Maulid, Momen Meneladani Kepemimpinan Nabi ﷺ

Oleh: Ustazah Dedeh Wahidah Achmad

Suaramubalighah.com, Opini – Bulan Rabiulawal dikenal juga sebagai bulan maulid, bulan dimana Rasulullah ﷺ dilahirkan oleh ibunda Aminah. Di bulan ini, tidak sedikit umat Islam yang memperingatinya dengan berbagai aktivitas yang menunjukkan kecintaannya pada baginda ﷺ, seperti memperbanyak selawat, berzikir, atau kajian bersama yang mengupas perihal yang akan lebih mengenal baginda dan tentu saja diharapkan akan semakin membangkitkan kerinduan pada penghulu para Nabi ini. Memang benar, semakin mengenal beliau akan semakin memahami apa yang harus ditunjukkan sebagai bukti bahwa kita layak disebut umat beliau yang kelak layak mendapat syafaatnya.

Muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar peringatan maulid tidak sebatas seremonial tahunan? Namun menjadi momen untuk mengevaluasi, sejauh mana kita sudah mengikuti beliau, berjalan di atas sunnahnya, dan menjadikan baginda Nabi sebagai uswah hasanah.

Mengikuti Nabi saw., Bukti Cinta pada Allah SWT

Allah Swt. memerintahkan orang beriman untuk menunjukkan cinta kepada-Nya dengan mengikuti Nabi ﷺ, seperti dalam firman-Nya, yang artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini menentukan hukum bagi siapa saja yang mengklaim kecintaannya kepada Allah, tetapi tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dia adalah orang yang berdusta atas klaimnya pada perkara yang sama, sehingga dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaannya.

Berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 31 jelas bahwa mengikuti Nabi ﷺ  (ittiba) merupakan tuntutan keimanan dan wujud cinta kita pada Allah SWT. Berikutnya penting dipahami bagaimana ittiba yang benar, ittiba yang sesuai dengan tuntutan Allah? Terkait hal ini, Allah SWT menjelaskan kepada kita dalam firman-Nya surah Al-Ahzab ayat 21,

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab: 21).

Imam Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah saw., baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau ﷺ, baik berupa akidah, syariat atau ibadah, akhlak, dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib ber-ittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah atau akhlak beliau ﷺ saja, akan tetapi harus menyeluruh.” [Tafsir Ibnu Katsir, III/522].

Mengikuti Nabi Saw., Mengikuti Seluruh Sunnah Beliau Termasuk Urusan Pemerintahan dan Kepemimpinan

Merujuk pada pendapat Ibnu Katsir dalam menafsirkan surah Al Ahzab ayat 21 tersebut, mestinya dipahami bahwa umat Islam wajib mengikuti Rasulullah ﷺ dalam setiap perkara yang disyariatkan. Tidak boleh memilih dan memilah sesuai keinginan atau kecenderungan hawa nafsu. Termasuk dalam berpolitik dan mengatur urusan pemerintahan, semuanya sudah dicontohkan oleh Baginda ﷺ secara gamblang.

Beberapa nas berikut bisa menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mewariskan urusan pemerintahan dan kepemimpinan kepada umatnya. 

Di dalam surah an-Nisa ayat 65, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan. Mereka semestinya menerima sepenuh hati atas keputusan beliau dan tidak merasa berat hati. Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bukan hanya utusan yang menyampaikan risalah Rabbnya, tapi juga sekaligus menjadi orang yang diberi wewenang untuk menerapkan risalah tersebut. Beliaulah penguasa dan pemimpin atas orang beriman.

Firman Allah dalam surah Al-Hasyr ini menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah ﷺ. tidak sebatas penyampai risalah semata, melainkan juga sebagai pemimpin yang wajib untuk ditaati setiap perintah dan larangannya. Dalam praktiknya, apa yang disebutkan ayat tersebut tertuang dalam Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah),

“Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-Nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw… Apa pun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-Nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw..” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504).

Sebagai kepala negara, yakni negara Islam, Nabi ﷺ. mengadili banyak perkara di masyarakat hanya dengan syariat Islam, bukan dengan hukum-hukum yang lain. Sebagai Kepala Negara Islam, beliau pun mengangkat para wali (gubernur) sekaligus para kadi (hakim), juga para amil. Beliau juga mengutus para utusan (duta) untuk mengajak para pemimpin di seluruh Jazirah Arab saat itu untuk masuk Islam. Beliau juga mengangkat para panglima perang. Bahkan, beliau sendiri sering secara langsung memimpin sejumlah perang (jihad).

Posisi Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin negara dan memiliki kewenangan sebagai pengatur urusan rakyatnya dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

“Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia  larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H), akan lebih tepat mengartikan ayat ini secara umum, yakni meliputi segala apa saja yang Rasulullah ﷺ  berikan dan segala apa saja yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fai’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Ayat ini merupakan rangkaian firman Allah terkait urusan pembagian harta rampasan perang, harta fai’ yang diperoleh umat Islam dari Yahudi Bani Nadhir tanpa melalui peperangan. Ketakutan mereka pada kekuatan Rasulullah ﷺ dan umat Islam menjadikan mereka lari meninggalkan harta miliknya.

Pelajaran penting dari peristiwa tersebut, bagaimana Yahudi akan lari tunggang langgang jika Rasullah ﷺ dan para sahabat tidak memiliki pengaruh? Yahudi adalah entitas yang memiliki diakui memiliki kekuatan, karenanya yang bisa menakuti mereka tentu adalah pihak yang punya kekuasaan, tidak mungkin pihak yang lemah. Wajar Yahudi pergi dari wilayah miliknya, karena saat itu Madinah sudah menjadi daulah yang memiliki pengaruh besar di wilayah Jazirah Arab.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah pemimpin pemerintahan dan pemutus urusan negara adalah kepemimpinan beliau dalam menjalankan misi dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Bukan hanya melalui penyampaian risalah Islam, tapi juga dengan seruan jihad. Beliau pun menyatukan semua perbedaan dalam ikatan yang satu, yakni ikatan akidah. Rasulullah ﷺ. bersabda, “Aku diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia hingga mereka mau mengucapkan: Lâ ilâha illâ Allâh. Siapa saja yang mengucapkan Lâ ilâha illâ Allâh, berarti ia telah menyelamatkan harta dan nyawanya dariku, kecuali dengan jalan yang haq (menurut syariah Islam), sedang hisabnya di tangan Allah.” (HR Muslim).

Sistem pemerintahan dan kepemimpinan Rasulullah ﷺ tidak berhenti sekalipun beliau sudah menghadap Allah SWT. Sepeninggal beliau, para sahabat melanjutkan warisan mulia ini. Bahkan sejarah mencatat bahwa para sahabat mendahulukan urusan melanjutkan pemerintahan dan memilih pemimpin pengganti Rasulullah ﷺ dari pada memakamkan jenazah baginda Nabi.  Peristiwa ini menjadi ijma’ sahabat, bahwa memilih penggati (khalifah) Rasulullah dalam urusan pemerintahan merupakan perkara yang harus disegerakan. Umat tidak boleh umat kosong dari kepemimpinan.

Sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang diwariskan Nabi ﷺ dan dilanjutkan oleh para khalifah penggati beliau (Khulafaurasyidin), termasuk sunnah yang harus diikuti oleh umatnya. Hal ini ditegaskan beliau dalam sabdanya,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ 

“Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunah Khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

Maulid, Momen Mengembalikan Sistem Pemerintahan dan Kepemimpinan Warisan Rasulullah ﷺ

Kepemimpinan merupakan perkara pokok dalam hidup berjemaah, bahkan merupakan salah satu dari qiwâm (penopang) suatu masyarakat. Seorang penyair jahiliah bernama Afwah al-Audi pun mengakui hal itu. Sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H),

لاَ يَصلُحُ الْقَوْمُ فَوضى لاَ سَراةَ  لَهُم … وَلا سَراةَ إِذا جُهّالُهُم سَادُوْا

“Tidak akan baik suatu kaum itu hidup tercerai-berai tanpa memiliki pemimpin dan tidak terhitung memiliki pemimpin jika orang-orang bodoh di kalangan mereka yang menjadi pemimpin.” (Asy-Syi’r wa asy-Syu’arâ‘, 1/217).

Apa yang disampaikan oleh syair tersebut faktanya sudah nampak di hadapan kita. Karut marut urusan kehidupan semakin menjadi-jadi disebabkan tidak diterapkannya sistem yang sahih dan tidak hadirnya pemimpin yang mumpuni. Demokrasi kapitalisme terbukti merupakan sistem yang rusak dan merusak. Sistem yang melahirkan penguasa korup, berpihak pada para pengusaha pemilik modal dan zalim terhadap rakyatnya.

Subhanallah walhamdulillah, sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ merupakan rahmat  dari Allah SWT bagi umat Islam. Kita tidak perlu dan tidak boleh berpaling kepada sistem lain. Semestinya kita tinggal mempelajari sunnah Nabi ﷺ dan berusaha mengikutinya. Keyakinan inilah yang penting disampaikan kepada umat. Supaya mereka tidak salah arah dalam merespon kebuntuan. Agar perjuangan mereka mengikuti sunnah Nabinya, tidak hanya sekadar tuntutan perubahan. Bukan hanya ganti orang, tapi harus mengubah kepemimpinan dengan sistem pemerintahan yang sudah dicontohkan baginda Nabi ﷺ.  Sistem ini dalam fikih dikenal dengan nama Khilafah Islamiyah.

Penutup Maulid adalah momen untuk menunjukkan komitmen kita untuk siap mengikuti sunah Rasulullah ﷺ, termasuk urusan kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Maulid adalah waktu untuk membuktikan bahwa kita layak disebut umat baginda Nabi ﷺ yang akan mendapat syafaat beliau kelak di akhirat. Kita bermohon pada Allah agar tidak termasuk golongan yang membenci sunnah beliau saw., yang akan dikeluarkan dari golongan umat Rasulullah ﷺ.  Na’udzubillahi mindzalika. [SM/Ah]