Oleh. Ummu Fahri
Suaramubalighah.com, Opini – Proyek moderasi beragama mengintegrasikan aspek spiritual dan pelestarian lingkungan dengan prinsip-prinsip Islam moderat seperti tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Prinsip-prinsip ini diterapkan untuk menjaga keseimbangan alam. Salah satu langkah konkret adalah acara “Rawat Bumi: Tebar Moderasi,” yang diadakan pada 24 September 2024 oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang. Acara ini bertujuan mempererat harmoni sosial melalui kepedulian terhadap lingkungan. Dalam upaya ini, pesantren juga dilibatkan untuk aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan, termasuk program daur ulang sampah, sehingga pendidikan agama di pesantren mencakup kesadaran akan isu lingkungan (berita.apripusat.or.id, 24-09-2024).
Narasi moderasi beragama telah berkembang menjadi lebih dari sekadar tataran spiritual; ia kini merambah isu-isu lingkungan. “Rawat Bumi: Tebar Moderasi” adalah gerakan yang menggabungkan nilai-nilai moderasi dalam Islam dengan aksi peduli lingkungan. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya masih terfokus pada tindakan kecil untuk sekedar membersihkan kerusakan akibat eksploitasi sumber daya alam maupun pembangunan infrastruktur yang kapitalistik yang mengabaikan penjagaan lingkungan hidup.
Pelestarian lingkungan tanpa menghentikan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan yang kapitalistik hanyalah sebuah ilusi. Mengapa demikian?
Kerusakan Lingkungan akibat Penerapan Sistem Kapitalisme
Faktanya, deforestasi di Indonesia menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara data yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan data dari Global Forest Watch (GFW). Menurut KLHK, deforestasi pada periode 2021-2022 tercatat sebesar 104 ribu hektare, menurun dari 113,5 ribu hektare pada periode sebelumnya. Namun, di sisi lain, data dari GFW menunjukkan bahwa kehilangan hutan primer di Indonesia sejak tahun 2001 telah mencapai 10.295.005 hektare, dengan peningkatan kehilangan hutan primer pada tahun 2022 menjadi sekitar 230 ribu hektare (betahita.id, 20-02-2024).
Di Indonesia, dampak eksploitasi sumber daya alam oleh kapitalis global terlihat jelas, seperti kerusakan hutan di Papua yang diakibatkan oleh perusahaan tambang besar. Penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi penyebab tanah longsor dan banjir bandang, pembangunan infrastruktur tanpa adanya amdal yang baik juga menjadi penyebab banjir , dan masih banyak lagi kerusakan kerusakan lingkungan lainnya.
Negara seperti menutup mata atas kesewang-wenangan para kapitalis tersebut. Bahkan kebijakan/regulasi negara justru berpihak kepada para kapitalis, seperti UU Cipta kerja (Omnibus Law) maupun UU Minerba. Bahkan penderitaan rakyat akibat perubahan iklim dan bencana alam, terkadang masih dimanfaatkan untuk meraup keuntungan yang terus mengalir ke tangan korporasi yang berafiliasi dengan kepentingan asing, seperti proyek-proyek pengelolaan sampah, reklamasi hutan, proyek tentang iklim, dll .
Kritik terhadap Pelestarian Lingkungan ala Moderasi Beragama
Moderasi beragama biasanya dipahami sebagai pendekatan positif terhadap lingkungan, tetapi sering kali hanya terbatas pada tindakan permukaan seperti daur ulang sampah dan penanaman pohon. Masalah utama yang mengancam keberlanjutan lingkungan, seperti eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi global, sering terabaikan. Penebangan hutan ilegal dan praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan yang lebih serius.
Gerakan moderasi beragama cenderung mengalihkan tanggung jawab pelestarian lingkungan kepada masyarakat, yang justru menjadi korban dari kerusakan yang dilakukan oleh perusahaan besar(korporasi) yang didukung oleh kebijakan negara. Pendekatan ini sering hanya menyentuh aspek permukaan, tanpa memberikan solusi yang efektif untuk melawan kepentingan kapitalisme yang merusak sumber daya alam. Hal ini menjadikan moderasi beragama tampak lebih sebagai retorika tanpa penerapan syariat yang jelas.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Syari’at
Penjagaan dan pelestarian lingkungan butuh solusi yang mendasar dan menyeluruh. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah persoalan lingkungan dapat diatasi secara tuntas.
Islam akan mengatur kepemilikan kekayaan alam sesuai dengan tuntutan Allah SWT dan Rasulullah saw.
Ibnu Majah menyampaikan riwayat dari Abdullah bin Said, yang mendengar dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, lalu dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, yang merujuk kepada Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاء وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram. (HR Ibnu Majah)
Islam menetapkan bahwa sumber daya alam yang vital seperti air, hutan, dan mineral adalah milik umum yang tidak boleh diprivatisasi atau dimonopoli oleh individu atau perusahaan swasta. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya ini untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir elit ekonomi.
Islam juga memberikan pedoman yang komprehensif dalam pengelolaan sumber daya alam dan seharusnya tidak diserahkan kepada swasta yang tidak berkomitmen pada keadilan lingkungan. Oleh karena itu, perlu ada peninjauan kembali terhadap moderasi beragama dalam konteks pelestarian lingkungan, dengan mengedepankan pengelolaan yang berlandaskan pada syariat Islam. Hal ini penting agar tanggung jawab pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi beban masyarakat, tetapi juga melibatkan pelaku utama kerusakan dalam upaya memperbaiki kondisi lingkungan.
Solusi Islam untuk Pelestarian Lingkungan
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh. Negara harus berperan aktif dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam sesuai dengan syariat, di mana keuntungan dari sumber daya alam digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya segelintir kapitalis. Ini termasuk kebijakan larangan privatisasi sumber daya vital dan pembentukan zona konservasi berbasis ajaran Islam, seperti konsep hima.
Rasulullah saw. bersabda, “Tempat tinggal yang paling nyaman adalah hima, seandainya di sana tidak ada banyak ular” (HR Nasa’i).
Dr. Syauqi Abu Khalil, dalam bukunya Athlas al-Hadith Al-Nabawi, menjelaskan bahwa hima yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah nama sebuah lokasi pada zaman Rasulullah yang memiliki padang rumput. Dia menegaskan bahwa area tersebut tidak boleh digunakan untuk menggembala. Pada masa Nabi saw. terdapat beberapa hima, seperti Hima ar-Rabadzah dan Hima an-Naqi. Hima an-Naqi berada di dekat Madinah dan digunakan sebagai tempat bagi kavaleri, di mana umat Islam menggembala kuda-kuda mereka (republika.co.id, 26-11-2022).
Sudah saatnya kita menolak narasi moderasi beragama yang hanya berfungsi untuk melanggengkan kepentingan kapitalis global. Sebaliknya, kita harus memperjuangkan penerapan syariat Islam secara komprehensif, di mana sumber daya alam dikelola oleh negara dengan keadilan untuk kemaslahatan seluruh umat. Hanya dengan cara ini kita dapat menjaga kelestarian lingkungan dan memutus rantai eksploitasi yang merusak. Allahu’alam bishshawab.
[SM/Ln]