Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga— Marriage is scary. Narasi ini tengah booming, seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, krisis fungsi qawwamah suami, kriminalitas, perselingkuhan, hingga perceraian yang berseliweran di berbagai platform media sosial. Dan salah satu perkara yang kerap diperdebatkan terkait perceraian adalah persoalan kepemilikan harta bersama atau harta gana-gini.
Dalam sebuah tulisan yang diunggah di sebuah situs resmi ber-genre feminisme gender dinyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang dihasilkan dari usaha masing-masing suami-istri, atau salah satu dari mereka, ketika dalam ikatan perkawinan. Harta yang dimiliki masing-masing sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing dan tidak menjadi harta bersama hanya karena ikatan perkawinan. Harta yang diperoleh dari waris atau hibah, sekalipun dalam ikatan pernikahan, juga tidak menjadi harta bersama, tapi menjadi harta milik pribadi suami atau istri.
Gagasan harta bersama yang sudah dimasukkan dalam UU Perkawinan Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991 ini, dianggap sebagai terobosan untuk memberikan perlindungan ekonomi bagi perempuan (istri) yang memilih, atau karena faktor tertentu, tidak bekerja menghasilkan uang dari luar rumah. Dan mereka juga menyatakan bahwa terobosan ini tidak akan berarti sama sekali jika relasi antara suami istri atau antara anggota keluarga tidak setara dan timpang.
Kental Aroma Gender Feminisme Sekuler
Narasi yang dibangun ini sungguh kental dengan aroma gender feminisme yang sekuler. Hal ini kian tampak pada apa yang pernah dinyatakan oleh salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Badriyah Fayumi, Lc. M.A. yang menjelaskan bahwa harta gana-gini adalah hukum adat yang diangkat dan dimasukkan ke dalam wilayah pemasukan hukum Islam dengan metodologi istishlah dan ‘urf yang sesuai dengan kaidah al-‘adah muhakkamah (adat yang tidak bertentangan dengan syariat bisa dijadikan hukum).
Dan harta gana-gini tersebut merupakan konsekuensi logis dari proses yang dibangun dalam sebuah keluarga yang disangga bersama oleh suami dan istri. Ketika keduanya ada dalam sebuah pernikahan, mereka terikat dalam sebuah perkongsian (syirkah) dengan perannya masing-masing. Bisa jadi suami yang bekerja dan istri yang mengelola distribusi harta, bisa jadi keduanya bekerja bersama-sama sehingga penghasilanya adalah jerih payah berdua, dan bisa juga masing-masing bekerja dan saling membantu dalam menghidupi keluarga. Maka jika salah satu meninggal, atau terjadi perceraian, sangat logis jika masing-masing berhak atas setengah dari harta tersebut dengan asumsi bahwa kontribusi keduanya sangat penting. Dan hal itu dianggap sebagai ijtihad yang tidak bertentangan dengan syariat serta sesuai dengan prinsip kemaslahatan, keadilan, dan konsep makruf dalam Al-Qur’an. (Mubadalah[dot]id, 29/7/2020).
Secara implementatif, persoalan harta gana-gini dalam konsep gender feminisme yang sekuler itu, memang mensyaratkan adanya kehidupan suami-istri yang dijalankan dengan relasi yang setara dan tidak timpang. Inilah paradigma khas gender feminisme yang kini diaruskan dengan narasi lebih soft dan tampak lebih islami, yang mereka sebut dengan konsep mubadalah, yaitu pola relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh KH. Husein Muhammad, kiai yang aktif memperjuangkan keadilan gender dalam perspektif Islam, dalam situs resmi Mubadalah[dot]id, bahwa “Pola relasi kesalingan tersebut hanya bisa kita jalankan manakala kehidupan bersama ini memiliki dasar pada prinsip kesetaraan dan keadilan, bukan dominasi dan subordinasi satu atas yang lain”. Dia juga menyatakan, “Maka perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dimaksudkan sebagai dasar dan jalan menuju terciptanya hubungan mubadalah, kesalingan (resiprokal) antara laki-laki dan perempuan dan antar manusia, dan dalam berbagai aspek kehidupan”.
Mubadalah ini sebenarnya adalah istilah yang digunakan untuk sebuah metode interpretasi terhadap teks-teks sumber Islam yang menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang setara, yang keduanya disapa oleh teks dan harus tercakup dalam makna yang terkandung di dalamnya. Spiritnya adalah kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan demi mewujudkan maqashid asy-syari’ah (tujuan pensyariatan Islam) yaitu keadilan, kearifan, kasih sayang, dan maslahat. Empat hal inilah yang menjadi akar inspirasi perspektif mubadalah dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Ironisnya, perkara maqashid asy-syari’ah itu ditakar dan didefinisikan semaunya oleh akal manusia yang terbatas, hingga membawa pada sikap lancang menakwilkan teks-teks sumber syariat Islam secara bebas dengan asas perspektif gender feminisme yang jelas bertentangan dengan Islam. Misalnya keadilan, mereka maknai sebagai ‘kesamaan dalam hak dan kewajiban’, termasuk dalam persoalan harta gana gini, dimana masing-masing suami istri mendapat setengah dari harta yang diperoleh dalam pernikahan mereka tanpa membedakan siapa yang memperolehnya.
Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Jilid 3, maqashid asy-syari’ah itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan hukum Islam yang ditetapkan berdasarkan dalil syariat, bukan karena maqashid asy-syari’ah. Maka, ketika hukum syarak diterapkan secara sempurna, akan terwujudlah maqashid asy-syari’ah. Bukan malah menjadikan maqashid asy-syari’ah sebagai illat (hal yang memunculkan hukum) sehingga apabila maqashid asy-syari’ah tidak ada maka hukumnya pun jadi hilang, bahkan dirubah sesuai kehendak akal manusia yang lemah.
Seperti konsep kepemilikan harta bersama atau harta gana gini bagi suami istri. Dalam pandangan gender feminisme, demi mencapai maqashid keadilan, harta gana gini harus dibagi dua sama bagian antara suami istri, sebagai konsekuensi perkongsian keduanya dalam keluarga, dengan asumsi keduanya punya andil yang sama. Padahal secara syar’iy tidak demikian ketentuan hukumnya.
Di sinilah letak kebatilan dan bahaya konsep mubadalah ala gender feminisme bagi umat. Ide kesetaraan dan keadilan yang diusung, meniscayakan pada perubahan bahkan penghapusan syariat Islam, pengabaian dalil-dalil syariat, bahkan mendistorsi peran Allah Ta’ala sebagai Musyarri’ (pembuat hukum) dan menjadikan akal manusia sebagai pembuat hukum. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT, “… Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al Maidah: 44).
Konsep Harta Gana–Gini dalam Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), harta gana-gini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami-istri. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama, harta gana-gini disebut dengan istilah harta kekayaan dalam pernikahan. Dan dalam pasal 1 ayat f didefinisikan sebagai harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama ikatan perkawinan berlangsung… tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa harta gana-gini adalah harta benda yang diperoleh oleh suami-istri selama pernikahan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami-istri tersebut. Implikasinya, harta yang sudah dimiliki oleh suami atau istri sebelum mereka menikah, demikian juga mahar istri, warisan, hadiah, dan hibah milik istri atau suami, semuanya itu tidak termasuk harta gana-gini.
Dan jika kita telusuri, realitas kepemilikan harta suami dan istri dalam masa pernikahan keduanya, tidak lepas dari tiga kategori, pertama, harta milik suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan istri pada harta tersebut. Misalkan harta yang didapatkan dari hasil kerja suami selain dari nafkah yang diberikan pada istri. Atau harta yang dihibahkan orang lain pada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan pada suami dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja istri, mahar istri, harta yang telah dihadiahkan oleh suami pada istri, atau harta yang dihibahkan orang lain pada istri secara khusus, atau harta yang diwariskan pada istri dan sebagainya.
Ketiga, harta milik bersama suami dan istri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang pada suami dan istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami-istri secara patungan dari uang mereka berdua, dan sebagainya.
Harta kategori ketiga inilah yang dapat disebut sebagai harta gana-gini. Yaitu harta milik bersama suami-istri selama keduanya dalam ikatan pernikahan. Dan dalam fikih Islam, kepemilikan harta bersama seperti ini disebut dengan istilah syirkah amlaak. Yaitu kepemilikan bersama atas suatu benda. Contohnya, kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua orang, atau harta yang dibeli secara patungan oleh dua orang, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada dua orang itu, dan yang sejenisnya. (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishodi fii Al-Islam, Hal. 150).
Maka, jika terjadi perceraian pada pasangan suami-istri tersebut, sejatinya syariat Islam tidak menetapkan adanya pembagian harta gana-gini dengan pembagian yang fixed (tsabit), misalkan masing-masing suami dan istri mendapatkan separuhnya atau 50% dari gana-gini. Sebab memang tidak ada nash syarak (baik dari Al-Qur’an maupun hadis) yang dapat dijadikan hujjah, yang mewajibkan pembagian sama besar seperti itu. Namun pembagiannya berdasarkan pada kesepakatan antara suami dan istri tersebut, yaitu dengan musyawarah atas dasar saling ridha. Inilah yang disebut sebagai ash-shulhu (perdamaian) di antara suami dan istri. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis, dari “Amr bin ‘Auf al-Muzni ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yaang mengharamkan yaang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin (bertindak) sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yaang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi) (Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/463, Hadis No. 2325, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/246, Hadis No. 821).
Dan Imam Ash-Shan’ani menjelaskan hadis tersebut dengan mengatakan, “Para ulama telah membagi ash-shulhu (perdamaian) menjadi beberapa macam, (yaitu) perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang bertahkim pada qadhi’ (hakim), perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama (amlaak) dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh fuqoha pada bab ash-shulhu (perdamaian).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/247).
Jadi dapat disimpulkan bahwa jika suami-istri bercerai dan hendak membagi harta gana-gini di antara mereka, dapat dilakukan dengan musyawarah melalui jalur ash-shulhu (perdamaian). Sebab salah satu jenis perdamaian yang dibenarkan oleh hukum syarak adalah ash-shulhu baina az-zaujaini, yaitu perdamaian antara suami dan istri tatkala ada persengketaan mengenai hartaa bersama (amlaak). Besarannya dapat disepakati antara kedua pihak. Boleh suami istri masing-masing mendapatkan 50%. Boleh suami mendapat 30% dan istri mendapat 70%. Boleh juga suami mendapat 70% dan istri mendapat 30%. Dan boleh juga dengan pembagian prosentase lainnya yang disepakati oleh keduanya berdasarkan sikap saling ridha serta mempertimbangkan kemaslahatan bagi mereka dan keluarga.
Dan yang penting dicatat adalah penetapan pembagian harta gana-gini tersebut semata-mata bentuk penunaian ketentuan hukum syarak yang berasal dari Allah Ta’ala. Tidak ada tendensi kemanfaatan yang diukur dengan standar akal manusia. Tidak ada motif menguntungkan salah satu pihak dan mengabaikan pihak yang lainnya. Dan juga tidak ada tendensi melanggengkan ketimpangan pola relasi laki-laki dan perempuan, ketidakadilan serta subordinasi pada perempuan seperti yang dituduhkan oleh pengusung gender feminisme mubadalah secara keji terhadap syariat Islam. Karena semua ketetapan tersebut adalah bagian dari hukum syarak yang datang dari Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Baik dan Maha Mengetahui terhadap kebaikan setiap hamba.
Ketika saat ini ada upaya menormalisasi pembagian harta gana-gini suami istri dengan ketentuan sama rata dengan alasan demi keadilan dan kesetaraan ala gender feminisme yang sekuler, tentu hal itu harus ditolak karena bertentangan dengan hukum syarak. Terlebih pihak gender feminisme telah keliru memahami fakta, bahwa semua ketimpangan dan ketidakadilan pada perempuan itu nyatanya bukan karena Islam, dan tidak lahir dari masyarakat Islam. Tapi buah dari penerapan sistem hidup sekuler kapitalisme yang memang rusak, merusak dan telah terbukti gagal menghadirkan keadilan dan kebaikan pada masyarakat dunia. Korbannya bukan hanya perempuan saja, tapi kaum laki-laki juga, bahkan seluruh masyarakat dunia.
Pengusung gender feminisme juga telah gagal paham terhadap kehendak syariat Islam yang justru menjamin kemuliaan, kehormatan dan keadilan bagi setiap hamba baik laki-laki maupun perempuan, dan meniscayakan terwujudnya kemaslahatan bagi semuanya, ketika syariat Islam ditegakkan dan dilaksanakan secara kaffah dan sempurna.
Maka, jika menghendaki terwujudnya kembali kehidupan masyarakat yang adil dan berkah, jauh dari ketimpangan dan kezaliman, ada jaminan penuh bagi kemuliaan dan kehormatan perempuan serta masyarakat seluruhnya, dunia wajib meninggalkan sistem hidup sekuler kapitalistik. Mencampakkan ide dan ajaran yang batil dan rusak seperti gender feminisme dan seluruh ide sekuler lainnya. Dan segera kembali pada kehidupan Islam yang kaffah. Untuk itu, harus ada aktifitas dakwah Islam politik dan ideologis yang diemban secara berjamaah dan terarah, menuju terwujudnya kembali masyarakat Islam dalam naungan Khilafah. [SM/Ah]