Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.
Suaramubalighah.com, Opini – Terpanggil selamatkan demokrasi, puluhan orang berorasi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di Monumen Tugu Pahlawan Kota Surabaya, Kamis (22/8). Aksi digelar tepat mulai pukul 09.00 WIB disertai dengan atribut berupa kertas berisi tagar tuntutan. Mulai Lawan Politik Dinasti, Tolak RUU Pilkada, Cari Kerja Susah Kecuali Bapakmu Jokowi, dan Kawal Putusan MK.
Menurut Thantowy, Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga selaku pelopor aksi, orasi ini bentuk edukasi pencerdasan ke masyarakat.
“Tujuan utama kami pencerdasan publik, bahwa masyarakat harus tahu negara kita sedang dihadapkan posisi tidak menyenangkan, kita resah yang terjadi pada elite politik,” kata Thantowy, Kamis (22/8).
Seruan untuk selamatkan demokrasi menjadi perbincangan jagat raya baik di media sosial maupun di dunia maya. Tentu saja ini semuanya berangkat dari kurangnya kesadaran politik umat yang membuat mereka lemah dalam literasi tsaqafah Islam dan membaca tsaqafah asing yang membahayakan mereka.
Umat Islam adalah umat mulia dan kemuliaan itu akan terjaga dalam tsaqafah yang dimilikinya. Bukan seruan demokrasi yang lahir dari rahim sistem kapitalisme yang hina dan menghinakan.
Untuk itu, dengan berbagai ilusi yang melekat pada demokrasi, sudah selayaknya kita menyerukan peringatan sistem darurat untuk segera meng-uninstall sistem tersebut. Sistem sosialisme-komunisme sudah runtuh dan tidak sesuai fitrah manusia sehingga mustahil dipilih menjadi sistem pengatur hidup manusia.
Hanya saja untuk meninggalkan demokrasi, kita perlu berpikir politik jangan taklid pada demokrasi. Apa kita percaya demokrasi kedaulatan di tangan rakyat? Percaya bahwa demokrasi akan menyejahterakan rakyat? Jika umat Islam masih percaya demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, berarti berpikir politik umat Islam masih lemah, umat Islam masih ditipu demokrasi dengan jargon kedaulatan rakyat.
Padahal yang berdaulat di negeri ini maupun di percaturan dunia dalam demokrasi adalah oligarki dan partai politik. Masihkah kita belum sadar dengan kepongahan yang dipertontonkan oleh elite politik? Pilpres 2024, itu presiden yang terpilih adalah presiden pilihan oligarki dan partai politik, bukan pilihan rakyat. Jadi yang punya kedaulatan menentukan siapa capres yang boleh dipilih adalah oligarki dan partai politik.
Alasannya sederhana. Hanya calon yang ditetapkan parpol yang bisa jadi capres. Orang yang tidak diusung parpol, tidak bisa menjadi capres. Artinya, kendali ada pada partai bukan para rakyat. Sedangkan rakyat, hanya dianggap sapi yang dicucuk hidungnya, masuk TPS dan mencoblos calon presiden yang ditentukan oleh partai politik.
Pilpres 2024 lalu dan pilpres sebelumnya tidak pernah memberikan kedaulatan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Misalnya, rakyat tidak mungkin bisa memilih Habib Rizieq Shihab, Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Adi Hidayat, dan nama nama lainnya. Rakyat dipaksa memilih capres yang telah ditetapkan partai politik.
Parpol menentukan nama capres setelah berkonsultasi dengan oligarki. Oligarki yang membiayai capres dengan kompensasi kebijakan yang pro oligarki. Jadi, yang berdaulat adalah parpol dan oligarki.
Setelah terpilih, Presiden menghamba pada oligarki yang telah membiayainya. Partai dan presiden menjadi petugas oligarki, bukan petugas rakyat. Yang berdaulat oligarki dan parpol, bukan rakyat.
Contoh, presiden menaikkan BBM dan pajak. Meski rakyat menolak, tetap saja naik. Karena parpol dan oligarki inginkan BBM dan pajak naik. Saat DPR sahkan UU cipta kerja dan UU IKN, rakyat menolak. Tapi parpol dan oligarki menghendaki. Jadi, kedaulatan ada di tangan parpol dan oligarki, bukan di tangan rakyat. Bagaimana mungkin umat Islam masih percaya demokrasi?
Demokrasi Rusak dan Merusak
Umat Islam harus menyadari bahwa demokrasi telah tampak kerusakannya. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari tiga aspek, yakni dari asas pemikirannya, keabsahan kredonya, dan dari hukum-hukum yang terpancar darinya.
Dari sisi asas, demokrasi lahir dari sekularisme yang menegasikan peran agama dari kehidupan sekaligus mengagungkan paham liberalisme atau kebebasan. Demokrasi lekat dengan ide kebebasan, baik dalam berpendapat (berpikir), berperilaku, beragama, maupun kepemilikan. Dengan demikian, demokrasi tidak mengenal konsep halal-haram, yang ada adalah kebenaran relatif hasil voting manusia di lembaga perwakilan.
Prinsip sekuler ini berkelindan dengan kredo demokrasi yang menyatakan “suara rakyat suara Tuhan” yang juga terkait konsep kedaulatan. Demokrasi meyakini bahwa kedaulatan ada di tangan manusia yang disebutnya sebagai “rakyat”. Merekalah yang berhak membuat undang-undang melalui sistem musyawarah dan konsep perwakilan.
Lalu UU tersebut wajib dijalankan oleh penguasa yang diangkat oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan dan kontrak sosial. Adapun pelaksanaannya diawasi oleh anggota parlemen dan lembaga yudikatif yang dibayar oleh rakyat.
Semua ini tentu sangat bertentangan dengan Islam yang menetapkan kewajiban manusia dalam posisinya sebagai makhluk Allah, terikat dengan akidah dan syariat Islam. Artinya, Islam tidak mengenal ide kebebasan dan sekularisme. Seluruh perbuatan manusia terikat dengan hukum syarak, dan hukum syarak dipastikan mendatangkan kebaikan. Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur oleh Islam, termasuk politik bernegara.
Terlebih soal kedaulatan, Islam menetapkan bahwa kedaulatan adalah hak prerogatif Asy-Syari, yakni Allah Taala. Tidak ada musyawarah jika terkait halal-haram. Dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah SWT berfirman, a. Itulah agama yang lurus.” (QS Yusuf [12]:40).
Lalu firman-Nya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50).
Kebaikan inilah yang mustahil diwujudkan oleh sistem demokrasi. Pemujaan atas kebebasan dalam demokrasi justru yang melahirkan berbagai UU yang rusak dan merusak. Ide musyawarah dan perwakilan dalam sistem ini justru menjadikan Islam hanya diposisikan sebagai pilihan yang didiskusikan (opsi), bukan kewajiban (obligasi). Bahkan, Islam menjadi label kebatilan alias terjadi pencampuradukan hak dan batil.
Walhasil, jaminan kebebasan berpikir dan berperilaku justru terus meracuni umat dan melegalkan perilaku bejat merajalela. Begitupun jaminan kebebasan beragama meniscayakan penistaan agama menjadi fenomena. Adapun kebebasan memiliki yang dijamin demokrasi, nyata-nyata telah memberi jalan penjajahan serta perampokan kekayaan umat secara masif dan besar-besaran oleh pihak asing dan para anteknya. Jadilah rakyat yang semestinya hidup sejahtera, menjadi miskin karena SDA yang dimilikinya diserahkan kepada asing dan aseng oleh negara. Sebutlah UU Cipta Kerja yang pro pada kekuatan modal dan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak
Keharaman Demokrasi
Secara akidah dan hukum syarak, demokrasi tidak bisa diterima oleh umat Islam. Secara faktual, demokrasi pun tidak menyisakan kebaikan sedikit pun bagi manusia, kecuali segelintir elite yang rakus atas dunia, dan itu pun fana.
Oleh karenanya, tidak patut bagi seorang muslim untuk menghubung-hubungkan demokrasi dengan Islam, mengusung ide-idenya, apalagi mati-matian turut mempertahankan penerapannya. Seluruh potensi umat semestinya bersatu untuk menolak sistem yang rusak dan merusak ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang dijamin membawa kebaikan dunia dan akhirat.
Jika ada yang berpandangan bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik hari ini dengan alasan lebih beradab, ini tidak lepas dari kemunculan demokrasi sendiri yang lahir dari buruknya sistem pemerintahan otoriter para raja yang didukung oleh para agamawan.
Jadi, demokrasi memang layak untuk dikritik. Demokrasi juga bukan rumah kaum muslim dan justru mengikis identitas keislaman secara pelan, tetapi pasti. Anehnya, hingga kini, keberadaannya masih diagung-agungkan oleh kaum muslim, bahkan ada yang menyatakan bahwa demokrasi adalah milik umat Islam yang dicuri oleh Barat.
Demokrasi Bukan Arah Perubahan Hakiki
Kondisi demikian ini sejatinya sangat terang benderang. Oleh karenanya, rakyat semestinya sadar bahwa demokrasi sejatinya bukan sistem politik terbaik seperti yang selalu digaungkan, melainkan sistem zalim yang bersembunyi di balik narasi kedaulatan rakyat yang justru antirakyat dan jauh dari keadilan.
Rakyat pun semestinya sadar bahwa selama ini mereka telah ditipu para pecundang politik dengan istilah “perwakilan”. Setiap lima tahun, suara mereka terus didulang semata-mata demi melegitimasi dan melanggengkan kecurangan struktural hingga semua kezaliman, bahkan penjajahan, berlangsung secara legal.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem politik Islam yang tegak di atas akidah dan aturan-aturan Islam yang menempatkan Allah SWT sebagai pembuat undang-undang. Hukum-hukum-Nya dipastikan mampu menjadi solusi tuntas atas semua problem hidup, sekaligus memberi rasa keadilan dan ketenteraman bagi seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk yang ada di dunia, tanpa ada pengecualian.
Hukum-hukum Allah SWT ini juga bebas kepentingan, tidak bisa diintervensi karena Allah adalah Zat yang tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Nya. Justru makhluklah yang butuh kepada rahmat dan pertolongan Allah agar mereka mampu menjalani hidup dengan penuh kebaikan sesuai fitrah penciptaan.
Di samping itu, hukum-hukum Allah juga bersifat tetap, berlaku bagi setiap masa dan umat. Terbukti saat hukum-hukum Allah ini tegak selama belasan abad, kehidupan umat Islam berada dalam ketinggian peradaban, diliputi kebaikan dan kesejahteraan.
Saat itu, umat Islam bahkan tampil sebagai sebaik-baik umat yang mampu memimpin peradaban dan berhasil menebar rahmat ke seluruh alam. Umat lain pun berbondong-bondong masuk ke dalam Islam dan masuk ke dalam pangkuan kekuasaan Islam (Khilafah Islam).
Inilah arah sekaligus jalan perubahan yang semestinya ditempuh oleh orang-orang yang beriman, bukan malah memperjuangkan sistem yang jelas-jelas membawa kemudaratan. Mewujudkan sistem Islam justru jadi jaminan bagi terwujudnya segala kebaikan yang diinginkan.
Wallahu a’lam. [SM/Ah]