Cegah Kawin Anak, Upaya Global Menekan Kelahiran Muslim

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini — Pencegahan perkawinan anak telah menjadi proyek prioritas pemerintah dalam beberapa tahun ini. Nampak pada dijadikannya hal tersebut sebagai proyek nasional yang masuk RPJMN 2020-2024. Ada apa dengan perkawinan anak? Benarkah itu sebuah permasalahan atau ada akar masalah yang sebenarnya? Bagaimana Islam mengatasi masalah tersebut?

Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian. Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.

Data UNICEF 2023 menyebutkan, Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa, menjadikan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak tertinggi.

Kementerian PPN/ Bappenas menyebut pandemi Covid-19 mengakibatkan sekitar 400-500 perempuan usia 10-17 tahun berisiko menikah di usia anak. Peningkatan angka kehamilan tidak direncanakan (KTD) serta pengajuan dispensasi pernikahan atau pernikahan di bawah umur juga terus terjadi.

Arahan Global dan Upaya Pemerintah

Diskursus tentang perkawinan anak mengemuka dalam beberapa tahun terakhir, dimana setelah tujuan pembangunan milinium berakhir pada tahun 2014. Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan target khusus dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menghapus perkawinan anak. Di dalam Agenda SDGs 2030, terdapat SDGs 5 tentang kesetaraan gender, di dalamnya terdapat target 5.3 yang bertujuan untuk “menghilangkan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa. Arahan ini kemudian diratifikasi dan diwujudkan Pemerintah Indonesia dengan berbagai upaya serius, nampak pada masuknya persoalan ini dalam RPJMN 2020-2024.

Sebagai upaya penjabaran arah kebijakan dan strategi RPJMN 2020-2024 mengenai Pencegahan Perkawinan Anak ini ke dalam strategi yang implementatif, Bappenas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang didukung Program Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2), UNFPA, dan UNICEF menginisiasi upaya kolaboratif untuk menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA).

STRANAS PPA terdiri dari lima strategi, yaitu: 1) Optimalisasi Kapasitas Anak; 2) Lingkungan yang Mendukung Pencegahan Perkawinan Anak; 3) Aksesibilitas dan Perluasan Layanan; 4) Penguatan Regulasi dan Kelembagaan; dan 5) Penguatan Koordinasi Pemangku Kepentingan.

STRANAS PPA menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 6,94% pada tahun 2030 sesuai dengan RPJMN dan SDGs. Selain itu, program ini bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting pada balita menjadi 14% pada tahun 2024.

Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak juga diinternalisasikan ke dalam program Kementerian Pendidikan yaitu melalui P5 atau Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Sementara itu, Kementerian Agama, untuk menjalankan program langsung kepada masyarakat, dari mempersiapkan proses calon pengantin (Catin) hingga bimbingan perkawinan (Bimwin). Peran masyarakat dan NGO pun dirangkul untuk ikut mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak.

Selain Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), Pemerintah pun menyusun Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN-PIJAR) dan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD-HI) sebagai program terintegrasi. (kemenkopkm.go.id, 3-08-202)

Kementerian Kesehatan hingga Dinas Kesehatan, juga BKKBN menggencarkan sosialisasi kesehatan reproduksi untuk menurunkan angka kelahiran anak. Narasinya belum ada kesiapan remaja untuk melahirkan dan mempunyai anak. Upaya menekan angka kelahiran dapat dibaca sebagai upaya global menekan jumlah populasi manusia, khususnya di negeri-negeri muslim. Karena Barat menyadari bahwa SDM adalah potensi yang bisa membahayakan kepentingan Barat jika tidak bisa diarahkan Barat.

Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa pencegahan perkawinan anak adalah bagian dari proyek yang dijalankan atas arahan Barat, beserta solusi-solusi yang ditawarkan Barat.

Perkawinan Dianggap Pelanggaran?

Dilansir dari unicef.org, dokumen resmi Unicef menyebutkan bahwa perkawinan anak dianggap sebagai pelanggaran hak-hak anak perempuan dan laki-laki, karena anak-anak rentan kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak. Bagi anak laki- laki, perkawinan anak rentan berdampak buruk tetapi bagi anak-anak perempuan perkawinan tersebut berdampak lebih buruk lagi.

Konsekuensi bagi anak perempuan di antaranya kehilangan kasih sayang sebagai anak, berisiko mengalami kekerasan dan perlakuan salah, meningkatnya ketergantungan ekonomi untuk menopang kehidupannya, kehilangan hak untuk menentukan dalam berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak berkualitas, rentan mengalami diskriminasi serta status sosial yang rendah. Serta sering kali rentan mengalami diskriminasi gender, pelanggaran terhadap hak-haknya sebagai anak perempuan, rentan mengalami kekerasan selama dalam perkawinan, tingginya kematian bayi dan ibu melahirkan.

Pengantin anak memiliki peluang lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran. Perkawinan usia anak memiliki dampak antar generasi. Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahunan. Bayi yang dilahirkan oleh pengantin anak juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk lahir prematur, dengan berat badan lahir rendah, dan kekurangan gizi.

Memperhatikan pendefinisian perkawinan anak di atas, mengesankannya sejajar dengan tindak kriminal karena dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak-hak perempuan maupun laki-laki. Memang betul, bisa jadi fakta-fakta diatas menimpa pada pasangan yang menikah di usia muda, tapi bukan menjadi penyebab pasti. Artinya, permasalahan yang banyak muncul bukan hanya karena persoalan usianya.

Lebih bijaksana jika kita memandang bahwa perkawinan anak sesungguhnya adalah suatu akibat dari situasi dan kondisi atau nilai-nilai pengungkit yang memicu perwujudannya. Dan penyebab dominan adalah pergaulan remaja yang semakin bebas dan faktor kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem kapitalisme.

Di Yogyakarta misalnya, sekitar delapan puluh persen penyebab perkawinan anak adalah kehamilan tidak diinginkan (KTD). Seperti dipaparkan Erlina Hidayati Sumardi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta. (voaindonesia.com, 13-01-2021).

Imron Rosyadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama di Yogyakarta, mengaku lembaga tersebut sering dinilai terlalu mudah mengeluarkan dispensasi. Padahal, jika dirunut surat dispensasi bukan akar masalah dari tingginya angka perkawinan anak saat ini. Melainkan, karena dispensasi nikah justru diberikan karena si anak sudah kadung hamil. Sehingga menjadi dilema tersendiri bagi Pengadilan Agama (PA), sebagai lembaga yang mengeluarkan surat dispensasi perkawinan.

Hal ini menunjukan banyaknya perkawiman anak justru karena ‘terpaksa’ karena anak mengalami kehamilan di luar pernikahan. Dan kondisi ini terjadi tidak lain adalah akibat dari pergaulan bebas, karena diterapkannya sistem sekular, sistem yang memisahkan agama dari urusan kehidupan, baik dalam pergaulan, pendidikan, dan sebagainya.

Lihat saja, anak-anak sudah sejak dini terbangkitkan syahwat, dikarenakan masifnya tayangan atau bacaan yang berisi pornografi dan pornoaksi. Budaya pacaran dianggap biasa. Campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa hajat dianggap normal, bahkan difasilitasi dengan maraknya tempat nongkrong, wisata, dan lainnya.

Sistem pendidikan pun minus dari nilai-nilai agama. Anak-anak tidak diwajibkan untuk terbiasa menutup aurat, menjaga pandangan, menjaga interaksi dengan lawan jenis, dan sebagainya. Bahkan faktanya sekolah yang mewajibkan kerudung malah dipermasalahkan karena dianggap memaksakan keyakinan.

Proyek Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Kespro) untuk mencegah perkawinan anak yang sudah berjalan pun tidak menjadi solusi bagi perilaku gaul bebas pada anak-anak muda, bahkan bisa menjadi bumerang, karena tidak lahir dari nilai-nilai  agama.

Ditambah juga faktor ekonomi atau kemiskinan. Banyaknya pernikahan di usia dini karena dianggap menjadi solusi ekonomi. Agar anak bisa segera lepas dari tanggungan orang tua yang miskin. Tingginya angka kemiskinan sendiri adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Negara gagal menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Terlihat dari pengelolaan SDA alam yang diserahkan kepada swasta, bukan dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BKKBN sendiri mengungkapkan bahwa tren pernikahan dini turun, tapi disisi lain angka seks meningkat. Dikutip dari detikHealth, Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo mengatakan, tren pernikahan atau menikah dini di Indonesia turun dalam 10 tahun terakhir. Dari semua 40 orang dari seribu penduduk, kini berada di angka 26 per seribu.

Namun sayangnya, ujar Hasto, rata-rata usia seks remaja di 15 hingga 19 tahun meningkat. Pada perempuan, tercatat lebih dari 50% yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun, sementara pada laki-laki angkanya lebih tinggi yakni di atas 70%. (detik.com, 8-8-2024).

Maka, seharusnya persoalan sistemik maraknya pergaulan bebas inilah yang menjadi sorotan, bukan menjadikan perkawinan anak sebagai kambing hitam. Seharusnya pergaulan bebas dan kemiskinan yang diberantas, bukan semata mencegah perkawinannya.

Solusi Islam

Berdasarkan pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa permasalahan utama bukan terletak pada perkawinannya, melainkan pada pergaulan bebas pada remaja yang memaksa remaja banyak yg menikah dini dikarenakan sudah kadung hamil duluan. Oleh karena itu, solusinya bukan dengan mencegah perkawinannya, melainkan mencegah dan memberantas pergaulan bebas pada remaja.

Hal tersebut hanya bisa dilakukan dalam sistem islam. Islam memiliki seperangkat aturan mengenai pergaulan laki-laki dan perempuan (nizham ijtima’i). Islam tidak mengekang tidak juga membebaskan. Islam mengatur bagaimana interaksi antara laki-laki dan perempuan agar terjadi kerjasama yang harmonis, buka semata hubungan kejenisan/seksual.

Islam mengatur interaksi laki-laki dan dengan hukum-hukum syariat yang jelas dan rinci. Islam mengharamkan hubungan seksual sebelum pernikahan (lihat QS Al-Isra: 32; An Nur: 2), memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan (lihat QS An-Nur: 30—31), mewajibkan untuk bertindak ifah (menjaga kesucian diri) (lihat QS An-Nur: 33), mewajibkan perempuan untuk menutup aurat dan memakai pakaian sempurna (lihat QS An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59), melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat, dan lain-lain.

Rambu-rambu itulah yang akan membentengi umat, khususnya remaja dari kemaksiatan. Pencegahan berlapis adalah upaya terbaik. Jika pun ada yang melanggar, maka sanksi tegas diterapkan. Hingga sanksi terberat bagi yang sampai berzina, adalah hukuman rajam sampai mati. Hal ini efektif mencegah orang lain dari berbuat yang sama, sekaligus sebagai penebus dosa bagi pelakunya.

Hanya saja berbagai aturan tersebut hanya bisa diterapkan secara sempurna dalam negara Khilafah. Negara yang bertanggung jawab atas urusan ini, menegakan aturan, menerapkan sanksi. Masyarakat pun akan tersuasanakan taqwa, amar makruf menjadi budaya. Setiap individu pun dikondisikan untuk menjadi hamba-hamba yang bertakwa.

Bagi yang sudah siap menikah, akan diberikan kemudahan, bukan dipersulit. Batasannya adalah baligh dan mampu. Bukan batasan usia. Hal ini seiring dengan sistem pendidikan islam yang membekali para remaja dengan pemahaman Islam, fiqhfiqh pergaulan, fiqh pernikahan. Mereka akan menikah dengan ilmu, bukan sekedar nafsu. Menikah bukan karena terpaksa karena kondisi (hamil duluan) melainkan karena kesadaran dan visi mulia. Melanjutkan keturunan manusia untuk membangun peradaban mulia.

Islam membolehkan adanya pengaturan kelahiran dengan azl atau yang sejenis dengannya, tapi islam melarang pembatasan keturunan. Karena islam memandang banyaknya populasi bukan untuk dibatasi, tapi diberdayakan. Bukan beban, melainkan potensi besar. Namun, hanya negara yang memiliki visi Islam saja yang mampu memberdayakan sumber daya manusianya dengan cemerlang, yakni negara Khilafah Islamiyah. Sudah terbukti secara empiris dan historis memimpin peradaban dunia dengan kekuatan tsaqafah islam yang mulia beserta sumber daya manusianya yang bertakwa.

Maka dari itu, upaya global untuk mencegah perkawinan anak tidak layak untuk diikuti. Karena Barat gagal menentukan akar permasalahan yang benar sehingga melahirkan arahan-arahan keliru. Barat memaksa negeri-negeri muslim demi kepentingan Barat mengokohkan sistem sekuler kapitalisme.

Oleh karena itu, pemerintah negeri-negeri muslim harus berhenti didikte oleh Barat untuk melaksanakan proyek ini. Umat Islam harus melepaskan diri dari cengkeraman Barat dengan tegaknya Negara Khilafah Islam yang kuat dan mandiri. Maka, mari kita bersama-sama segera dan serius dalam memperjuangkan tegaknya kembali Negara Khilafah Islam yang akan mampu melawan semua dikte Barat beserta proyek-proyek batilnya.

Wallahu alam bishshawab. [SM/Ah]