Perdebatan Keabsahan Ba’alawi Keturunan Nabi;  Upaya Memecah Belah Persatuan Umat Islam

  • Opini

Oleh. Ummu Fahri

Suaramubalighah.com, Opini –  Perdebatan mengenai klaim nasab Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad kembali mencuat dan memicu pro dan kontra di berbagai kalangan. Klaim tersebut, sudah lama menjadi topik kontroversial, semakin memanas, setelah seorang peneliti, Imaduddin Utsman, meragukan keabsahan genealogi klan Ba’alawi. Meskipun banyak yang meyakini bahwa Ba’alawi merupakan keturunan langsung dari Rasulullah, tidak sedikit yang mempertanyakan kebenaran klaim tersebut, sehingga memicu diskusi sengit di kalangan umat muslim.

Rabithah Alawiyah, organisasi yang dikenal sebagai penjaga keaslian nasab keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, kembali menuai perhatian publik. Setelah mengundang KH Imaduddin Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum yang kritis terhadap klaim nasab Ba’alawi, Rabithah Alawiyah kini memperluas diskusi dengan mengundang tiga tokoh lain yang kerap berbicara tentang isu ini. H Rhoma Irama, Mama Gufron, dan Mechanim Ali turut diundang dalam acara debat yang akan digelar pada 9 September 2024 mendatang di Jakarta. Langkah ini diambil menyusul tudingan serius terkait polemik yang digawangi oleh Imaduddin Utsman. (republika.co.id, 09-08-2024)

Pro-Kontra Klaim Nasab Ba’alawi

Sejak berabad-abad yang lalu, keberadaan habaib Ba’Alawi di Nusantara telah menjadi bagian integral dari sejarah dakwah Islam di Indonesia. Para habaib, yang dipercaya sebagai keturunan Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib melalui jalur Ahmad al-Muhajir, dikenal bukan hanya karena garis keturunan mereka, tetapi juga karena kontribusi mereka dalam menyebarkan ajaran Islam. Mereka membawa serta tradisi spiritual yang kaya, seperti zikir, maulid, dan berbagai ajaran akhlak mulia yang mengakar kuat di hati masyarakat.

Namun, klaim keaslian nasab ini kini tengah diguncang oleh tesis kontroversial KH. Imadudin Ustman, yang menyatakan bahwa hasil tes DNA jarak jauh menunjukkan perbedaan signifikan dengan DNA yang dipercaya sebagai milik Nabi Muhammad SAW. Tesis ini, yang dikemas dengan narasi ilmiah, memantik perdebatan sengit di kalangan ulama dan masyarakat. Bagi sebagian pihak, seperti KH. Imadudin, hasil tes tersebut cukup untuk meragukan silsilah habaib Ba’Alawi. Di sisi lain, banyak ulama dan cendekiawan yang menolak keras kesimpulan tersebut, mengandalkan pada kitab turats atau literatur muktabar yang telah lama diakui di kalangan ulama dunia.

Kontroversi ini tidak hanya berkutat pada keabsahan ilmiah, tetapi juga berdampak sosial yang signifikan. Di tengah pusaran perdebatan ini, muncul kekhawatiran bahwa upaya sekularisasi dan desakralisasi ulama tengah berjalan di balik layar. Penolakan terhadap silsilah habaib ini, selain menimbulkan kebingungan di kalangan umat, juga berpotensi menghapus peran penting habaib dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, termasuk kontribusi besar mereka dalam penyebaran Islam melalui Wali Songo, yang juga merupakan keturunan Ba’Alawi. (beritajatim.com, 05-07-2023)

Upaya Memecah Belah Persatuan Umat Islam

Menelaah lebih jauh, terlihat adanya upaya yang lebih besar dari sekadar pengujian ilmiah. Di balik tesis KH. Imadudin Ustman, terdapat agenda yang lebih dalam, yaitu sekularisasi dan desakralisasi peran ulama dalam masyarakat. Narasi yang terkesan saintifik ini sebenarnya menyembunyikan upaya untuk merongrong otoritas spiritual habaib yang telah lama dihormati di Indonesia. Penolakan silsilah habaib Ba’Alawi, yang disuarakan dengan begitu gencar, lebih dari sekadar pertanyaan tentang kebenaran genetik; ini adalah serangan terhadap fondasi tradisi dan warisan keagamaan yang telah mendarah daging di kalangan umat.

Pendekatan sekularisasi yang mencoba merasionalisasi segala aspek kehidupan beragama, termasuk nasab dan otoritas ulama, tampaknya menjadi akar permasalahan yang lebih dalam. Validitas tes DNA dijadikan alat untuk menantang legitimasi spiritual yang telah diakui oleh umat selama berabad-abad. Ini bukan sekadar soal teknologi atau ilmu pengetahuan, tetapi upaya sistematis untuk merongrong otoritas ulama dan memecah belah persatuan umat. Pendekatan ini tidak hanya berbahaya bagi tradisi keagamaan, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi nyata berupa perpecahan sosial yang berpotensi meluas. Sekularisasi dalam konteks ini tampaknya bertujuan untuk mengikis fondasi keislaman yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu, termasuk Wali Songo dan ulama-ulama besar lainnya.

Argumentasi yang digunakan oleh KH. Imadudin memang menarik perhatian, terutama karena mengusung metode modern berupa tes DNA. Namun, pendekatan ini sesungguhnya menafikan dimensi historis dan tradisional yang diakui secara luas oleh para ulama dunia. Kitab-kitab turats yang mencatat silsilah Habaib, seperti karya Imam Bahauddin Al-Janadi dan Muhammad bin Yusuf Al-Yamani, bukan sekadar dokumen kuno, tetapi merupakan bukti kuat yang selama ini menjadi pegangan dalam menetapkan nasab. Mengabaikan sumber-sumber ini sama saja dengan menghapus sejarah panjang dakwah Islam yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman di Nusantara.

Lebih jauh lagi, menafikan silsilah habaib sebagai dzuriyyah Nabi Muhammad SAW dapat berimplikasi serius. Jika validitas nasab mereka dipertanyakan, maka otomatis juga menggoyahkan legitimasi sejarah Wali Songo, yang dikenal sebagai para penyebar Islam pertama di Jawa dan sekitarnya. Dengan kata lain, ini bukan sekadar perdebatan akademis; ini adalah upaya untuk mereduksi pengaruh dan peran habaib dalam perjalanan spiritual dan sejarah keislaman di Indonesia. Ujung dari proses ini adalah perpecahan di antara umat, yang sudah mulai terlihat melalui berbagai konflik di kalangan masyarakat. Perpecahan ini tidak hanya mengancam persatuan umat Islam, tetapi juga membuka celah bagi masuknya pengaruh-pengaruh luar yang ingin memecah belah kekuatan Islam di Indonesia. Terutama kisruh perpolitikan nasional yang terjadi hari.

Sekelompok individu yang mengaku sebagai agamawan telah melancarkan serangan terhadap keturunan Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir Ila Allah, yang merupakan keturunan Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad saw. Hal ini menjadi perdebatan yang sebelumnya tidak pernah menjadi masalah. Kehadiran Alawiyyun (habaib) di berbagai wilayah, termasuk Indonesia, selama ratusan tahun telah memperkaya dakwah Islam. Mereka membawa tradisi mendekatkan diri kepada Allah melalui zikir yang menenangkan, pembacaan maulid untuk mengenang kehidupan Nabi, serta kitab-kitab yang penuh dengan syair-syair indah dan akhlak mulia yang mendorong kita untuk terus beribadah.

Ada beberapa aspek yang perlu diwaspadai dari perdebatan yang dipelopori oleh KH. Imad:

Pertama, upaya sekularisasi yang bertujuan untuk menyingkirkan ulama dari kehidupan dan hati masyarakat Indonesia, terutama menjelang pilpres dan pilkada, di mana ada usaha untuk menjauhkan tokoh-tokoh yang dekat dengan ulama atau habaib.

Kedua, desakralisasi ulama, di mana penolakan terhadap silsilah habaib dilakukan dengan gencar. Argumen ini dikemas seolah-olah ilmiah, tetapi sebenarnya tidak seimbang karena mengabaikan argumen yang mendukung keberadaan Ubaidillah, yang didasarkan pada kitab-kitab yang diakui oleh ulama dunia.

Ketiga, mengabaikan habaib sebagai keturunan Nabi dapat berdampak pada pengabaian terhadap Wali Songo, yang merupakan keturunan Ba’alawi dan peran mereka dalam menyebarkan Islam sebagai utusan dari Kekhilafahan Utsmani.

Keempat, perdebatan ini jelas memecah belah umat Islam, mengingat habaib adalah panutan yang mengajarkan kecintaan kepada Nabi, dan tradisi seperti pembacaan Simtud Durar diikuti oleh hampir seluruh umat Islam di Indonesia.

Kelima, sangat memprihatinkan bahwa ada tokoh-tokoh muda NU yang terjebak dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah umat Islam di Indonesia.

Keenam, argumen KH. Imad yang mendasarkan penentuan nasab pada tes DNA jelas bertentangan dengan ajaran Islam, yang menetapkan nasab berdasarkan pengakuan atau jalur keturunan, sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Malik ra., “Bahwa manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya.”

Umat Islam harus waspada terhadap upaya-upaya yang bertujuan memecah belah persatuan umat melalui berbagai isu. Silsilah keturunan Nabi saw. ini tidak terkait dengan kemaksuman mereka, sehingga jika ada oknum habaib yang berakhlak buruk atau bermaksiat, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk meragukan bahwa semua habaib di Indonesia (Ba’alawi) adalah keturunan Nabi saw.

Mengakhiri Polemik dengan Perspektif Islam

Untuk menghadapi polemik yang mengancam persatuan umat ini, Islam menawarkan solusi yang mendalam dan komprehensif, berakar pada prinsip-prinsip dasar persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah. Yakni, umat Islam harus kembali kepada ajaran Rasulullah saw. yang mengajarkan pentingnya menjaga persatuan di antara umat. Perbedaan pendapat dalam perkara nasab dan tradisi hendaknya disikapi dengan penuh hikmah dan saling menghormati, bukan dengan cara yang justru memicu perpecahan. Islam menekankan bahwa persaudaraan di antara umat jauh lebih penting daripada perdebatan yang dapat memecah belah.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat: 10,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”

Ayat ini mengingatkan kita bahwa menjaga persatuan dan perdamaian adalah kewajiban setiap muslim, yang harus dijunjung tinggi di atas segala perbedaan. Selain itu, dalam menilai dan memutuskan perkara nasab, Islam memiliki ketentuan yang jelas berdasarkan sunnah Nabi saw., di mana pengakuan nasab didasarkan pada silsilah dan tradisi yang diakui, bukan semata-mata pada teknologi modern seperti tes DNA.

Hadis Rasulullah saw. menegaskan bahwa, “Manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya,” menunjukkan bahwa pengakuan terhadap nasab memiliki legitimasi dalam Islam selama didukung oleh sumber-sumber yang sahih dan diakui.

Kemudian pada tataran sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah adalah sistem yang bertujuan untuk menyatukan umat muslim di bawah satu kepemimpinan yang berlandaskan syariah Islam. Konsep ini didasarkan pada keyakinan bahwa seorang khalifah (pemimpin umat Islam) memiliki otoritas untuk menetapkan hukum dan keputusan yang mengikat seluruh umat, sehingga dapat menyatukan berbagai perbedaan pendapat (khilaf) di antara umat muslim. Dikenal dengan kaidah ‘Al-Imam yarfa’u al-khilaf’. Kaidah ini berarti “pemimpin (imam) menghilangkan perbedaan (khilaf)”.

Dalam konteks ini, imam atau khalifah adalah figur otoritas yang berhak menetapkan keputusan hukum dalam hal-hal yang diperselisihkan di kalangan umat muslim. Ketika terjadi perbedaan pandangan atau ijtihad di antara para ulama atau individu, keputusan yang diambil oleh imam tersebut akan menjadi keputusan final yang wajib diikuti oleh seluruh umat, sehingga menghilangkan potensi perpecahan yang timbul akibat perbedaan pendapat tersebut. Dengan demikian, sistem Khilafah bertujuan untuk menjaga persatuan umat dan mencegah perpecahan melalui penetapan hukum yang tegas dan sentral.

Selain itu Islam juga melarang ashabiyah, yaitu fanatisme atau loyalitas buta terhadap kelompok, suku, atau bangsa tertentu. Ashabiyah dilarang karena dapat menimbulkan perpecahan dan konflik di antara umat manusia. Islam menekankan kesetaraan dan persaudaraan di antara seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, bangsa, atau ras.

Nabi Muhammad saw. bersabda dalam sebuah hadis: “Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme), dan bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.”

Dengan melarang ashabiyah dan mendorong kesatuan di bawah satu kepemimpinan (Khilafah), semua muslim dianggap sebagai satu umat yang dipimpin oleh seorang khalifah, yang bertugas untuk menjaga persatuan dan menerapkan hukum Allah di tengah-tengah umatnya. Islam berupaya untuk menciptakan persatuan dan harmoni di antara umat muslim, serta menghindari konflik dan perpecahan yang disebabkan oleh fanatisme kelompok.

Oleh karena itu, dalam menghadapi isu ini adalah dengan memperkuat kembali landasan keilmuan dan tradisi yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu. Umat Islam perlu menempatkan perdebatan ini dalam perspektif yang benar, tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang tidak seimbang dan cenderung memecah belah.

Dan sangat dibutuhkan kehadiran khalifah dalam sistem Khilafah yang akan mengakhiri perdebatan ini.

Dengan kembali kepada ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam naungan khilafah, umat dapat menjaga persatuan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Allahu’alam bishshawab. [SM/Ln]