun keluarga yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Salah satu anggotanya, Imam Nihai, menilai bahwa kasus KDRT terjadi akibat cara pandang laki-laki terhadap perempuan—perspektif patriarki—yang masih sangat kuat dalam budaya Indonesia. Budaya patriarki meletakkan perempuan sebagai objek nasihat, moralitas, dan seksualitas sehingga membuat perempuan rentan menjadi korban ketika ia dinilai oleh laki-laki tidak sejalan dengan perspektif laki-laki itu. Selama ini, perempuan, yakni pihak istri, diyakini sebagai biang keladi kerusakan rumah tangga. Jika rumah tangga tidak harmonis, perempuan yang disalahkan. Perempuan pun dituntut menjaga aib keluarga, moralitas keluarga, dan sebab itu diminta mempertahankan keberlangsungan keluarga apa pun yang terjadi. (Antara News, Agustus 2024).
Jika kita cermati, pernyataan tersebut sangat kental dengan aroma feminisme. Kalangan feminis menganggap bahwa KDRT dapat terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan dan posisi subordinat perempuan yang telah berlangsung lama.
Oleh karenanya, keluarga berkesetaraan dan berkeadilanlah yang akan menjadi solusi atas terjadinya KDRT. Mereka mengakui bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, baik dari aspek biologis maupun konstruksi sosial budaya. Namun, kekerasan yang dialami perempuan dapat terjadi ketika pandangan sosial budaya yang ada, bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Inilah sebabnya mereka menganggap budaya patriarki sebagai akar masalah munculnya kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga.
Dengan landasan ini, mereka pun menawarkan solusinya dengan keluarga berkeadilan dan berkesetaraan. Benarkah hal ini bisa jadi solusi? Untuk menjawabnya, tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu, apa sebenarnya budaya patriarki itu?
Benarkah Budaya Patriarki Akar Masalahnya?
Merujuk pada Wikipedia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut “ayah” memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda. Sistem patriarki membuat laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi para laki-laki tidak mencakup ranah personal saja, tetapi lebih luas lagi, seperti pendidikan, ekonomi, partisipasi politik, sosial, hukum, dan lain-lain.
Setelah kita mendalami fakta dan memahami maksud dari budaya patriarki, kita bisa menyimpulkan, klaim bahwa budaya patriarki adalah akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sesungguhnya hanyalah asumsi. Sebabnya, kasus kekerasan yang terjadi saat ini tidak melulu diakibatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Selain itu, kasus KDRT tidak selalu menimpa istri atau ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki penghasilan, tetapi juga dialami oleh istri yang bekerja atau yang berpenghasilan. Kasus IN ini menjadi fakta tidak terbantahkan. Ia memiliki penghasilan karena menekuni karier sebagai seorang selebgram dan kerap menerima endorsement dari berbagai macam produk lokal. Dari satu fakta ini saja sesungguhnya pendapat tadi sudah bisa dipatahkan.
Laporan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menyatakan bahwa pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami (56,3%) yang diakibatkan perselingkuhan, suaminya cemburu, suami mabuk, masalah pekerjaan, impitan pekerjaan yang dialami suami/istri, atau pemicu lainnya. Fakta-fakta ini makin menguatkan bahwa akar masalah KDRT bukanlah budaya patriarki. Lantas, apa sebenarnya akar masalahnya?
Mencari Akar Masalah
Sesungguhnya, kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, baik di rumah tangga, tempat kerja, atau di mana pun, sebenarnya muncul karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dari negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini muncul akibat tidak adanya pemahaman yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga.
Muncul dan berkembangnya sistem sekuler kapitalisme di tengah umat mengakibatkan kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Akhirnya, posisi Islam yang seharusnya dijadikan acuan atau landasan dalam berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran kapitalisme. Alhasil, wajar jika corak kehidupan sekuler kapitalisme inilah yang mendominasi umat dewasa ini, termasuk dalam memandang tentang perempuan. Bahkan, Islam dituding sebagai agama yang tidak memihak dan mengekang perempuan, serta menempatkan mereka pada posisi nomor dua.
Corak kehidupan sekuler kapitalisme ini pula yang akhirnya membuat kaum muslim bingung untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di tengah mereka. Corak hidup ini tidak memiliki nilai-nilai dan tolok ukur jelas dan baku untuk dijadikan pijakan dalam menilai sesuatu dan perbuatan, hanya nilai-nilai kemanusiaan yang semu yang diagungkan. Dari sinilah kemudian lahir gagasan keluarga berkeadilan dan berkesetaraan untuk menyelesaikan masalah kekerasan.
Keluarga Berkesetaraan dan Berkeadilan, Solusi bagi Kasus Kekerasan dalam Keluarga?
Prinsip kesetaraan dan keadilan dalam keluarga yang terus digaungkan oleh para feminis sepintas lalu memang seolah akan mewujudkan keharmonisan dalam keluarga sehingga terhindar dari kekerasan. Dengan adanya persamaan peran dan tanggung jawab, seolah-olah keadilan akan terwujud di dalamnya. Faktanya, prinsip kesetaraan ini tidak memberikan solusi apa pun, selain hanya menambah panjang daftar persoalan perempuan.
Ketika perempuan didorong untuk bekerja sebagaimana laki-laki, justru ini akan membebani perempuan dengan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Ketika perempuan didorong untuk mandiri, tidak bergantung atau membutuhkan siapa pun, bahkan suaminya sekalipun, ini juga melawan fitrah. Perempuan tentu ingin dilindungi, dijaga, wajar bergantung pada laki-laki. Apakah konsep kesetaraan dan keadilan versi feminisme ini membawa kebaikan bagi perempuan dan keluarga? Jelas sama sekali tidak!
Konsep kesetaraan bukanlah cara untuk menghilangkan penindasan atas perempuan atau menegakkan kehormatan bagi perempuan. Ide ini tidak menyelesaikan permasalahan perempuan. Ketika perempuan mandiri, mereka justru lebih rentan dari sisi perlindungan. Mereka harus berjibaku dari pagi hingga petang bahkan malam, atau dari malam hingga pagi lagi, demi sebuah kemandirian dan kebebasan atas nama kesetaraan gender. Apa yang kemudian didapatkan? Tenaga mereka terkuras, capai luar biasa.
Sementara itu, sang buah hati di rumah yang menunggu senyuman dan belaian lembut tangan sang bunda, akhirnya harus menelan kekecewaan. Sang ibu bahkan tidak sempat lagi memberi senyuman ataupun sekadar sapaan karena anaknya sudah tertidur kelelahan menunggu bunda tercinta. Esoknya, pagi-pagi buta sang bunda sudah harus berangkat lagi dengan menempuh perjalanan yang terkadang masih sepi, siap menawarkan ancaman kehormatan dan keamanan sang bunda. Lalu siapa yang akan melindunginya?
Sungguh, selama standar yang dipakai adalah sistem sekuler kapitalisme yang melahirkan ide feminisme ini, tidak akan bisa memberikan kebaikan apa pun bagi perempuan maupun laki-laki, bahkan keluarga, melainkan justru akan memunculkan permasalahan baru. Bangunan rumah tangga dan anak-anaklah yang pada akhirnya menjadi taruhannya.
Jika kita mau jujur, jelas sekali bahwa maraknya kekerasan terhadap perempuan justru merupakan cerminan dari gagalnya bangunan sosial politik yang didasari ideologi sekuler kapitalisme. Rapuhnya tatanan moral masyarakat yang ada akibat tidak adanya aturan baku juga berkontribusi terhadap makin parahnya kasus ini di tengah masyarakat.
Kalaulah kaum muslim mau menengok dan memahami Islam, sebenarnya Islam telah memberikan jawaban tuntas terhadap permasalahan apa pun, termasuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Kita tinggal mengikuti apa pun yang telah diwahyukan oleh Allah SWT Al-Khaliq Al-Mudabbir, serta dan meneladan utusan-Nya, Muhammad (saw.).
Solusi Islam terhadap Masalah Kekerasan terhadap Perempuan
Islam sebagai din yang sempurna sangat melindungi umatnya. Hal ini tecermin dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang kemudian dirumuskan oleh para ulama sebagai al-kulliyat al-khams atau al-dharuriyyah al-khams, yaitu perlindungan atas agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Hal ini akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara sempurna.
Bukti bahwa syariat Islam sangat menjaga kehormatan perempuan, tercermin dari beberapa aturannya. Antara lain keharusan meminta izin ketika memasuki kehidupan khusus orang lain. Ini dimaksudkan agar perempuan—yang di dalamnya dibolehkan melepas jilbab—tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan mahramnya (lihat QS An-Nur: 27).
Bersamaan dengan itu, Islam mewajibkan perempuan, menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, serta memakai pakaian sempurna ketika keluar rumah. Mereka wajib mengenakan kerudung (lihat QS An-Nur: 31) dan jilbab (QS al-Ahzab: 59). Islam juga memerintahkan mahramnya untuk menemani perempuan ketika ia bepergian lebih dari sehari semalam. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya.”
Lebih dari itu, Islam memosisikan keamanan sebagai salah satu kebutuhan pokok umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang bangun di pagi hari merasa aman di sekitarnya, sehat badannya dan mempunyai makanan (pokok) hari itu, seolah-olah ia telah memiliki dunia seisinya.”
Dari hadis ini, Rasulullah saw. menyetarakan keamanan dengan makanan pokok, sedangkan makanan adalah kebutuhan pokok. Hal ini berarti bahwa keamanan adalah kebutuhan pokok rakyat. Oleh karena itu, negara wajib menjaga keamanan seluruh rakyatnya, laki-laki-perempuan, tanpa ada diskriminasi.
Telah jelaslah bahwa Islam menetapkan bahwa keamanan bagi perempuan bukan hanya menjadi tanggung jawab individu dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dan negara. Alhasil, penyelesaian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan hanya akan bisa terwujud dengan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan adanya suatu sistem yang terpadu yang diterapkan negara sebagai pelaksana aturan Allah.
Pilar pertama, membentuk individu muslim yang takwa, berkepribadian Islam yang unggul, serta iman, pemikiran, dan jiwa Islamnya kuat. Hal ini hanya akan terwujud apabila kita membina individu-individu muslim tersebut dengan akidah dan pemikiran-pemikiran Islam secara intensif dan berkesinambungan. Ia akan menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikir maupun bertingkah laku, menjadikan halal-haram sebagai standar hidupnya.
Dengan bekal ketakwaannya, seorang muslimah akan menjalankan perannya sebagai ummun wa rabbatul bait, taat suami, melayani suami dan anak-anaknya dengan baik, memakai pakaian sempurna, tidak membiarkan laki-laki asing masuk ke rumahnya, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki, sebagai suami, ia akan melaksanakan kewajibannya sebagai pencari nafkah keluarga, melindungi anak dan istri dengan baik, bergaul secara makruf terhadap keluarganya. Ia tidak akan bertindak kasar terhadap istri atau anak-anaknya karena ia paham hal tersebut dilarang Islam sehingga terjadi kehidupan rumah tangga yang harmonis, jauh dari kekerasan.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Islam sangat memperhatikan pentingnya hidup berjemaah dan menjaga kesehatan jemaah dengan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf yang dilakukan secara menyeluruh, baik di keluarga, lingkungan kaum muslim, organisasi, jemaah dakwah, dan media massa, akan membentuk kesadaran umum di masyarakat bahwa segala yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara mutlak harus dijauhi semata karena keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Juga akan diopinikan tentang keharaman tindak kekerasan terhadap orang lain—baik menghilangkan nyawa orang lain, pelecehan, menyakiti tubuh—dan bahaya yang ditimbulkannya serta azab yang pedih yang akan ditimpakan oleh Allah. Oleh karenanya, masyarakat yang memiliki keimanan kepada Allah akan menjauhkan dirinya dan masyarakat dari hal-hal tersebut dan akan memelihara kesehatan masyarakat yang rusak.
Pilar ketiga, penerapan hukum Islam oleh negara. Negara adalah pelindung bagi warga negaranya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Negaralah yang menjamin terpenuhinya hak-hak warga negaranya berdasarkan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masyarakat maupun keluarga, termasuk jaminan keamanan masyarakat.
Di samping itu, negara yang berperan sebagai pelaksana semua hukum Islam, sangat penting dalam menentukan terlaksananya seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya. Dengan peran ini, negara bertanggung jawab menerapkan semua itu secara sempurna dan menerapkan sanksi terhadap siapa pun yang melanggarnya tanpa pandang bulu sehingga masyarakat merasa tenteram.
Khatimah
Akar masalah maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga bukanlah budaya patriarki, melainkan sistem sekuler kapitalisme yang kuat mencengkeram negeri ini. Dengan demikian, keadilan dan kesetaraan dalam keluarga ala feminisme bukanlah solusi permasalahan kekerasan yang dalam keluarga.
Hanya dengan Islamlah, permasalahan umat manusia akan dapat diselesaikan tuntas sebab Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, wahai muslimah, tidak ada jalan lain untuk membebaskan diri kita dari tindak kekerasan yang dilakukan siapa pun dan untuk meningkatkan derajat kita di hadapan Allah serta mendapatkan kemuliaan kita sebagai manusia, kecuali dengan memperjuangkan Islam agar tegak di muka bumi ini. Hanya Islamlah yang mampu membawa kita pada kemuliaan. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]