Suaramubalighah.com, Opini — Sejak moderasi beragama dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, seolah apa pun persoalannya, moderasi beragama solusinya. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga kampung-kampung, berbagai instansi, dan lembaga pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan, didorong menjalankan proyek moderasi beragama.
Baru-baru ini, Direktorat Pendidikan Agama Islam Kemenag bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) melakukan penilaian terkait 40 naskah. Naskah ini terdiri atas buku teks utama PAI dan Budi Pekerti untuk siswa, guru, bahkan buku ajar PAI khusus perguruan tinggi umum (PTU). Dirjen Pendidikan Islam Abu Rokhmad menjelaskan buku-buku baru ini sangat ditunggu oleh seluruh guru PAI. “Hadirnya 40 buku ini juga menjadi bukti nyata hadirnya negara di sekolah-sekolah. Meski mata pelajaran PAI hanya diajarkan dua jam dalam seminggu, mudah-mudahan buku-buku ini bisa dioptimalkan penggunaannya dan bisa berdampak pada cara beragama anak-anak di sekolah, yakni cara beragama yang toleran dan moderat,” ucapnya.
Ia berharap buku ini juga bisa membendung lajunya paham keagamaan yang ekstrem dan intoleran di ranah pendidikan. Sejumlah riset menunjukkan sekolah-s,,ekolah dan perguruan tinggi umum menjadi salah satu tempat munculnya kelompok-kelompok intoleran. (Detik, 2-10-2024).
Pertanyaannya, benarkah persoalan pendidikan (termasuk di dalamnya persoalan generasi hari ini) disebabkan oleh pemahaman agama yang ekstrem dan sikap intoleran? Mampukah buku PAI dengan muatan moderasi beragama menjawab persoalan karut-marutnya dunia pendidikan dan generasi hari ini?
—
Salah Membaca Akar Persoalan
Rendahnya literasi dan ketakmandirian dalam bersikap serta tidak jelasnya arah pendidikan bangsa ini menyebabkan ketakmampuan dalam merumuskan akar persoalan bangsa yang otomatis tidak mampu menyelesaikan persoalannya. Persoalan pokok pendidikan khususnya persoalan generasi bukan disebabkan sikap beragama mereka yang katanya ekstrem dan intoleran, tetapi karena beberapa hal.
Di antaranya pertama, arus liberalisme dan sekularisme yang sangat deras tanpa negara mampu membendungnya, penyebab moralitas dan akhlak generasi hancur. Kedua, kesulitan ekonomi akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menyebabkan kekayaan hanya berputar pada kalangan elite, sedangkan masyarakat termiskinkan secara struktural.
Dalam sebuah artikel di website Yayasan Bangun Kecerdasan Bangsa (YBKB), 10 masalah remaja yang dihadapi Gen Z dan Gen Alpha saat ini adalah sebagai berikut. 1) Gangguan kesehatan mental, 2) pengaruh media sosial, 3) konten kekerasan di media, 4) bullying dan cyberbullying, 5) tekanan sosial (bullying dan tekanan sosial merupakan salah satu masalah remaja yang rentan dihadapi pada era digital), 6) obesitas dan masalah kesehatan, 7) permasalahan akademik, 8) penggunaan alkohol dan narkoba, 9) aktivitas seksual dan risiko kesehatan, dan 10) kecanduan judi online. (Sumber: YBKB, 4-10-2024).
Berdasarkan hasil survei dari Good News from Indonesia (GNFI) bersama Lembaga Survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada 7—22 Juli 2022, 10 permasalahan utama di Indonesia menurut perspektif pemuda Gen Z (17—24 tahun) dan Gen Y (25—40 tahun) di 11 kota besar di Indonesia adalah korupsi, harga kebutuhan pokok, krisis ekonomi, pengangguran, kebijakan pemerintah, penegakan hukum tidak adil, kemiskinan, krisis moralitas, kualitas pendidikan, dan intoleransi.
Dari survei ini saja, persoalan intoleransi bukan persoalan utama yang dikhawatirkan oleh masyarakat. Artinya ketika dikatakan bahwa hadirnya buku PAI yang bermuatan moderasi beragama sebagai bukti hadirnya negara di sekolah, sejatinya untuk kepentingan siapa?
—
Moderasi Beragama Agenda Penjajah Barat
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia sedang memasuki masa bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2030. BPS (2022) memproyeksikan bahwa penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 318,96 juta jiwa dengan sekitar 69,3% berusia produktif. Potensi yang sangat besar ini tentu berpeluang untuk kebangkitan Islam sekaligus juga tantangan dan ancaman bagi penjajahan negara kapitalisme.
Penjajah Barat berusaha keras agar potensi pemuda dalam genggamannya. Salah satu caranya dengan proyek moderasi beragama. Moderasi beragama digaungkan baru pada 2000-an. Atas nama moderasi, ajaran Islam dipaksa tunduk pada nilai-nilai Barat yang sekuler, seperti HAM, inklusivisme, kesetaraan, pluralisme, toleransi, dan sejenisnya. Narasi radikalisme selalu menjadi alasan utama. Seakan-akan radikalisme adalah akar dari seluruh problem pemuda dan negara sehingga solusinya adalah dengan memoderasi ajaran Islam.
Moderasi beragama tidak lepas dari rancangan penjajah Barat di negeri muslim untuk mengadang kebangkitan Islam. Moderasi beragama digagas oleh RAND Corporation sebagai bagian dari rekayasa global. Proyek ini merupakan kelanjutan dari proyek war on terrorism (WoT) yang sejatinya merupakan perang melawan ideologi Islam dan para pengembannya. Melalui proyek ini, mindset umat Islam diubah agar tidak lagi berpandangan buruk terhadap Barat beserta nilai-nilainya.
Pada saat yang sama, mereka kehilangan kepercayaan diri sebagai muslim yang selalu terikat pada agamanya dan siap memimpin dunia. Itulah sebabnya hari ini banyak pemuda muslim yang bangga dengan identitas muslim moderat dan inklusif. Mereka rela berkompromi dengan kekufuran dan kebatilan, bahkan menjadi pelakunya. Namun pada saat yang sama, sangat anti terhadap ajaran Islam kafah dan pengembannya.
Mereka menyebut Islam yang dimoderasi sebagai Islam ramah, inklusif, dan berkemajuan. Sementara itu, Islam kafah distigma sebagai Islam marah, eksklusif, dan terbelakang. Oleh karenanya, alih-alih menjadi solusi bagi problem pemuda, proyek moderasi Islam justru menjadi pengukuh kerusakan dan penjajahan.
Tidak heran, jika di lapangan (atas nama toleransi), kaum muslim yang mayoritas ini harus tunduk bahkan menghinakan diri di hadapan kaum minoritas. Jika ada benturan muslim dan nonmuslim, yang selalu disalahkan adalah umat Islam. Umat Islam yang menginginkan kehidupan diatur sesuai syariat Islam pun dicap radikal dan intoleran yang alasan sering kali tidak masuk akal. Demikianlah sejatinya moderasi beragama.
—
Butuh Solusi Kafah
Persoalan darurat pada generasi hari, seperti narkoba, judi online, seks bebas, hingga prostitusi, tawuran, kekerasan fisik (bullying) hingga kekerasan seksual, dll. adalah akibat dari penerapan sistem sekuler liberalisme dan sistem ekonomi kapitalisme.
Walhasil, hadirnya 40 buku PAI bermuatan moderasi beragama yang diajarkan dua jam pelajaran selama sepekan, tidak akan mampu menyentuh akar persoalannya. Alih-alih memberi solusi, diduga kuat justru menambah masalah dan menambah beban karena harus menyampaikan Islam sesuai keinginan penjajah Barat.
Solusi yang umat Islam butuhkan untuk menyelesaikan persoalan generasi adalah akidah Islam yang kukuh dan pemahaman, serta penerapan syariat Islam yang menyeluruh dalam sistem politik yang kondusif, yakni sistem Khilafah Islamiah
Mekanisme Khilafah untuk melahirkan generasi muslim yang berkepribadian Islam, bertakwa, visioner, dan calon pemimpin masa depan di antaranya dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis pada akidah Islam.
—
Gambaran Sistem Pendidikan Khilafah
Sistem pendidikan dalam sistem Khilafah bertujuan mencetak generasi muslim yang berkepribadian Islam (syakhsiah islamiah). Oleh karenanya, kurikulum dan buku/bahan ajar harus berbasis akidah Islam, juga mengajarkan dan memahamkan Islam kafah, di samping membekali siswa pada jenjang tertentu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam mengembangkan kehidupan sehingga menjadi bangsa yang maju pemimpin peradaban dunia.
Untuk itu, harus dibangun sistem pendidikan yang kuat dan mandiri berbasis akidah Islam dan dijauhkan dari infiltrasi ideologi Barat yang sekuler dan kapitalistik. Selain itu juga harus disiapkan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar yang profesional.
Dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam inilah akan lahir generasi berkepribadian Islam, bertakwa, produktif, dan cemerlang. Profil generasi muslim seperti ini tidak akan pernah lahir dari pendidikan yang sekuler (moderat).
Pendidikan berkualitas yang mampu melahirkan generasi hebat harus ditopang oleh perekonomian yang kuat agar mampu menyediakan fasilitas dan pembiayaan pendidikan yang cukup. Hal ini tentu membutuhkan penerapan sistem ekonomi Islam. Di sinilah letak peran negara Khilafah Islamiah dalam mewujudkan generasi yang berkualitas melalui mekanisme sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam dengan penerapan Islam kafah dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, umat Islam saat ini sangat membutuhkan hadirnya sistem Khilafah agar semua bidang kehidupan berjalan dengan baik dan keberkahan diturunkan dari langit. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96). Wallahu ‘alam.
Sumber: muslimahnews.net
[SM/Ln]