Suaramubalighah.com, Tanya Jawab —
Soal:
Belakangan ini isu sodomi anak semakin mengkhawatirkan, terutama dengan adanya beberapa kasus yang terjadi di pondok pesantren. Dalam menanggapi peningkatan kasus, pemerintah telah menerapkan kebijakan seperti PP No. 70/2020 untuk memberikan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku. Namun, banyak yang mempertanyakan efektivitas hukuman tersebut. Masyarakat meminta hukuman yang lebih berat, seperti dibakar atau bahkan dibunuh (rajam) sebagai upaya pencegahan.
Dalam konteks ini, bagaimana syariat Islam mengatur hukuman bagi pelaku sodomi? Lalu bagaimana peran mubalighah? (Ibu Yanti, Sukabumi)
Jawab:
Sodomi dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-liwāth, yang berarti menempel, melekat. Secara terminologi, sodomi (al-liwāth) dapat didefinisikan sebagai perbuatan memasukkan penis ke dalam anus (dubur) laki-laki. Adapun KBBI memuat arti sodomi sebagai pencabulan dengan binatang, hubungan seksual sejenis secara anal, biasanya antar pria, atau semburit. Dalam pengertian lain, arti sodomi adalah penyimpangan seksual terhadap pasangan seks yang berjenis kelamin sama, dimana hubungan seksual dilakukan melalui anus.
Secara singkat, sodomi adalah seksual analisme, yakni pemakaian anus untuk bersenggama. Namun faktanya, perilaku sodomi (al-liwāth/ seksual analisme) ini tidak hanya terjadi pada pasangan homoseksual, tetapi terjadi juga pada pasangan heteroseksual. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa orang yang mendatangi perempuan pada duburnya dinamakan sodomi (al-liwāth/ seksual analisme).
Dalam Al-Qur’an Al-Karim, Allah Ta’ala telah mencela perbuatan sodomi (al-liwāth/ seksual analisme) yang dilakukan oleh kaum Luth. Allah Ta’ala berfirman,
لُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81)
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 80-81)
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166)
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy Syu’ara: 165-166).
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda,
مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
“Sungguh dilaknat orang yang melakukan perbuatan (al-liwāth) seperti yang dilakukan kaum Luth.” (HR. Ahmad 1/309).
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ
“Sesungguhnya perbuatan yang paling kutakuti akan menimpa umatku adalah perbuatan yang dilakukan oleh kaum Luth.” (HR. Ibnu Majah no. 2563).
Tak ada khilafiah di kalangan fuqaha bahwa pelaku penyimpangan seksual, dalam hal ini sodomi (al-liwāth/ seksual analisme) hukumnya haram dan perbuatan keji yang merupakan dosa besar. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijmā’) seluruh ulama mengenai haramnya al-liwāth (ajma’a ahlul ‘ilmi ‘ala tahrīm al-liwāth). (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/348).
Dalil keharaman sodomi (al-liwāth/ seksual analisme), antara lain sabda Nabi ﷺ:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
“Allah telah mengutuk siapa saja yang melakukan seperti perbuatan kaum Nabi Luth [perbuatan al-liwāth], Allah telah mengutuk siapa saja yang melakukan seperti perbuatan kaum Nabi Luth, Allah telah mengutuk siapa saja yang melakukan seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR. Ahmad, no. 2817).
Hukum Islam menegaskan sodomi ini menyimpang. Dan dalam hukum Islam, kegiatan sodomi diberikan ganjaran hukum yang lebih berat daripada zina. Sanksi pidana Islam untuk pelaku al-liwāth adalah hukuman mati (al-qatl/ al-i’dām), tidak ada khilafiah (perbedaan pendapat) di antara para fuqaha mengenai hukuman mati untuk pelaku al-liwāth ini. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul Uqūbāt, hlm. 20-21).
Jika seseorang yang sudah balig melakukan al-liwāth dengan orang balig lainnya karena sama-sama punya keinginan melakukannya, maka kedua pasangan tersebut harus dibunuh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فاقْتُلوا الفاعِلَ والْمَفْ عولَ بِهِ
“Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR. Al-Khamsah, kecuali An-Nasa`i).
Tak ada khilafiah (perbedaan pendapat) mengenai hukuman mati untuk pelaku al-liwāth ini. Khilafiah yang ada, hanya mengenai tata cara teknis (al-uslūb) untuk pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku al-liwāth. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa para sahabat telah sepakat (ber-ijma’) bahwa pelaku al-liwāth harus dibunuh. Akan tetapi mereka berselisih bagaimana cara hukuman bunuhnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa pelaku al-liwāth mesti dibakar dengan api karena besarnya dosa yang mereka perbuat. Ulama lainnya mengatakan bahwa pelaku al-liwāth mesti dirajam (dilempar) dengan batu. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku al-liwāth adalah dibuang dari tempat tertinggi di negeri tersebut, kemudian dilempari dengan batu.
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Pelaku al-liwāth dibakar dengan api.” Dalam riwayat lain, Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Pelaku al-liwāth dipenggal kepalanya dengan pedang, lalu dibakar dengan api.”
Ibnu Abbas ra. berkata, “Cari bangunan tertinggi di tempatmu, jatuhkan pelaku al-liwāth secara terbalik (kepala di bawah), setelah sampai tanah, rajam dia dengan batu sampai mati.”
Umar bin Khaththab ra. dan Utsman bin Affan ra. berkata, “Pelaku al–liwāth dihukum dengan merobohkan tembok kepadanya.” (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul Uqūbāt , hlm. 20-21).
Sodomi yang dilakukan dengan pemaksaan merupakan tindakan kriminal yang sangat serius dan dapat mengancam nyawa korban. Dalam konteks hukum, perbuatan ini tidak hanya menjadikan korban menderita secara fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikis yang mendalam. Penting untuk memahami bahwa pemaksaan dalam tindakan sodomi tidak sama dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, hukum memandang kasus ini dengan serius, terkait dengan hak-hak korban.
Sebuah hadis menyebutkan bahwa Allah memaafkan hamba-Nya yang berbuat salah karena kelalaian, lupa, atau karena dipaksa. Hal ini diungkapkan dalam hadis yang menyatakan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: «إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi VII/356, dan selainnya).
Dari sini dapat dipahami bahwa jika seorang korban sodomi mengalami pemaksaan, maka Allah akan memberikan pengampuan dan rahmat kepada mereka. Sehingga secara hukum, mereka tidak akan diberikan sanksi bunuh sebagaimana pelaku sodomi. Pelaku sodomi harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum sesuai syariat Islam. Sedangkan korban sodomi yang dilakukan dengan pemaksaan, harus mendapatkan dukungan dan perlindungan hukum yang penuh. Hal ini tidak hanya untuk keadilan bagi korban, tetapi juga untuk mencegah dampak buruk yang lebih luas bagi masyarakat.
Untuk melaksanakan hukuman ini dibutuhkan adanya negara Khilafah yang menerapkan hukum Islam secara kaffah, termasuk hukum sanksi had bagi pelaku sodomi. Selama hukuman bagi pelaku kemaksiatan termasuk sodomi tidak diberlakukan sesuai syariat Islam, maka selama itu pula kejahatan seksual termasuk sodomi tidak akan terselesaikan.
Mubalighah memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan pergerakan politik dalam merespons terhadap isu pelecehan seksual sodomi ini yang kian marak terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren. Mubalighah perlu bersuara untuk mengingatkan umat agar tidak terjerumus dalam perilaku sodomi yang sangat menyimpang dari syariat Islam dan berdampak besar merusak generasi muslim.
Suara dan pendapat mubalighah harus disampaikan dengan tegas melalui berbagai media dan forum. Ini menunjukkan bahwa mubalighah tidak hanya berperan sebagai pengarah, tetapi juga sebagai pelindung umat. Di sisi lain, mubalighah juga turut aktif berjuang melalui dakwah pemikiran bersama jamaah dakwah politik untuk mengembalikan kehidupan Islam kaffah dalam institusi negara Khilafah yang akan melindungi umat dan generasi dari berbagai kerusakan, termasuk perilaku sodomi. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]