Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat menyarankan agar pengelola pondok pesantren membentuk santri siaga bencana, menyusul terjadinya peristiwa meninggalnya santri akibat tertimpa bangunan roboh di Kabupaten Sukabumi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Plt. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, Anne Hermadianne Adnan pada pertengahan November 2024 lalu.
Menurut Anne, pondok pesantren ke depannya perlu memiliki Emergency Response Team (ERT) atau tim tanggap darurat yang anggotanya diambil dari santri masing-masing ponpes. Nantinya tim tanggap darurat ponpes tersebut akan dikolaborasikan dengan BPBD di setiap kota dan kabupaten. Pembentukan santri siaga bencana dari sekitar total 1200 ponpes di Jawa Barat tersebut, diklaim perlu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya bencana alam. (jabar.idtimes.com).
Rawan Bencana
Telah jamak diketahui bahwa negeri ini termasuk negeri yang rawan bencana. Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan beriklim tropis dengan dua musim, panas dan hujan. Terjadinya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem, menjadikan Indonesia berpotensi besar terjadinya bencana, baik gempa, banjir, tsunami, longsor, gunung meletus, kekeringan dan sebagainya.
Hampir tiap tahun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia. Dan sepanjang 1 Januari hingga pertengahan Desember 2024 saja, Geoportal Data Bencana Indonesia menyebutkan telah terjadi 1.904 bencana, baik banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, karhutla, kekeringan, gempa bumi, abrasi, dan erupsi gunung berapi. Peristiwa bencana longsor yang terjadi di kawasan salah satu pondok pesantren di Sukabumi, yang menewaskan empat orang santri dan lima santri lainnya luka-luka, hanya contoh kecil saja dari sekian banyak bencana alam lainnya di negeri ini.
Kesadaran bahwa negeri ini rawan bencana, seharusnya menjadikan seluruh masyarakat memiliki mental siaga dan tanggap bencana, terutama para pemimpin negara yang memang punya kewajiban dan kewenangan untuk mengurusi urusan rakyatnya.
Negara memang pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjalankan mitigasi bencana, baik sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi, dan paska bencana. Rakyat tentu sangat butuh arahan dari negara untuk memahami apa yang harus mereka lakukan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana. Sehingga rakyat tidak dibiarkan menyelesaikan masalah bencana alam yang menimpa mereka secara swadaya tanpa arahan solusi tuntasnya. Sementara negara sering dikabarkan terlambat dalam menjalankan mitigasi, bahkan menolong seadanya karena alasan minimnya dana.
Dan lebih menyedihkan lagi jika akhirnya rakyat jadi terpojok oleh narasi-narasi seperti tidak mau diatur, enggan disuruh pindah, menolak direlokasi dan sebagainya. Padahal sejatinya, rakyat itu memang minim informasi, banyak yang belum teredukasi tanggap bencana, tidak punya akses data memadai, dan terbatasnya sarana prasarana. Ini wajar, karena hanya negaralah yang punya akses dan kendali penuh tentangnya. Dan sejatinya itu semua memang bagian dari tanggung jawab negara.
Padahal sederhananya, rakyat itu hanya butuh solusi riil dan tuntas. Jika misalnya mereka harus pindah dan direlokasi dari rumah, sekolah, atau pesantren mereka yang rawan bencana, mereka harus pindah kemana. Dan bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Intinya, rakyat akan lebih mudah diarahkan jika negara benar-benar memberikan bukti kemampuannya mengurusi semua urusan rakyatnya, dan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan mereka, termasuk dalam kondisi terdampak bencana.
Negara Lepas Tanggung Jawab?
Secara umum pesantren itu ada di daerah pinggiran. Dan tak jarang lokasinya ada di daerah rawan longsor, banjir atau bencana alam lainnya. Dengan kondisi seperti ini seharusnya negara turun tangan untuk merelokasi atau memberikan pengamanan maksimal, sebagai wujud tanggung jawab negara dalam memberikan fasilitas pendidikan terbaik untuk generasi bangsa. Bukan malah menggantungkan soal pengamanan dan pencegahan bencana kepada para santri. Meski akan dikolaborasikan dan dibina oleh BPBD, hal itu tidak menjamin santri mampu menyelamatkan diri ketika terjadi bencana yang kerap datang secara tiba-tiba.
Namun ironisnya, dalam sistem kehidupan masyarakat yang sekuler kapitalistik seperti saat ini, keseriusan penguasa dalam menyolusi problem rakyat sering dipertanyakan. Karena paradigma pengelolaan negara yang sekuler kapitalistik telah meniscayakan lahirnya pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan pemodal, meski harus dipoles dengan narasi dan kebijakan yang populis.
Realitasnya, negara justru memroduksi berbagai kebijakan yang menyebabkan munculnya bencana demi bencana. Misalnya, penggundulan hutan yang dijamin undang-undang atas nama pengelolaan SDA, alih fungsi hutan yang dilegalkan atas nama proyek strategis nasional, proyek-proyek industrialisasi yang abai pada AMDAL, atau pembangunan sarana fisik secara masif atas nama investasi meski berdampak pada problem lingkungan dan terampasnya ruang hidup rakyat. Semua itu dilegalkan oleh undang-undang yang diketok palu di ruang legislatif atas nama suara wakil rakyat.
Ini menunjukkan bahwa corak kepemimpinan sekuler kapitalistik yang ditopang oleh sistem demokrasi benar-benar memaksa pemimpin lebih berpihak pada kaum pemodal oligarki dibandingkan kepentingan rakyat. Inilah konsekuensi logis dari politik demokrasi sekuler yang transaksional dan mahal, berpadu dengan tipisnya sikap takwa yang kian tergerus, menjadikan semua pihak selalu berpikir tentang keuntungan materi dan balik modal. Maka wajar jika akhirnya negara menjadi abai dari fungsi utamanya sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat), karena mental ra’awiyah (mengurusi rakyat) telah dicabut paksa oleh sistem sekuler kapitalistik yang fasad.
Dalam konteks bencana alam pun, peran yang ditunjukkan oleh negara tampak masih sangat minim. Bahkan respon yang ditunjukkan dapat terindikasi mengalihkan tanggung jawab tersebut pada rakyatnya. Maka pembentukan tim santri siaga bencana tersebut, cenderung tampak sebagai wujud lepas tangan negara terhadap tanggung jawabnya untuk menyediakan layangan pendidikan generasi.
Butuh Pengaturan Bervisi Akhirat
Ini sungguh berbeda dengan pengaturan dalam sistem Islam. Dalam Islam, negara diposisikan sebagai pihak yang punya tanggung jawab utama sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Negara wajib melayani rakyatnya dengan menerapkan syariat Islam kaffah di semua bidang kehidupan, dan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan pokok asasi setiap individu rakyatnya (berupa sandang, pangan dan papan), serta kebutuhan pokok kolektif (berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan).
Maka, menyediakan pelayanan pendidikan bagi rakyat, termasuk semua fasilitas, sarana prasarana yang diperlukan, serta penyediaan tenaga pendidik yang bertakwa, handal dan kapabel, beserta sistem penggajian mereka yang memadai dan memuliakan, adalah bagian dari tanggung jawab negara. Jaminan bagi lembaga pendidikan termasuk pesantren, untuk berada di lokasi aman dari bencana alam atau bahaya lainnya, juga bagian dari tanggung jawab negara sebagai junnah (pelindung rakyat), sekaligus pemenuhan layanan pendidikan bagi generasi.
Dan terkait dengan kondisi negeri ini yang rawan bencana, telah menjadi kewajiban bagi negara untuk serius memikirkan berbagai perkara antisipatif demi mencegah bencana, dan menjauhkan rakyat dari resiko bencana. Negara harus mewujudkan sistem yang siaga dan tanggap bencana, pemimpin yang peka dan peduli pada urusan rakyatnya, mengedukasi rakyatnya terkait tanggap bencana, sekaligus memastikan optimalnya tindakan mitigasi bencana secara total. Baik mitigasi sebelum terjadinya bencana, saat terjadinya bencana dan paska bencana, tanpa menyisakan kekhawatiran rakyat akan keberlangsungan hidup mereka selanjutnya. Semuanya itu hendaknya dikendalikan langsung dengan penuh tanggung jawab oleh pemimpin negara yang bertakwa. Bukan malah membebankan pada rakyat untuk menyolusi problem bencana seperti program santri siaga bencana.
Inilah gambaran pengaturan negara dalam Islam. Pengaturan urusan rakyat dengan visi akhirat, berasaskan takwa. Pengelolaan kehidupan bangsa yang dijalankan oleh pemimpin yang bertakwa, adil, kuat, amanah dan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai raa’in dan junnah. Pemimpin yang bersikap lembut pada rakyatnya, selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya, dan menjamin keamanan rakyatnya dari resiko bencana, serta mudharat apapun yang membahayakan kehidupan rakyatnya dunia akhirat. Itulah pemimpin yang bervisi akhirat, yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini bahkan dunia seluruhnya.
Hanya saja, pemimpin bervisi akhirat itu hanya akan terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam. Sistem kepemimpinan agung yang mampu menyolusi setiap problem kehidupan rakyat secara tuntas dan benar, karena bertumpu pada syariat Islam kaffah. Maka untuk menyudahi berbagai persoalan negeri ini, rakyat membutuhkan hadirnya kembali kehidupan masyarakat Islam yang dikelola oleh pemimpin negara (khalifah) yang bertakwa dan amanah, yang mau dan mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah di semua aspek kehidupan rakyat dalam naungan negara Khilafah.
Oleh karenanya, para mubalighah hendaknya terus mendidik umat dengan Islam kaffah, agar umat makin paham berbagai mekanisme Islam dalam mengatur kehidupan individu rakyat, keluarga, masyarakat dan negara. Mubalighah juga wajib segera mengambil posisi dalam barisan perjuangan Islam bersama jamaah dakwah Islam ideologis, yang secara lantang terus menyuarakan Islam kaffah hingga terwujudnya kembali kehidupan masyarakat Islam yang adil, sejahtera, dan barakah dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]