Soal:
Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Pernikahan Rizky Febian dan Mahalini dinyatakan tidak sah secara hukum. Sehingga keduanya mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Mahalini seharusnya dinikahkan oleh wali hakim karena perbedaan agama dengan orang tuanya. Namun, dalam pernikahan Mahalini dan Rizky Febian, seorang ustaz yang mengaku sebagai wali hakim menikahkan mereka. Proses penunjukan wali hakim ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pertanyaannya, siapakah wali hakim pernikahan saat ini yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam?
(Hasanah, Bandung)
Jawab:
Istilah ‘wali hakim’ sering kali dipahami secara keliru oleh masyarakat awam. Dalam praktik sehari-hari, kita sering mendapati bahwa ketika seorang ayah kandung enggan menikahkan anak gadisnya, atau perbedaan agama calon pengantin perempuan dengan ayah kandungnya, ataupun anak yang lahir di luar nikah, masyarakat segera mencari jalan pintas dengan menggunakan jasa wali hakim.
Namun sayangnya, istilah ‘wali hakim’ yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Banyak orang beranggapan bahwa siapa pun dapat diangkat menjadi wali hakim, tanpa memperhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Ironisnya, tidak jarang kita melihat tokoh-tokoh agama —seperti ustaz, kiai, muballigh, penceramah, dan bahkan pimpinan pondok pesantren atau organisasi kemasyarakatan— dengan leluasa mengangkat diri mereka sebagai wali hakim. Praktik yang salah kaprah ini telah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat, menciptakan persepsi bahwa siapa pun bisa mengklaim diri sebagai ‘wali hakim’ dan berwenang menikahkan wanita sesuka hati.
Lebih parah lagi, jasa yang ditawarkan sebagai ‘wali hakim’ ternyata tidak gratis. Tidak ada yang benar-benar gratis, setiap tokoh memiliki tarif yang berbeda-beda. Sesuai dengan budaya di negeri kita, tarif tersebut dapat dinegosiasikan berdasarkan kondisi.
Pengertian Hakim
Dalam konteks ilmu fikih, istilah ‘wali hakim’ merujuk kepada penguasa yang sah, yang dalam hal ini adalah kepala negara atau kepala pemerintahan suatu negara yang diakui secara resmi. Sebagaimana dicontohkan dalam sabda Rasulullah ﷺ:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Aisyah radhiyallahuanha mengutip sabda Rasulullah ﷺ, yang mengatakan, “Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu Majah).
Pada masa Nabi, Rasulullah ﷺ sendiri menjabat sebagai sultan, memegang peran sebagai kepala negara yang berwenang dalam menentukan perang dan damai. Beliau juga mempunyai otoritas dalam menerapkan hukum hudud.
Di zaman khulafaurrasyidin, para sultan yang menggantikan Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ridhwanullahi ‘alaihim. Mereka memimpin negara di zamannya masing-masing, menjalankan undang-undang, memungut zakat dan jizyah, serta mengambil keputusan terkait perang dan damai. Prinsip ini terus berlanjut hingga masa-masa selanjutnya. Dimana para khalifah dan sultan secara sah diberikan kewenangan untuk menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.
Dalam konteks negara Indonesia saat ini, Presiden Republik Indonesia adalah orang yang diberi hak dan wewenang menjadi wali. Ia berhak menjadi wali hakim, karena kedudukannya sebagai kepala negara mencerminkan peran hakim itu sendiri. Dan siapa pun yang menjabat sebagai kepala negara atau pemerintahan, mereka semua secara syar’i dan sah memiliki otoritas sebagai ‘wali hakim’. Mereka adalah satu-satunya pihak yang diizinkan oleh Allah SWT untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali.
Lebih jauh, kepala negara atau pemerintahan ini diberikan hak untuk menunjuk atau mengangkat para pembantu resmi dalam melaksanakan tugas mereka. Dalam konteks penyelenggaraan pernikahan, seperti menjadi wali nikah, wewenang tersebut biasanya diberikan kepada Menteri Agama Republik Indonesia.
Menteri Agama kemudian berwenang mengangkat wakil-wakilnya di berbagai provinsi, kabupaten, dan kecamatan, termasuk para pimpinan Kantor Wilayah (kanwil), Kantor Daerah, hingga Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan demikian, struktur ini disusun secara resmi hingga mencapai level terendah, dimana pejabat yang diangkat secara resmi bertugas di KUA di setiap kecamatan.
Kesimpulannya, istilah wali hakim merujuk kepada para petugas resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), yang memiliki peran penting dalam memfasilitasi pelaksanaan pernikahan sesuai dengan ketentuan syar’i.
Selain Sulthan, Haram Menikahkan
Hak dan wewenang untuk menjadi wali hakim menikahkan seorang wanita hanya diberikan oleh Allah SWT kepada para penguasa negeri, yaitu sultan. Ini sejalan dengan hak Allah untuk melaksanakan pengadilan dan menjatuhkan vonis dalam hukum jinayat dan hudud.
Oleh karena itu, tidak ada pihak lain, meskipun mereka adalah tokoh terpandang, yang dapat bertindak sebagai wali bagi wanita tanpa wali sah. Mereka tidak memiliki hak atau wewenang dari Allah SWT untuk menikahkan.
Jika ketentuan ini dilanggar, seseorang tidak hanya melakukan kesalahan, tetapi juga berpotensi terjerumus dalam dosa besar. Menikahkan seorang wanita dengan laki-laki berarti menghalalkan kemaluannya, sebuah tanggung jawab yang tidak boleh dipandang remeh. Mengingat betapa esensial dan prinsipilnya urusan ini.
Dalam kaidah fikih, dinyatakan bahwa hukum dasar dari kemaluan wanita adalah haram:
الأَصْلُ فيِ الأَبْضاَءِ التَّحْرِيم
“Hukum asal dari kemaluan wanita adalah haram”.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang telah Allah haramkan tidak dapat berubah menjadi halal, kecuali melalui ketentuan ketat yang telah ditetapkan, yaitu pernikahan yang sah yang hanya dapat dipimpin oleh ayah kandung sebagai wali tunggal.
Hak ini tidak boleh diambil atau dirampas secara sembarangan oleh siapa pun, kecuali melalui prosedur yang diakui dalam syariat. Salah satu prosedur sah tersebut adalah melalui penguasa atau sultan yang diakui secara hukum syariat Islam.
Ketika pihak-pihak mengambil alih wewenang ayah kandung dan menikahkan wanita tanpa otoritas yang sah, mereka jelas telah berbuat dosa besar. Tindakan tersebut sama dengan menghalalkan zina, yang merupakan pelanggaran serius dalam norma-norma agama.
Wali Hakim dan Wali Yang Asli
Meskipun seseorang menjadi wali hakim yang sah, tidak berarti dia berhak kapan saja mengawinkan anak gadis orang. Wewenang wali hakim hanya berlaku setelah semua wali yang sah dan asli, seperti ayah, kakek, saudara, paman, atau sepupu yang memenuhi syarat, meninggal dunia atau tidak dapat melaksanakan perannya.
Selama daftar urutan wali yang sah masih ada dan memenuhi syarat, wewenang wali hakim tidak dapat diterapkan. Artinya, jika seorang wanita masih memiliki ayah yang hidup, maka sang ayah adalah wali yang sah dan tak bisa diabaikan. Misalnya, seorang saudara laki-laki atau paman tidak bisa mengambil alih hak perwalian dari ayah kandung selama ayahnya masih hidup dan menolak untuk menikahkannya.
Dengan kata lain, kedudukan ayah kandung sebagai wali mutlak dan tidak tergoyahkan. Bahkan wali yang sah yang berada di urutan lebih belakang pun tidak memiliki hak untuk mengambil alih perwalian.
Tindakan mengawinkan tanpa hak adalah dosa besar. Lebih berat dari zina di tempat pelacuran, karena meratifikasi zina secara terus-menerus. Banyak pasangan dinikahkan secara haram, yang menjerumuskan mereka ke dalam dosa. Masyarakat memasuki praktik ini karena legitimasi yang salah dari pemuka agama.
Di akhirat, para pemuka agama yang menghalalkan zina akan mendapatkan sanksi yang pedih dari Allah SWT karena mengubah hukum Allah. Dosa-dosa ini hanya akan diampuni lewat tobat. Pasangan yang dinikahkan secara tidak sah harus dinasihati, untuk mencari wali yang sah agar tidak terjerumus dalam zina.
Dibutuhkan peran ulama dan muballighah untuk terus mengedukasi masyarakat berkaitan dengan wali nikah ini, baik wali asli maupun wali hakim. Sehingga pernikahan terselenggara secara sah sesuai syariat Islam dan melahirkan keluarga yang berkah, sakinah mawaddah warahmah, dan melahirkan generasi yang shalih dan shalihah. Semoga Allah melindungi kita dari dosa dan siksaan neraka. Aamiin. [SM/Ah]