Menggelorakan “Cinta Tanah Air” kepada Pemuda, Kebaikan atau Ancaman?

  • Opini

Oleh: Ummu Nashir N.S.

Suaramubalighah.com, Opini — Pengurus Lakpesdam PBNU mengatakan bahwa menggelorakan semangat hubbul wathan minal iman penting dilakukan di kalangan pemuda. Ini karena cinta terhadap tanah air adalah fitrah dan sejalan dengan ajaran agama. Menurutnya, meskipun hubbul wathan minal iman bukanlah sebuah redaksi hadis, tetapi secara substansi hal ini sesuai dengan semangat dan ajaran Nabi Muhammad saw. sehingga perlu digelorakan untuk menjaga semangat nasionalisme, khususnya bagi para pemuda. (Antaranews, 14-11-2024).

Dikatakan bahwa nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, melainkan justru hal yang diajarkan oleh Rasulullah. Ia juga menggarisbawahi pentingnya moderasi beragama sebagai cara untuk menjaga persatuan dan mengembalikan esensi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Melalui semangat hubbul wathan minal iman dan moderasi beragama, dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan, menjaga keharmonian di tengah keberagaman. (Antaranews, 14-11-2024).

Cinta tanah air ataupun nasionalisme terus digelorakan seiring dengan pengarusan moderasi beragama, apalagi dikuatkan dengan ungkapan bahwa ini adalah ajaran Rasulullah. Sebagai seorang muslim yang wajib terikat hukum syarak, tentu menjadi kebutuhan bagi kita untuk menelaah terlebih dahulu apa sebenarnya nasionalisme itu, apakah layak untuk dijadikan sebagai pemersatu?

Apakah Nasionalisme itu?

Dalam buku Sejarah Nasionalisme di Dunia Islam karya Shabir Ahmed dan Abid Karim, disebutkan bahwa nasionalisme adalah ikatan antarmanusia yang didasarkan atas ikatan kekeluargaan, klan, dan kesukuan. Nasionalisme muncul di antara manusia tatkala pemikiran mendasar yang mereka emban adalah kehendak untuk dapat mendominasi.

Ikatan nasionalisme ini dimulai dari keluarga yang di dalamnya ada satu dari anggota keluarga tersebut menunjukkan kekuasaannya untuk memimpin segala urusan keluarganya. Jika hal ini tercapai, orang ini akan melebarkan sayap kepemimpinannya ke masyarakat yang merupakan bentuk perluasan dari sebuah keluarga. Dengan cara ini, keluarga-keluarga tersebut juga berusaha untuk meraih kekuasaan di masyarakat tempat mereka hidup. Tahap selanjutnya adalah persaingan antarsuku. Masing-masing hendak mendominasi yang lain agar mendapatkan hak-hak istimewa dan prestise yang didapatkan karena kekuasaan. Dari sinilah kemudian memunculkan nasionalisme.

Sementara itu, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Nizham Al-Islam menjelaskan bahwa nasionalisme lahir dari naluri mempertahankan diri yang didominasi oleh kecintaan akan kekuasaan, terutama atas bangsa-bangsa lain. Pada awalnya keinginan mempertahankan diri atau mencintai kekuasaan adalah sah-sah saja.

Namun kemudian, ia menjadi berbahaya tatkala dijadikan sebagai ikatan untuk mempersatukan manusia atas dasar ras/etnik sebagai sesuatu yang paling suci dan paling tinggi. Nasionalisme lah yang menyebabkan konflik terus-menerus, karena satu bangsa sering bersaing untuk saling menguasai dan menaklukkan bangsa lain. Semangat nasionalisme ini yang mendorong kolonialisasi yang penuh darah atas bangsa-bangsa lain.

Dari penjelasan ulama tentang hakikat nasionalisme di atas, tampak jelas bahwa sesungguhnya ide nasionalisme ini tidak akan dapat mempersatukan umat. Ikatan yang terjadi di dalamnya didasarkan pada naluri mempertahankan diri dan keinginan untuk menguasai tampuk kepemimpinan. Persaingan untuk mendapatkan kekuasaan ini memicu terjadinya adu kekuatan antarmanusia dan hal ini mendorong terjadinya konflik di antara seluruh level masyarakat. Selain itu, nasionalisme akan berpotensi memunculkan rasisme. Orang-orang kulit putih, misalnya, merasa bahwa dirinya lebih superior dibandingkan orang-orang kulit hitam atau sebaliknya.

Bagaimana Islam Memandang Nasionalisme?

Jika kita telaah lebih lanjut, sesungguhnya nasionalisme merupakan suatu konsep asing bagi Islam. Nasionalisme menyerukan kepada persatuan yang didasarkan kepada ikatan kekeluargaan dan kesukuan. Sedangkan Islam justru menyatukan manusia berdasarkan akidah semata, yaitu keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tanpa memandang suku atau bangsa. Bahkan, Islam melarang persatuan berdasarkan ikatan kesukuan.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kalian mati, melainkan dalam keadaan beragama Islam. Berpeganglah kalian kepada tali (agama). Allah dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah). bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan amarah hati kalian, lalu menjadikan kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran: 102–103).

Diriwayatkan dari Qatadah berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Abi Hathim berkata bahwasanya Allah telah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada kitab Al-Qur’an, din-Nya, dan juga kepada syahadat-Nya. Dia juga telah melarang kaum muslim bercerai-berai dan berselisih satu sama lain.

Rasulullah saw. bersabda, “Bukan dari golongan kami, orang-orang yang menyeru kepada asabiah (nasionalisme/sukuisme)., orang yang berperang karena asabiah, serta orang-orang yang mati karena asabiah.” (HR Abu Dawud).

Dalam hadis lain, utusan Allah SWT ketika menyebut paham asabiah, seperti nasionalisme, rasisme, dan patriotisme bersabda, “Tinggalkan karena ia tidak berguna!”(HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang-orang hendaknya berhenti membangga-banggakan bapak-bapak mereka yang telah mati, padahal mereka hanyalah bahan bakar neraka Jahanam, atau dalam pandangan Allah, mereka sungguh lebih hina daripada kumbang tinja yang menggelindingkan kotoran dengan hidungnya. Ingatlah, sungguh Allah telah menghilangkan dari dirimu sikap kesombongan dan kebanggaan jahiliah. Manusia hanyalah (salah satu di antara). orang-orang beriman yang takut kepada Tuhan-nya atau pendosa yang terkutuk. Semua manusia adalah anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari debu.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari hati kalian sifat kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia hanya ada dua, mukmin bertakwa atau orang bejat yang celaka. Semua manusia adalah anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Manusia harus meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaum-kaum (bangsa). mereka karena hal itu merupakan bahan bakar dari api neraka. Atau (jika mereka tidak menghentikan semua itu)., maka Allah akan menganggap mereka lebih rendah dari cacing tanah yang menyusupkan dirinya sendiri ke dalam limbah kotoran. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Telah sangat jelas adanya celaan dalam hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa ide nasionalisme maupun patriotisme diharamkan dalam Islam. Dengan penjelasan hadis-hadis ini pula, seruan nasionalisme yang didasarkan kepada argumentasi hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). dengan sendirinya terpatahkan karena pernyataan ini bertentangan dengan hadis-hadis yang sahih.

Dari pembahasan ini, makin jelas bahwa ajakan untuk menggelorakan cinta tanah air kepada para pemuda yang dilandasi dengan semangat nasionalisme merupakan ancaman bagi generasi muda muslim, tidak akan memberikan kebaikan bagi mereka. Jika hal ini dilakukan, sama saja dengan kita mencekoki generasi muda dengan ide yang bertentangan dengan Islam, tentu saja sangat berbahaya.

Bahwa umat Islam seluruhnya, termasuk para pemuda muslim harus mempertahankan diri dan negaranya, itu benar. Namun, dorongannya bukan karena nasionalisme atau patriotisme, melainkan karena perintah Allah SWT untuk berjihad. Islam tidak melarang kaum muslim untuk meraih kekuasaan dan memperluas kekuasaan. Namun kekuasaan dalam Islam bukanlah kekuasaan itu sendiri, tetapi untuk menerapkan syariat di muka bumi sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia.

Ikatan nasionalisme ini makin jelas keharamannya ketika menjadi tujuan tertinggi dan mengalahkan ikatan akidah Islam. Dalam Islam, ikatan tertinggi yang menyatukan manusia adalah akidah Islam. Dengan tegas Allah SWT berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Oleh sebab itu, damaikanlah (perbaikilah). hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat: 10). Artinya, bangsa atau etnis manapun, selama ia mukmin, adalah saling bersaudara.

Islam bukan hanya melarang manusia untuk berkelompok atas dasar ikatan nasionalisme, tetapi Islam juga melarang didirikannya lebih dari satu negara di kalangan kaum muslim, baik negara itu didasarkan atas nasionalisme ataupun tidak. Satu-satunya negara yang dibolehkan bagi kaum muslim adalah Daulah Islamiah, yaitu negara yang diatur semata-mata dengan aturan Islam.

Benarkah Rasulullah saw. Mengajarkan Nasionalisme?

Ada sebagian kalangan yang mengeklaim bahwa Rasulullah saw. membenarkan adanya nasionalisme. Hal ini didasarkan pada salah satu hadis, ketika hijrah ke Madinah, Beliau saw. menyebut Makkah sambil berlinang air mata, “Engkau adalah bumi Allah yang aku cintai.” (HR Abu Ya’la)

Sebenarnya, perkataan beliau ini tidak ada kaitannya dengan nasionalisme. Hal ini dapat diketahui jika sabda beliau secara utuh, “Engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai sebab engkau adalah bumi Allah yang paling dicintai Allah.” (HR Tirmidzi)

Jelaslah bahwa Rasulullah saw. mencintai Makkah didasarkan pada status istimewa yang telah Allah berikan kepada Makkah, bukan karena beliau telah dilahirkan di sana. Semua umat Islam harus memiliki kecintaan kepada Makkah sebab merupakan tanah yang paling dimuliakan oleh Allah Taala. Seluruh kaum muslim pun salat dengan menghadap Ka’bah yang berada di Makkah, juga pergi ke Makkah untuk berhaji.

Lebih dari itu, jika kita menelaah sirah Rasulullah saw., ada banyak kejadian yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. telah memperingatkan mereka yang memegang teguh nasionalisme. Pada suatu saat, sekelompok orang Yahudi berusaha memecah belah persatuan kaum muslim setelah melihat suku Aus dan Khazraj masuk Islam. Seorang pemuda diperintahkan menyusup, lalu ia pun membacakan sajak-sajak untuk memancing kembali timbulnya api permusuhan di antara mereka. Sebagai akibatnya, orang-orang Aus dan Khazraj pun tersulut dan menyerukan peperangan.

Ketika kabar ini sampai kepada Nabi saw., beliau bersabda, “Wahai kaum muslim, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala ketika aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam? Dengan demikian kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran, dan menjadikan kalian bersaudara karenanya?” Ketika mendengar hal ini, mereka menangis dan saling berpelukan. Kejadian ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. melarang mengagungkan-agungkan kesukuan.

Ibnu Al-Mubarak meneritakan bahwa terjadi ketaksepakatan antara Abu Dzar dan Bilal. Abu Dzar berkata kepada Bilal, “Kamu anak seorang budak hitam.” Rasulullah saw. yang mendengar hal ini sangat marah, lalu mengingatkan Abu Dzar, “Ini keterlaluan, Abu Dzar! Orang yang ibunya berkulit putih tidak memiliki kelebihan yang membuatnya menjadi lebih baik daripada orang yang ibunya berkulit hitam.” Peringatan sangat berpengaruh pada diri Abu Dzar, lalu ia meletakkan kepalanya di tanah dan bersumpah tidak akan mengangkatnya sebelum Bilal menginjakkan kaki di atasnya.

Berbagai peristiwa ini menunjukkan bahwa ikatan kesukuan tidak mendapat tempat dalam Islam. Kaum muslim diperintahkan untuk berdiri bersama dan tidak memisahkan diri dengan lainnya hanya karena mereka berasal dari suku yang berbeda.

Rasulullah saw. bersabda, “Orang Arab tidak lebih baik dari orang non-Arab. Sebaliknya, orang non-Arab juga tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam, kecuali dalam hal ketakwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah liat.” (HR Ad-Daruquthni)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak menyakiti dan juga tidak disakiti. Jika seseorang membantu saudaranya yang sedang membutuhkan, Allah akan membantunya ketika ia membutuhkan. Jika seseorang menghilangkan kesukaran dari muslim yang lain, Allah juga akan menghilangkan kesukaran daripadanya besok pada Hari Kiamat. Jika seseorang menyembunyikan aib muslim yang lain, Allah akan menyembunyikan aibnya pula pada Hari Kebangkitan.(HR Bukhari dan Muslim)

Dari berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul dan diperkuat dengan hadis-hadis, jelaslah bahwa Rasulullah saw. tidak mengajarkan ide nasionalisme sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung nasionalisme, bahkan Rasulullah saw. dengan tegas mencelanya.

Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa ikatan nasionalisme sesungguhnya tidak akan memberikan kebaikan pada umat ini, sebaliknya akan memecah belah umat Islam dalam negara bangsa yang berbeda-beda. Sedangkan sebelumnya, umat Islam dipersatukan di bawah panji Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasulullah selama berabad-abad dalam wadah Daulah Islamiah.

Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslim pada umumnya dan para pemuda pada khususnya berjuang menegakkan syariat dan Khilafah sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Wallahua’lam bishshawab. [SM/Ln]

Sumber: muslimahnews.net