Oleh Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini – Dalam kunjungan safari dakwah di Luwuk Kabupaten Banggai, Ustad Abdul Somad (UAS) diundang oleh Yayasan Ponpes Al-Murad yang merupakan milik keluarga besar Sulianti Murad (Calon Bupati Banggai).
Diwartakan oleh Banggairaya.id, 23-8-2024, di sana beliau menggelar dialog bersama jamaah masjid Ponpes Al-Murad. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh jamaah kepada ustad kondang ahli ilmu hadis dan fikih ini adalah tentang hukum kepemimpinan seorang perempuan dalam agama Islam. Pertanyaan ini muncul berkenaan dengan salah satu calon bupati Banggai yang notabene seorang perempuan bernama Sulianti Murad.
Ustad kondang ini kemudian menjawab bahwa “Ijtihad para ulama, membolehkan perempuan menjadi pemimpin di era modern, karena kekuasaannya tidak absolut,” kemudian beliau juga menjelaskan bahwa di beberapa daerah, kepemimpinan perempuan terbukti sangat detail, lebih teliti, cekatan, dan lebih semangat.
Lalu, benarkah perempuan boleh menjadi pemimpin di era modern saat ini karena dianggap lebih baik? Apakah larangan perempuan menjadi pemimpin di masa Rasulullah saw. dan para sahabat semata-mata karena perempuan kurang kompeten?
Gagasan yang Menyesatkan
Kedudukan seorang pemimpin di dalam Islam, mereka akan melaksankan tugas untuk menerapkan aturan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga jabatan ini dianggap sah di mata hukum dan legal secara syar’i ketika memenuhi syarat-syarat berikut: (1) muslim, (2) laki-laki, (3) balig, (4) berakal, (5) adil, (6) merdeka dan (7) mampu.
Sayangnya, di era modern yang makin berkembang saat ini, salah satu syarat kepemimpinan yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki oleh syariat Islam. Ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan bertentangan dengan isu gender. Kaum gender terus berkampanye menolak hukum syarak yang melarang perempuan menjadi pemimpin.
Terutama ketika perempuan disimbolkan sebagai makhluk yang lemah, emosional dan tidak memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan. Maka tuduhan ini dianggap sangat merugikan perempuan karena sejatinya menurut mereka, perempuan juga memiliki potensi dan intelektualitas untuk menjadi pemimpin seperti halnya laki-laki.
Kedudukan perempuan dan laki-laki sebagai subjek manusia, semestinya tidak ada diskriminasi. Perempuan juga memiliki potensi dan intelektualitas yang sama dengan laki-laki. Artinya dalam pandangan para pengusung gender, laki-laki dan perempuan keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi tujuan dari kepemimpinan adalah demi meraih kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat.
Dengan demikian, perempuan juga berhak menjadi pemimpin karena perempuan juga memiliki potensi, kemampuan dan intelektualitas yang sama dengan laki-laki. Mereka terus mempropagandakan beragam ide dan gagasan ke tengah-tengah masyarakat. Dengan menakwil ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis sehingga diperoleh satu hukum berbasis gender tentang kebolehan/kelayakan perempuan menjadi penguasa (pemimpin).
Inilah isu dan ide yang terus dilontarkan kepada masyarakat agar terus diperjuangkan sehingga melahirkan berbagai kebijakan dalam sistem pemerintahan sekuler kapitalisme.
Hukum Perempuan Menjadi Pemimpin
Sayangnya, pemaksaan gagasan dan ide ini, bukan hanya ditujukan kepada rakyat. Akan tetapi juga telah berhasil merasuk ke benak para ulama rujukan umat. Tentu saja jika hal ini dibiarkan, akan sangat berbahaya. Selain menjadikan perempuan harus bersaing dengan kaum laki-laki dalam memperebutkan kekuasaan yang bukan menjadi haknya.
Pemaksaan ini juga telah berhasil diteken dalam berbagai supremasi hukum melalui pasal-pasal yang memberikan ruang kepada perempuan agar bisa menjadi pemimpin. Padahal ini sangat bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw.
Hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin, telah diriwayatkan oleh Abi Bakrah. Ketika telah sampai kepada Rasulullah saw. berita tentang orang-orang Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin mereka, maka Rasulullah saw. bersabda;
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Artinya: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhari)
Hadis ini sekalipun bentuknya al-ikhbar (pemberitahuan) atau khabar (kalimat berita), tetapi merupakan indikasi adanya larangan memberikan kekuasaan kepada perempuan (imra’atan). Terlebih lagi adanya “dzam” (celaan) berupa “lan yufliha”, kalimat ini sebagai qarinah bahwa larangan tersebut adalah larangan yang bersifat tegas (al-nahyu al-jazim).
Artinya keharaman perempuan untuk menjadi pemimpin (hukam/penguasa) bersifat mutlak dan sepanjang masa tanpa melihat apakah kepimpinannya absolut ataupun tidak. Demikian pula dengan alasan bahwa perempuan lebih cekatan, detail, teliti, dan lebih amanah juga tidak bisa dijadikan dalil yang memunculkan hukum (illat) dari kebolehan perempuan menjadi pemimpin.
Karena sebenarnya, larangan hadis ini hanya berlaku pada bidang kekuasaan saja. Perempuan dilarang untuk memegang jabatan menjadi pemimpin (penguasa) yang akan menjadi wakil umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan dalam rangka menerapkan sistem Islam secara kafah (Khilafah). Baik dia menduduki posisi sebagai kepala negara dengan istilah khalifah, mu’awin (pembantu khalifah), wali (gubernur) atau amil (setingkat bupati/walikota) dan jabatan-jabatan yang termasuk ke dalam pemerintahan (kekuasaan).
Sementara pada bidang-bidang yang lainnya, sesungguhnya Islam telah memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas di ruang publik sesuai dengan potensi dan intelektualitas yang dimilikinya.
Aktivitas Perempuan di Ruang Publik
Dalam kitab “An-nizhamul ijtima’i fi Islam” karya Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan bahwa watak pandangan Islam secara yuristik telah menetapkan aktivitas- aktivitas yang dilakukan oleh manusia secara karakter maupun predikatnya. Maka syariah telah menetapkan bahwa kekuasaan dan pemerintahan sebagai hak laki-laki dan bukan hak perempuan.
Dalam Islam, aktivitas perempuan di dalam kehidupan umum, hukum syarak telah memperbolehkan bagi perempuan untuk melakukan aktivitas tanpa diskriminasi. Termasuk dalam aktivitas memilih para penguasa. Perempuan boleh memilih dan membai’at laki-laki mana pun untuk menjadi khalifah atau para penguasa. Bahkan perempuan juga boleh memilih dan mencalonkan diri menjadi anggota Majelis Ummat, sebab majelis ini tidak memiliki wewenang maupun kedudukan dalam pemerintahan.
Kedudukan Majelis Umat di dalam struktur pemerintahan Islam berfungsi sebagai rujukan negara dalam mengambil pendapat tentang beragam aktivitas dalam negeri yang hendak dilaksanakan oleh negara. Perempuan boleh memberikan pendapatnya atau melakukan berbagai aktivitas muhasabah (mengoreksi para penguasa), terkait aktivitas dan kebijakan yang dilakukan oleh negara di dalam negeri maupun luar negeri.
Artinya di dalam Islam, seorang perempuan diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk berpendapat dan memberikan pandangan terkait segala aspek aktivitas yang bukan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan dan pemerintahan. Seorang perempuan juga boleh menjabat (diangkat) sebagai pegawai negara karena pekerjaan ini hakikatnya adalah pekerja khusus yang bekerja kepada pemerintah.
Perempuan juga boleh menjadi qadhi (hakim) yang menangani urusan peradilan, baik posisinya sebagai qadhi hisbah maupun qadhi qusumat. Karena posisi qadhi ini tidak berkaitan dengan urusan pemerintahan (kekuasaan).
Berbeda halnya dengan posisi qadhi mazhalim. Untuk masalah yang berkaitan dengan qadhi mazhalim maka perempuan tidak boleh menduduki jabatan ini karena termasuk ke dalam urusan pemerintahan.
Khatimah
Polemik terkait larangan kepemimpinan perempuan di dalam kekuasaan dan pemerintahan adalah upaya Barat untuk merongrong kehidupan dan fitrah perempuan. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai hamba, berhenti pada batasan hukum-hukum yang sudah disyariatkan-Nya, tidak melampaui batas apalagi terus berusaha menghujatnya.
Setiap hukum syarak, baik ditujukan kepada laki-laki saja atau perempuan saja, atau bagi manusia secara umum harus diterima sebagai aturan dari Allah SWT. sebagai Al-Khaliq dan Al-Mudabbir. Pencipta manusia yang Mahatahu aturan yang terbaik bagi manusia tanpa harus memandang posisinya sebagai perempuan atau laki-laki.
Demikian pula dengan para ulama dan tokoh masyarakat, semestinya mereka berada di tengah-tengah umat untuk berdakwah menyampaikan hukum-hukum syariat dan sistem Islam secara kafah. Mendorong dan membangkitkan kesadaran umat untuk memahami Islam dan kembali kepada ketentuan hukum-hukum syarak dengan sikap taat dan penuh keimanan.
Dengan demikian, upaya-upaya akal yang menganggap setiap aktivitas harus berdasarkan pada persamaan demi merealisasikan keadilan bagi laki-laki dan perempuan sejatinya itu perbuatan yang melampaui batasan syarak yang salah dan akan menyebabkan kerusakan bagi kehidupan.
Whallahualam bishsawab.[] [SM/Ln]